Aarav yang baru saja menjelaskan apa yang dia rasakan saat itu, mulai kehilangan kesadaran. Pandangan mata mulai memudar, diikuti dengan warna kuning yang memenuhi seluruh pandangan. Tubuhnya terjatuh tepat di atas pangkuan Eiireen.
Erina yang melihat hal tersebut segera berlari menuju arah Aarav. Menjulurkan kedua tangan secara spontan, berusaha untuk mengangkat tubuh Aarav yang dua kali lebih besar darinya.
"Apa yang terjadi pada Aarav? Apa dia baik-baik saja." Sudut mata Erina berkerut, seakan menahan tangisan. Detik berikutnya, air mata mulai memenuhi matanya. Kemudian mengalir begitu deras diikuti isakan yang keluar dari bibir kecilnya.
Eiireen yang sejak tadi menyentuh kepala Aarav, menghentikan gerakan tersebut dan menyentuh ujung kepala Erina. "Kau tidak perlu khawatir, dia pasti akan baik-baik saja. Tidak akan kubiarkan hal yang buruk terjadi pada kalian berdua. Itulah janji Ayah padamu."
Tangan Eiireen bergerak secara perlahan, menyentuh ujung mata Erina untuk mengusap air mata yang mengalir pada wajahnya.
"Jangan pernah menunjukkan kelemahanmu seperti ini. Walaupun kau seorang wanita, jangan pernah menangis hanya karena sesuatu seperti ini." Eiireen menyeringai ke arah Erina, sembari tangannya terus saja mengusap kepala Erina begitu kasar.
Merasa kesal atas perlakuan ayahnya, Erina segera menyingkirkan tangan Eiireen dari atas kepala. Bola matanya yang besar, semakin lebar ketika menatap Eiireen begitu tajam. Sejak dulu, dia tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil.
Namun, Eiireen tidak pernah mendengarkan keluhan yang diberikan Erina selama ini. Setiap kali berhadapan dengan ayahnya, dia akan diperlakukan seperti layaknya anak kecil. Erina juga tidak salah membantah atau melakukan pembelaan atas semua itu.
Eiireen mengambil napas dalam-dalam, bola matanya terlihat menatap langit yang dipenuhi burung beterbangan. Apalagi sekarang sudah musim dingin, banyak burung yang akan pergi untuk pergi ke tempat yang lebih hangat.
"Sebaiknya kau kembali ke rumah terlebih dahulu," pinta Eiireen setelah tersenyum setengah ke arah Erina.
Erina menarik tangan yang sejak tadi memegang wajah Aarav, wajahnya terlihat begitu sedih menatap Aarav. Bagaikan teriris dengan pisau tajam, hatinya begitu sakit menatap Aarav yang terbaring tidak terdaya.
Setelah mengatakan hal tersebut, Eiireen segera bangkit dari duduk sambil mengangkat tubuh Aarav. Bola matanya melirik ke arah Erina yang ada di hadapannya, masih terduduk dengan air mata mengalir begitu deras.
"Jika hanya kesedihan yang kau lakukan, selamanya kau tidak akan pernah berkembang." Eiireen berjalan meninggalkan Erina sendiri. "Jika memang kau merasa kasihan dengan Aarav, sebaiknya jadilah kuat agar dapat melindunginya, atau setidaknya dapat sedikit berguna jika dia membutuhkanmu. Jangan hanya menjadi orang yang dilindungi, tetapi jadilah orang yang pantas untuk melindungi."
Eiireen semakin cepat melangkahkan kaki meninggalkan Erina sendirian. Tekanan udara yang berada di sana, membuat suasana dingin mencekam. Apalagi sebentar lagi musim dingin akan datang, membuat suasana semakin dingin mencekam.
Setelah mendengar apa yang dikatakan sang Ayah, Erina mulai memantapkan hatinya untuk satu tujuan. Padahal sebelumnya dia sangat tidak menyukai pertarungan, karena hal itu akan menyakiti lawan atau bisa saja orang terdekatnya.
Namun, sekarang perasaan tersebut seakan menghilang di dalam hatinya. Semangat membara mulai menyala di dalam hati, begitu juga dengan tatapan mata yang berapi-api. Meskipun dia adalah seorang wanita, Erina berpikir tidak ada salahnya mulai berlatih ilmu berpedang dan lain sebagainya.
***
"Bukankah seharusnya kau berhenti saja sekarang? Sudah mulai gelap saat ini." Aarav sedikit meninggikan suara, membuat urat pada lehernya menegang.
