Setelah Eiireen tidak sadarkan diri, Aarav tersenyum begitu bahagia. Sudut mulutnya terangkat, memperlihatkan senyuman puas. Selama ini, belum pernah sekali pun Aarav mengalahkan Eiireen.
Namun dengan bantuan Erina, Aarav berhasil mendapatkan kemenangan pertama yang seakan terasa bagaikan mimpi. Meskipun begitu, untuk mendapatkan kemenangan tersebut sangat sulit dilakukan. Padahal mereka berdua sudah bekerja sama untuk mengalahkan Eiireen.
"Apa kau merasa bahagia?" tanya Aarav sedikit tersenyum, angin menerbangkan rambutnya yang berantakan. "Padahal aku butuh beberapa tahun untuk mengalahkan Eiireen, tetapi kau langsung berhasil dalam percobaan pertama," lanjutnya berwajah kesal, tangannya mengepal begitu kencang.
Erina memutar kepala hingga bola matanya menatap Aarav tajam. Detik berikutnya, sebuah seringai tanda ejekan diperlihatkan begitu jelas pada wajahnya. Kedua bahunya diangkat sedikit, semakin menambah kesan menjengkelkan pada wajah Aarav yang melihatnya.
"Bisakah kau hentikan ekspresi wajahmu itu!" bentak Aarav melayangkan pukulan pada kepala Erina. "Sangat menyebalkan melihatmu dengan ekspresi wajah itu!" Aarav memutar tubuh, kemudian berjalan mendrkati Eiireen yang masih terbaring tak berdaya.
Aarav berhenti dua langkah di samping Eiireen, sedikit menundukkan kepala agar dapat melihat wajah Eiireen yang terbaring di sana. Tubuh berlumuran debu tanah, rambut berantakan yang menutupi wajah, dengan senyuman tipis terlihat dari wajah.
Setelah menghela napas panjang, Aarav jongkok dengan kedua tangan berada di atas lutut. Menatap Eiireen dengan tatapan mata tajam, masih belum mempercayai apa yang terjadi.
"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Aarav memutar bola mata, menatap tubuh Eiireen yang terbaring dari ujung ke ujung. "Apa kita membiarkannya di sini begitu saja?"
Tidak mengerti apa yang ditanyakan Aarav, Erina mengernyitkan kening. Detik berikutnya, dia melangkahkan kaki ke arah Aarav.
"Apa yang kau katakan?" Kening Erina mengerut menatap Aarav yang saat ini mencoba mengangkat Eiireen. "Apa kau mencoba untuk membawa Ayah juga?"
"Tentu saja. Apa kita akan membiarkannya seperti ini," jawab Aarav santai seakan tidak ada beban yang ada dalam otaknya. "Aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya seperti ini."
Melihat tingkah Aarav yang seperti itu, membuat Erina kebingungan. Dia yang biasanya tidak peduli dengan keadaan sekitar, bahkan tentang masalah sepele seperti ini. Sekarang justru bertindak di luar perkiraan. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Aarav saat ini.
"Apa kepalamu baru saja terbentur batu?" tanya Erina memalingkan wajah, tidak berniat membantu Aarav sedikit pun. "Bukankah biasanya kau juga ditinggalkan Ayah sendirian di tempat ini? Kenapa sekarang kita harus membantunya pergi dari sini." Erina melangkahkan kaki pergi, meninggalkan Aarav yang mencoba membantu Eiireen sendirian.
Seakan tidak menghiraukan apa yang dikatakan Erina, dia terus saja berusaha mengangkat tubuh Eiireen dengan sisa kekuatannya. Walaupun berat badan yang dimiliki Eiireen dua kali lipat dari beratnya, Aarav tetap saja berusaha melakukan hal tersebut.
Erina yang sudah jauh di depan, menghentikan langkahnya. Kemudian memutar kepala dan menatap Aarav yang masih berusaha keras sendirian. Detik berikutnya, dia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Menghentakkan kaki begitu kencang, hingga membuat retakan besar pada tanah di bawahnya.
"Aaah ... aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya!" teriaknya sebelum melangkahkan kaki mendekati Aarav. "Memang ada yang salah dengan kepalanya saat ini!"
Erina menjulurkan tangan, membantu Aarav mengangkat tubuh Eiireen. "Kenapa aku melakukan ini," batinnya sembari mengangkat tubuh Eiireen. "Apa yang sebenarnya kulakukan." Erina mengernyitkan kening, berdecak beberapa kali.
