Senyuman yang diperlihatkan Erina, membuat kenangan yang tersimpan di dalam hati Eiireen muncul begitu saja. Sebuah wajah yang sama persis seperti Erina, tiba-tiba saja muncul di dalam kepala Eiireen. Hanya saja, wanita di dalam ingatan Eiireen terlihat lebih tua dibandingkan Erina.
Seluruh tempat tersebut diselimuti dengan warna putih, tidak ada perpaduan warna lain. Hanya sosok wanita dengan senyuman menawan yang terlihat sejauh mata memandang.
"Aku tidak akan pernah menyerah, meskipun apa yang kau katakan menjadi kenyataan!" teriak wanita yang mirip dengan Erina. Sudut bibirnya sedikit terangkat, menampilkan senyuman lebar penuh kepercayaan diri.
Sebuah tepukan tangan pada bahu, menyadarkan Eiireen dari lamunan yang dia lakukan. Keringat dingin mengucur deras dari wajah, napasnya sedikit berantakan saat ini.
"Apa yang Ayah lakukan?" tanya Erina memiringkan kepala, sedangkan tangan satunya menempel di atas bahu Eiireen. "Apa Ayah sedang sakit hari ini? Jika memang demikian, lebih baik Ayah istirahat saja terlebih dahulu."
Aarav yang sejak tadi melihat, tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Entah apa yang saat ini ada di dalan kepalanya, padahal biasanya dia sangat berisik jika menyangkut pertarungan.
"Apa memang itu yang terbaik?" Aarav menghela napas panjang, bola matanya menatap lurus ke depan. "Aku tidak mengetahui kapan semua ini akan terjadi. Namun, kenapa aku merasakan sesuatu yang menyakitkan di dalam dadaku." Aarav menekan dadanya begitu kencang, seakan mencoba menghilangkan rasa sakit yang ada di sana.
Beberapa saat kemudian, Aarav menggelengkan kepala beberapa kali. "Aku tidak boleh memikirkan semua ini terlalu dalam. Semua pasti akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula, kenangan itu tidak menampilkan di mana tempat kejadian tersebut."
Setelah menenangkan diri, Aarav segera mengambil pedang kayu yang biasanya dia gunakan dalam pertarungan melawan Eiireen. Kamu kecilnya perlahan melangkah menuju tempat Eiireen dan Erina berada, dengan pedang kayu yang sudah tergenggam pada tangan.
"Apa kalian akan terus memberikan argumen yang sia-sia seperti ini?" tanya Aarav ketika jaraknya dengan Eiireen hanya tinggal beberapa langkah. Dengan senyuman penuh percaya diri, Aarav mengangkat pedang kayu dan mengarahkan ujungnya pada wajah Eiireen.
Selanjutnya Aarav menarik pedang kayu, kemudian meletakkan di atas bahu. Bola matanya menatap Eiireen begitu tajam dengan senyuman menyimpang. Senyuman tersebut membuat alisnya terangkat, kerutan pada kening juga terlihat begitu jelas.
Eiireen yang melihat tingkah Aarav, memandangnya dengan tatapan bodoh. Meskipun bola matanya melihat Aarav, wajahnya sama sekali tidak berpindah dari hadapan Erina. "Apa yang terjadi padamu? Apa kau baru saja menelan serangga," tanyanya dengan memasang wajah bodoh.
" ... " Hening, hanya suara embusan angin yang terdengar di tempat tersebut.
Berikutnya, Aarav memiringkan kepala masih dengan pedang kayu di atas bahu. Bola mata yang sebelumnya terbelalak lebar bagaikan biji durian, sekarang berubah sayu bagaikan ikan yang sudah mati beberapa hari.
"Huh? Apa yang baru saja kau katakan?" Aarav membalikkan pertanyaan yang diberikan padanya. "Aku tidak memakan apapun saat ini. Apa ada yang salah?"
"Are ..." Erina memiringkan kepala. "Apa hanya aku yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi?" tanyanya dengan wajah tidak berdosa, memandang Aarav dan Eiireen secara bergantian.
