"Apa yang terpenting saat ini adalah mengalahkan Ayah," kata Erina lirih sambil menggenggam pedang kayu begitu kencang, memperlihatkan urat pada pergelangan tangan.
Aarav yang mendengar hal tersebut, hanya berdecak kesal. Tatapan mata yang sebelumnya mengarah pada Erina, kembali berputar mengarah pada Eiireen. Rambut Aarav yang berantakan, tertarik oleh angin beberapa kali.
"Aku juga tahu hal itu," jawab Aarav begitu mantap, pedang kayu sudah terangkat di depan dada dengan ujung mengarah pada Eiireen. Bola matanya menyipit, mencoba berkonsentrasi pada target yang ada di sana. "Apapun yang terjadi, aku pasti akan mengalahkan dirinya dengan tanganku sendiri."
Erina kembali tersenyum kecut tanpa memandang wajah Aarav. "Sudah kukatakan sebelumnya, jika aku yang akan mengalahkan Ayah dalam percobaan pertamaku ini."
"Kau masih ingin melanjutkannya!" Aarav tersentak ketika mendengar ucapan Erina yang begitu santai. Sudah sejak lama dia mencoba untuk mengalahkan Eiireen dan belum pernah mendapatkan kemenangan.
Namun, Erina begitu mudahnya mengatakan jika dia akan mendapatkan kemenangan pada saat melawan Eiireen. Apalagi pada percobaan pertama. Semua itu sangat mustahil untuk diwujudkan, mengingat kekuatan Erina yang belum bisa dikatakan hebat.
Itulah yang dipikirkan oleh Aarav selama ini. Kenyatannya, Erinalah yang selalu memperhatikan pertarungan Aarav dengan Eiireen. Tentu saja dia mengetahui segala gerakan yang hanya dapat dilihat dalam sudut pandang penonton, dan tidak dapat dilihat oleh Aarav.
Dengan senyuman sinis, Erina mengangkat bahu meletakkan pedang di atas bahu. "Karena aku akan membuktikan kekuatanku lebih hebat daripada dirimu. Lihat saja nanti," lanjutnya memalingkan wajah dari Aarav.
Terdengar suara tarikan napas tak jauh dari tempat mereka. Bola mata Aarav langsung berputar, mencari dari arah mana suara tersebut dihasilkan. Aarav menghentikan gerakan matanya pada satu bagian, di mana terdapat Eiireen yang tengah memandangnya dengan tajam.
"Bisakah kalian menghentikan semua itu?" Eiireen menancapkan pedang kayu di depan, menyentuh ujung yang ada pada pedang kayu. "Jika kalian terus melanjutkan perdebatan itu, tidak akan ada yang bisa kalian lakukan." Eiireen menghela napas kecewa, mengerutkan kening hingga membuat alis mereka saling menyatu.
Aarav yang mendengar ucapan Eiireen, mengerutkan kening tanda ketidaksetujuan. Jika bukan karena Erina, tidak akan ada permasalahan yang terjadi hingga saat ini. Padahal biasanya mereka melakukan semua itu dengan baik-baik saja, tanpa ada masalah apapun yang menghampiri.
Namun, karena Erina memutuskan untuk mengikuti pertarungan dan menantang Eiireen. Perdebatan mulai terjadi tanpa mengetahui siapa yang memenangkan hal tersebut.
"Semua ini salah Erina!" Aarav menunjuk Erina yang ada di sampingnya. "Jika bukan karena dirinya, semua ini tidak akan pernah terjadi. Sekarang aku pasti sudah berhadapan denganmu dan bisa saja aku mengalahkanmu," lanjutnya dengan percaya diri.
Erina yang ditunjuk secara sepihak oleh Aarav, mengerutkan kening tidak setuju. Sudah matanya mengerut, begitu juga dengan sudut bibir. Bola mata Erina menatap Aarav begitu tajam, terdapat kebencian di dalam tatapannya saat ini.
"Huh! Apa yang kau katakan!" teriak Erina mengarahkan pedang kayu pada Aarav. "Apa kau bisa mengulangi apa yang kau katakan?" Keningnya semakin mengerut, terdengar suara gemelutuk dari dalam mulut Erina.
"Tentu saja," jawab Aarav santai mengangkat bahu. Detik berikutnya, Aarav menarik napas panjang bersiap untuk mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. "Semua ini salahmu! Jika saja bukan kare—"
Belum selesai mengucapkan semuanya, kepalan tangan Erina telah melayang ke arah wajah Aarav. Setelah melepaskan pedang kayu yang sebelumnya tercengkram pada genggaman tangan, Erina segera melancarkan tangan yang sudah mengepal.