Aarav tersenyum simpul menatap Erina yang membantunya. "Bukankah kau bilang akan pergi lebih dulu? Kenapa kau kembali lagi ke sini?" tanyanya menatap wajah Erina.
"Berisik!" umpat Erina setelah menghela napas. "Aku memiliki keputusanku sendiri. Kau tidak perlu mengatakan atau mengomentari apa yang kulakukan," lanjutnya terus menambah tenaga untuk mengangkat Eiireen.
Ujung mulut Erina terangkat, tersenyum simpul begitu menawan. Terpaan angin menarik rambut panjang Erina, membuat beberapa helai menutupi wajah. Erina mengusapnya secara perlahan, meletakkannya di belakang telinga.
"Jangan banyak bicara lagi," kata Erina setelah berhasil membuat tubuh Eiireen berdiri tegak di antara mereka berdua. "Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah membawa Ayah kembali. Karena sangat berbeda dengan kekuatan Ayah, aku tidak tahu berapa lama kekuatan ini membuatnya tidak sadar."
Mendengar hal tersebut, Aarav menganggukkan kepala setuju. Apa yang dikatakan Erina memang ada benarnya. Menggunakan kekuatan yang sama persis seperti Eiireen sebelumnya, membuatnya tidak sadar begitu saja. Karena kekuatan yang sangat berbeda, tentu saja efek yang dihasilkan akan sangat jauh juga.
Apalagi, kemampuan dalam pemahaman di dalam buku lebih dikuasai oleh Erina. Hal itu akan menjadi salah satu kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Salah bergerak dan mengambil keputusan sedikit saja, dapat membahayakan nyawa Eiireen nantinya.
Benar sekali. Kekuatan yang dialirkan Erina ke dalam pedang, adalah kekuatan yang sama seperti milik Eiireen.bebraoa teknik yang ada di dalam buku, hanya satu saja yang dapat dikuasai Eiireen. Yaitu kekuatan untuk melemahkan dan meniadakan kekuatan.
Namun, Eiireen hanya dapat melakukannya selama beberapa hari saja. Padahal di dalam buku sudah tertulis, jika kekuatan tersebut dapat meniadakan kekuatan lawan selama sepuluh hari, atau bisa saja selama satu bulan. Tergantung bagaimana kekuatan tersebut beresonansi.
"Semoga saja Ayah dapat sadar hanya dalam waktu satu atau tiga hari saja," batin Erina terus membawa tubuh eiireen bersama Aarav. "Aku tidak begitu yakin dengan kekuatan ini. Apalagi aku baru saja menggunakan kekuatan ini sekarang. Tentu saja kekuatan yang ada di sana akan sangat kecil dan tidak sanggup menghilangkan tenaga Ayah."
Erina terus saja menggigit ujung bibir hingga mengeluarkan darah. Meskipun dia terus berpikir seperti itu, hati kecilnya merasa ada yang salah dengan semua itu.
Setelah keluar dari dalam hutan yang biasa digunakan sebagai tempat latihan, hujan turun begitu deras. Bulir-bulir air yang turun dari langit, jatuh dan mengenai tubuh ketiga orang tersebut. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, semua tempat tersebut basah oleh air.
"Kita harus lebih cepat lagi, atau semua akan terlambat," ucap Aarav terus menarik tubuh Eiireen. Keringat yang keluar dari tubuhnya, langsung menghilang bersama dengan hujan yang mengguyur tubuh. "Jika terus berlanjut seperti ini, kita harus bersiap dengan keadaan buruk."
Seakan tidak menghiraukan apa yang dikatakan Aarav, Erina terus saja menekan dada begitu kuat. "Apa yang sebenarnya kurasakan saat ini? Kenapa aku merasa ada yang salah dengan semua ini. Apa yang terjadi sebenarnya."
"Erina!" teriak Aarav di bawah tekanan hujan deras yang mengguyur. Suara hujan dan guntur yang silih berganti, membuat suaranya tidak terlalu dapat didengar oleh Erina. Padahal jarak mereka sangat dekat antara satu sama lain.
"Ada apa?" Setelah panggilan ke sepuluh, Erina akhirnya menjawab panggilan Aarav. "Apa ada yang salah di sini? Apa kau tadi memanggilku?" lanjutnya seakan tidak ada sesuatu yang salah.
Aarav hanya dapat memalingkan wajah, tidak peduli atas apa yang sejak tadi sudah dia katakan. Apalagi tentang keadaan mendesak yang harus mereka lakukan jika terus diguyur hujan.