Suasana kembali hening setelah mendengar apa yang dikatakan Erina. Detik berikutnya, Eiireen mengeluarkan suara tawa tipis, hingga membuat Aarav mengikuti. Erina yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi, hanya dapat memandang mereka secara bergantian tanpa ekspresi.
Aarav menekan perut yang terasa melilit setelah tertawa terlalu lama. Ujung matanya mengeluarkan butiran bening, melewati pipi hingga akhirnya terjatuh di atas tanah melalui dagu. Aarav segera mengusap cairan bening tersebut dengan jari telunjuk, menghentikan suara tawa yang sebelumnya menggema di seluruh tempat.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melakukan semua itu," ucap Aarav lirih tersenyum ke arah Erina.
Eiireen yang melihat hal tersebut, segera melakukan hal yang sama. Suara tawa menghina yang sebelumnya dia keluarkan, sekarang menghilang dan digantikan dengan suara embusan angin menerpa kehidupan.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Semua ini murni kesalahanku, kau tidak perlu melakukan semua itu." Eiireen mengambil pedang kayu yang sebelumnya menancap di depan kaki, kemudian mengangkatnya hingga berada satu jengkal di atas bahu.
Menyadari kesenangan yang akan segera terjadi, Aarav menatap Erina dengan penuh semangat membara. "Akhirnya kau mulai langkah pertama dalam hidupmu. Aku yakin kau dapat melaluinya dengan baik." Saraf meletakkan tangannya di atas bahu Erina, tersenyum begitu ramah dengan tatapan mata kosong.
Di dalam kepala Aarav saat ini, dipenuhi dengan kenangan di mana sosok Erina berlumuran darah pada wajah. Sedangkan pedang yang disinari sinar mentari senja, terlihat terang hingga membuat silau setiap bola mata yang mencoba untuk memandangnya.
"Aku tidak akan pernah membiarkan mimpi itu menjadi kenyataan. Setelah kehilangan keluargaku sekali, aku tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Karena itulah, aku harus berlatih lebih keras dan menjadi kuat. Semua itu agar kali ini aku dapat melindungi orang yang berharga di dalam hidupku," batin Aarav terus saja menatap Erina begitu berapi-api.
Jarak Eiireen yang tidak terlalu jauh dengan Aarav, membuatnya sanggup menjangkau tubuhnya hanya dengan menjulurkan tangan. Tanpa menunggu waktu lama, kedua tangan Eiireen direntangkan hingga lebar. Bagaikan burung hantu yang hendak terbang bebas ke udara, mengepakkan sayap begitu lebar sampai menutupi cahaya.
Itukah yang saat ini dilakukan Eiireen. Tangan yang cukup lebar untuk mendekap dua orang secara bersamaan, segera direntangkan dan merangkul Aarav serta Erina secara bersamaan. Wajahnya terlihat begitu bahagia, tidak seperti orang yang sedang kehilangan akal sehatnya.
"Bagus! Kalian berdua begitu hebat!" teriak Eiireen begitu bahagia, bahkan sampai mengeluarkan air mata pada ujung matanya. Kening Eiireen mengkerut, ketika mencoba menahan rasa sedih yang saat ini sedang menggelayuti hatinya. "Ayah berjanji, akan membuat kalian menjadi orang yang kuat. Hingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang berani mengganggu kalian berdua."
Mendengar ucapan yang diberikan Eiireen, Erina dan Aarav tertawa simpul. Sudah sejak lama Aarav tidak merasakan kehangatan di dalam sebuah keluarga, begitu juga dengan perasaan ketika tubuhnya didekap oleh orang lain.
Untuk pertama kalinya, Aarav yang sejak dulu hanya memasang wajah tanpa ekspresi. Bahkan menganggap seluruh manusia yang ada di dunia ini tidak pernah ada. Sekarang dapat tersenyum dengan begitu bahagia, bahkan hampir mengeluarkan air mata.
"Apa kau menangis?" tanya Erina ketika bola matanya sempat melirik wajah Aarav yang tengah bersedih. Dengan wajah bodoh, Erina mengangkat salah satu alis, serta menarik ujung bibir ke atas. Menciptakan harmoni wajah yang terasa begitu menjengkelkan ketika dipandang oleh mata biasa.