Pukulan Erina tepat mengenai wajah bagian kiri Aarav, membuatnya terpelanting beberapa langkah ke kiri. Kaki yang digunakan untuk menyeimbangkan tubuh, hingga akhirnya terjatuh karena kehilangan tenaga untuk menjaga keseimbangan tubuh.
"Kenapa kau memukukku!" seru Aarav menyentuh pipi kiri yang terlihat lebam. "Kau pikir, apa yang kau lakukan tidak sakit!"
"Bisakah kalian hentikan semua itu?" tanya Eiireen yang sejak tadi tidak dipedulikan oleh Aarav dan Erina. "Di sini, aku sudah seperti orang yang tidak dipedulikan. Rasanya sangat menyakitkan, apa kalian berdua tidak mengerti hal itu?"
Erina dan Aarav saling pandang, kemudian tertawa kecil bersama. Apa yang telah terjadi pada mereka berdua, begitu membingungkan. Bahkan tidak ada yang bisa mengetahui apa yang sejak tadi mereka bicarakan, hingga membuat rencana pertarungan mereka dihentikan lebih lama.
Setelah berhenti tertawa, Aarav terus saja menekan perut dengan kuat. Keringat dingin yang keluar dari seluruh tubuh, membasahi baju seperti batu saja mandi. Terpaan angin yang terasa kencang, seakan tidak dapat membuat keadaan menjadi sejuk.
"Jadi, siapa yang akan bertarung dengan Eiireen terlebih dahulu?" tanya Aarav santai, menurunkan pedang kayu yang sejak tadi diangkat di atas bahu. "Aku akan mengalah untuk mengalahkan Eiireen kali ini. Kau bisa mulai terlebih dahulu, dan aku akan bertarung setelahmu." Aarav mempersilakan Erina untuk menyerang Eiireen terlebih dahulu.
Kening Erina mengerut ketika mendengar apa yang dikatakan Aarav. Meskipun dia memang ingin bertarung dengan Eiireen, tetapi rasa takut masih saja menghantui hati Erina. Tubuhnya terus saja bergetar memikirkan apa yang akan terjadi jika mereka bertarung berdua.
"Aaahhh ... ke–kenapa kau membuatku bertarung terlebih dahulu?" tanya Erina bercucuran keringat, beberapa kali mengusap cairan asin yang keluar dari wajah. "Bilang saja, kau ingin membuat Ayah bertarung terlebih dahulu. Dengan begitu, kau bisa membuat staminanya sedikit menurun." Erina tersenyum sinis, mencoba untuk terus memprovokasi Aarav.
Setelah mengatakan hal tersebut, Erina mengangkat bahu tidak peduli. Lidah kecil berwarna merah di dalam mulut, dikeluarkan ke luar sedikit sembari menutup mata.
Aarav yang mendengar hal tersebut, merasa begitu kesal. Detik berikutnya, Aarav mengangkat tangan hingga di samping telinga, mengepal begitu kencang hingga memperlihatkan urat pada leher. Rona merah pada wajah Aarav naik, membuat wajahnya bersemu merah karena naik pitam.
"Apa yang kau katakan!" seru Aarav melangkahkan kaki kanan ke depan satu langkah. "Kenapa aku harus berpikir seperti itu, jika aku bisa mengalahkannya saat ini juga!"
Erina memutar tubuh, hingga mata mereka saling bertatapan. "Lalu, kenapa kau menyuruhku untuk melawan Ayah terlebih dahulu? Bukankah karena kau ingin mengurangi kekuatan Ayah, semata-mata agar kau bisa mengalahkannya lebih mudah?" Erina mengangkat bahu tidak peduli.
Melihat tingkah Aarav dan Erina, Eiireen kembali menepuk kening. Beberapa kali menghela napas panjang, tidak yabunlagi harus berbuat apa dengan mereka berdua. Hingga akhirnya, sebuah ide muncul di sekitar kepala Eiireen saat ini.
"Kenapa aku tidak terpikirkan semua itu!" Eiireen melangkah maju ke depan, mendekati Aarav dan Erina. "Kalian berdua, lawan aku secara bersamaan dengan kerja sama tim!" serunya lantang dipenuhi tekanan maksimal.