Setalah berjalan dengan diguyur hujan selama hampir satu jam. Erina dan Aarav akhirnya telah sampai di rumah mereka. Tanpa menunggu lama, mereka berdua segera masuk ke dalam kamar. Kemudian membaringkan tubuh Eiireen secara perlahan di atas ranjang.
Napas Erina menderu kencang setelah berjalan agak jauh. Meskipun haram tersebut tidak terlalu jauh, tetaao saja semua itu melelahkan fisik Erina. Jika saja bukan karena membawa tubuh Eiireen, hal itu tidak terlalu berkesan pada tubuh Erina.
Namun, berjalan sambil membawa tubuh Eiireen yang cukup berisi. Tentu saja akan membutuhkan kekuatan yang cukup besar juga. Apalagi diterpa hujan deras disertai angin kencang yang cukup mengerikan. Hal itu semakin menambah halangan dan rintangan yang harus dilalui.
"Setelah Ayah sadar, aku akan memintanya untuk lebih menjaga makannya," kata Erina dengan napas menderu kencang. Rambutnya yang basah tergerai menutupi wajah, meneteskan bulir-bulir air hujan yang tertampung di sana.
Aarav hanya tersenyum tipis melihat tingkah Erina yang seperti itu. "Jangan hanya menyalahkan Eiireen terus menerus. Seharusnya kau sendiri yang memikirkan dirimu sendiri." Kepala Aarav terus bergerak ke kanan dan kiri. "Bukan karena tubuh Eiireen yang terlalu berat, melainkan tubuhmu yang tidak memiliki tenaga."
Mendengar apa yang dikatakan Aarav, membuat Erina naik pitam. Secara tidak langsung, ucapan tersebut mengatakan bahwa dia memiliki tubuh yang lemah.
"Apa aku salah?" Aarav mengangkat bahu sembari tersenyum simpul. "Jangan hanya membesarkan tubuhmu, tetapi tidak membesarkan tenagamu," sambungnya memalingkan wajah. Detik berikutnya ketika Erina tidak melihat, Aarav menjulurkan sedikit lidahnya keluar.
Emosi Erina semakin menjadi ketika mendengar ucapan Aarav. Membicarakan berat badan seorang wanita, sudah pasti merupakan hal yang tabu dilakukan. Akan tetapi, Aarav begitu mudah mengatakan hal tersebut.
"Apa kau bilang!" bentak Erina mengangkat tangan yang mengepal di samping pelipis kanan. "Sekali lagi kau mengatakan hal tersebut, aku akan benar-benar memukulmu!"
Tidak disangka, respons yang diperlihatkan Aarav berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Erina. Padahal dia berniat untuk membuat Aarav merasa ketakutan atau setidaknya berhenti menghina dirinya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Aarav terlihat sangat puas tertawa setelah mendengar ucapan Erina. Kedua tangannya terus saja menekan perut tanda bahwa sangat senang. Bahkan ujung matanya sampai mengeluarkan butir-butir air bening, terus mengalir membasahi pipi.
"Ternyata kau pandai juga dalam bercanda," ucap Aarav setelah lama tertawa. Jari telunjuknya sangat berhati-hati dalam mengusap ujung mata, menyeka cairan yang terkumpul di sana.
"Sialan!" umpatnya sangat kesal. "Kenapa menjadi seperti ini." Erina berdecak setelah memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, membelakangi Aarav sambil mengernyitkan kening.
Kepala Erina terus saja dipenuhi dengan beberapa pertanyaan. Salah satunya tentang apa yang sebenarnya dikatakan Aarav sebelumnya. Masalah besar apa yang sebenarnya akan terjadi, jika mereka berdua tetap berada di luar sana. Keadaan buruk apa yang sebenarnya ingin dibicarakan olehnya.
Suasana hening menyelimuti sekitar. Hanya suara air hujan yang mengenai genting rumah berbahan lempengan besi tipis. Ditambah dengan suara petir dan guntur yang silih berganti, bagaikan sebuah melodi yang menentramkan hati.
"Hei ..." Erina memecah keheningan dengan sebuah suara. Kepalanya sedikit ditundukkan dengan kedua tangan disatukan di depan dada. Kedua tangan tersebut terus memilin satu sama lain. Detik berikutnya, dia menekan dada untuk menyamarkan detak jantung yang mulai tidak stabil.