Bola matanya menatap sosok yang masih memegang pedang dan mengayunkannya penuh semangat membara. Wajah Aarav terlihat khawatir ketika menatap sosok tersebut, seakan ada rasa bersalah di dalam hatinya. Aarav menggigit ujung bibirnya hingga berdarah.
Jengkel karena ucapannya seakan tidak dipedulikan, Aarav segera beranjak dari duduk. Ranting yang ada pada genggaman tangannya segera dipatahkan ketika sudah berdiri sempurna. Kedua kakinya mulai melangkah secara perlahan menuju sosok di depan sana.
"Apa yang ingin kau lakukan? Bukankah sudah kubilang, aku akan meneruskan hal ini beberapa jam lagi." Erina berteriak ketika bola matanya melirik arah Aarav.
Pada saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah saja, sosok yang sejak tadi mengayunkan pedang semakin terlihat dengan jelas. Rambut hitam panjang yang diikat ke belakang, begitu cocok dengan wajah seriusnya.
Wajah dan seluruh tubuh dipenuhi dengan keringat, tangan kecilnya yang menggenggam pedang, dan kaki yang terus memasang kuda-kuda mantap. Wajah Erina terlihat begitu serius dalam melakukan hal tersebut.
Aarav menarik pergelangan tangan Erina, tidak mempedulikan segala hal yang dilakukan Erina. Meskipun berusaha sekuat tenaga agar dapat lepas dari cengkraman Aarav, Erina tidak dapat melakukannya.
"Kenapa kau bersikap seperti itu selama tiga hari ini?" Aarav membentak tanpa melihat ke belakang. Bola matanya terus saja menatap ke depan, sekilas bulatan hitam pada matanya saat ini bergetar. "Menjadi kuat bukan berarti harus menyiksa tubuhmu seperti ini."
Erina terus saja meronta agar dapat lepas dari cengkraman Aarav. "Aku melakukan hal ini agar menjadi lebih kuat, dengan begitu aku dapat melindungimu dengan kekuatanku sendiri!" bentaknya tak kalah kencang.
Embusan angin yang terasa begitu kencang dan dingin, menusuk kulit mereka berdua. Aarav semakin kencang menggigit ujung bibir, hingga terlihat cairan merah keluar dari bekas gigitannya.
"Jangan menyiksa dirimu seperti ini! Aku tidak pernah memintamu untuk melindungiku!" bentak Aarav semakin kencang mencengkram pergelangan tangan Erina. "Bukankah sudah kukatakan sejak pertama aku datang kemari. Aku yang akan melindungimu dan menjagamu, jadi jangan memaksakan diri lebih dari yang kau mampu." Isakan tangis terdengar samar dari mulut Aarav.
Erina yang mendengar hal tersebut, tidak dapat membantah apapun yang dikatakan Aarav. Selama beberapa tahun ini, dia belum pernah mendengar Aarav sedih seperti saat ini. Sudah pasti jika dia sangat merasa terpukul atas apa yang sudah terjadi.
"Maafkan aku." Erina menundukkan kepala, merasa sangat bersalah atas apa yang telah dia perbuat. "Karena salahku, kau sampai menangis seperti itu," lanjutnya sembsri mengusap ujung mata yang mulai mengeluarkan air mata.
"Aku tidak menangis!" teriak Aarav menyangkal. "Kenapa kau berkata kalau aku sedang menangis!"
"Eeeh ...." Bola mata Erina tercengang, otaknya terasa kosong. "Apa aku salah mendengarnya? Padahal kukira kau sedang menangis tadi."
"Aku tidak menangis!" teriak Aarav semakin kencang, justru membuat suaranya sedikit terdengar berbeda. "Jangan berpikir seperti itu lagi."
"Aaah ... dia memang sedang menangis," batin Erina ketika mendengar teriakan Aarav. Detik berikutnya, Erina tersenyum tipis sembari menutup mulutnya. "Baiklah, aku akan mengurangi semua itu. Tidak akan kubiarkan air mata keluar dari matamu untuk kesekian kalinya."
"Sudah kukatakan, aku tidak menangis! Jangan membuatku mengulanginya terus menerus," tolak Aarav beberapa kali memasang wajah kesal.
Mengetahui semua itu, Erina tersenyum tipis. Dia merasa apa yang dia lakukan selama tiga hari ini terlalu memaksakan diri. Pantas saja jika Aarav sangat merasa khawatir atas tindakannya tersebut.
"Aku memang lemah. Aku bahkan tidak dapat menghentikan Erina untuk berhenti melakukan itu semua. Sebenarnya, seberapa lemahnya aku ini."