Aarav memalingkan wajah ke arah Erina. Wajah yang sebelumnya menatap Eiireen begitu lekat, kini berganti menatap Erina dengan penuh rasa penasaran. Bola mata hitamnya terus berputar, mengamati tubuh Erina dari atas hingga ke bawah.
"Ada apa?" tanya Aarav mengernyitkan kening. Detik berikutnya dia berjalan beberapa langkah ke depan, mendekati Erina dengan begitu mantap.
Akibat diguyur hujan begitu deras, membuat baju Aarav terasa tidak nyaman ketika dikenakan. Dia segera melepas ikatan tali yang melilit dada. Hal itu dilakukan agar baju dari kulit rusa yang melilit tubuh Aarav, dapat terlepas dengan sempurna.
Ketika jarak antara dirinya dengan Erina hanya tinggal beberapa langkah saja, baju kulit rusa tersebut telah berhasil terlepas dari tubuh Aarav. Seketika itu pula, tubuh berisi dengan otot kekar, terlihat begitu jelas. Apalagi dibalut dengan kulit putih bersih, semakin menambah kesan menggoda bagi siapa pun yang melihatnya.
Tidak akan ada seorang pun wanita atau bahkan manusia yang dapat berpaling dari tubuh Aarav. Sebuah pesona yang tiada tandingannya, semua itu dimiliki oleh Aarav dengan sangat sempurna. Hanya saja, dia tidak berniat menggunakan tampilannya tersebut untuk kesenangan seperti itu.
Hanya rasa benci dan pembalasan dendam saja yang ada di dalam hati Aarav sejak dulu. Ketika berhasil pergi dari desa dan menetap bersama Eiireen dan Erina. Tidak ada hal lain yang ada di dalam kepala Aarav selain balas dendam pada siapa pun yang bersangkutan dengan pembunuhan keluarganya.
"Apa kau berbicara sesuatu? Karena suara hujan yang semakin deras, aku tidak terlalu mendengar ucapanmu. Apalagi dengan suara lirih seperti tadi. Bisakah kau mengulanginya lagi dan mengucapkannya di depan mataku?" Tangan Aarav terjulur ke depan, mengarah pada bahu Erina yang ada di hadapannya.
Erina menggigit ujung bibir, jantungnya semakin berdegup kencang. Keringat mengucur dari wajah, kemudian tertampung pada dagu, hingga akhirnya terjatuh karena getaran yang dihasilkan. Erina beberapa kali menelan ludah, menatap Aarav dari ujung rambut hingga kaki.
Pandangan mata Erina terpaku ketika menatap dada bidang Aarav. Meskipun sudah lama bersama dengannya, tetapi baru kali ini dia menatap tubuh Aarav. Tentu saja hal itu memicu sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada di dalam dada, terpacu begitu cepat dan tidak dapat dikontrol.
"Apa yang terjadi padamu?" Aarav mengayunkan tangan di depan mata Erina ke kiri dan kanan. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan, sesekali menggaruk pelipis yang tidak gatal. "Kenapa kau bertingkah aneh seperti ini?"
Kedua tangan Aarav diletakkan pada pinggang, bola mata hitamnya menatap Erina penuh rasa heran. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja, kenapa begitu cepat keadaannya berubah. Hal itu masih menjadi pertanyaan besar di dalam kepala Aarav saat ini.
Setelah berpikir lama, Aarav akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu terhadap Erina. Tangannya diangkat di depan dada dengan jantung berdegup kencang. Berpikir apakah Erina dapat mendengar detak jantungnya saat ini.
Sebuah tepukan kencang pada bahu Erina, akhirnya dapat menyadarkannya dari lamunan. Secara refleks, tangannya yang sudah mengepal diayunkan ke depan. Pukulan kencang mendarat pada wajah Aarav, membuat hidungnya mengeluarkan darah segar.
Tubuh Aarav terpelanting beberapa langkah ke belakang. Hingga akhirnya berhenti karena menghantam meja yang kebetulan ada di dekat tembok bambu. Jika saja bukan karena meja tersebut, tubuhnya akan menghancurkan tembok tersebut.