"Apa!" Kedua alis Aarav berkedut, mendengar segala penjelasan yang telah dia dengar dari mulut Erina. "Aku tidak salah dengar, kan? Jangan bercanda dalam hal seperti ini."
Erina menghela napas panjang, menepuk keningnya pelan. "Tentu saja aku tidak bercanda dalam hal ini. Atas dasar apa aku harus berbohong kepadamu."
Aarav menepuk kening penuh senyuman tidak percaya. "Kenapa aku bisa ditipu semudah ini," keluhnya sambil tertawa tipis. Bola mata hitamnya menatap wajah Eiireen.
Hanya wajah bodoh yang diperlihatkan oleh Eiireen. Memandang Aarav seakan tidak pernah terjadi apa-apa. "Kenapa kau menundukkan kepala seperti itu? Apa ada yang salah di rumah ini."
Eiireen menatap wajah Erina dengan tajam. "Sudah kukatakan sebelumnya, kan! Sebagai seorang wanita, kau harus mengurus keadaan rumah dengan baik. Kenapa seorang tamu bisa bersikap seperti ini ketika tiba di rumah kita."
"Aah ... bukan itu masalahnya, tapi sudahlah," kata Aarav masih dengan telapak tangan ditempelkan pada kening. "Aku tidak percaya hanya orang yang tidak waras seperti ini. Pantas saja segala tingkahnya sangat berbeda dengan apa yang dia bicarakan sebelumnya."
Ya, sekarang Aarav sudah tahu jika semua yang dikatakan Eiireen hanyalah kebohongan belaka. Menggunakan kata tersebut memang sedikit menjengkelkan, tapi itulah yang sebenarnya terjadi.
Eiireen bukanlah kepala desa di sana, melainkan hanya seorang penduduk biasa yang tidak memiliki jabatan apapun. Masa lalunya hanyalah seorang prajurit yang dibuang kerajaan entah karena masalah apa.
Mengalami depresi yang begitu besar, hingga membuat otaknya kehilangan kinerja. Dengan begitu, seluruh ingatan Eiireen menghilang begitu saja. Seluruh warga desa Li Bi juga sudah mengetahui hal tersebut, mereka juga membiarkan segala hal yang dilakukan Eiireen selama ini.
"Yah ... walaupun dia terlihat seperti itu, kekuatan yang dia miliki memang besar. Semua orang di desa ini juga sudah mengakui kekuatan milik Ayah." Erina memandang wajah Eiireen dengan senyuman penuh kebanggaan. Senyuman tipis dibalut dengan wajah mungil terlihat begitu menawan.
Tiba-tiba saja, senyuman Erina lenyap begitu saja. "Jika saja dia tidak memiliki kelemahan seperti ini. Aku yakin dia akan menjadi sosok Ayah yang diidamkan banyak orang."
Aarav tidak dapat berkata apapun dalam hal ini. Dia yang baru saja masuk ke dalam kehidupan Erina dan Eiireen, tentu saja harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. Entah itu hal yang baik atau buruk harus tetap dijalani olehnya.
"Tidak usah memikirkan hal itu. Sekarang, kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami." Erina tersenyum memandang wajah Aarav yang masih terlihat kecil. "Aku pasti akan menjadi Kakak yang baik untukmu."
Bola mata Aarav mengembang ketika mendengar kata Kakak dari mulut Erina. Dilihat dari wajahnya saja, Erina terlihat lebih muda daripada dirinya. Kenapa dia harus menjadi adiknya tanpa sebuah kesepakatan.
"Huh? Bagaimana mungkin aku yang menjadi adik?" Aarav mengerutkan kening, menatap Erina begitu tajam. "Akulah yang akan menjadi kakakmu, dengan begitu aku bisa melindungimu dengan baik." Aarav menepuk dadanya penuh dengan kebanggaan, raut wajahnya terlihat begitu percaya diri atas kekuatan yang dia miliki.
"Tidak perlu memikirkan tentang siapa yang akan menjadi Kakak atau adik. Apa yang terpenting saat ini adalah ..." Eiireen tiba-tiba saja mengatakan sesuatu yang serius. Bola matanya terlihat begitu menawan, walaupun dibalut dengan debu tanah bertebaran.
Aarav menelan ludah, wajahnya dipenuhi dengan keringat dingin sebesar biji jagung. Terus mengalir hingga menetes dari ujung dagunya, membasahi tanah kering secara bertahap.
"Apa yang lebih penting dari itu?" tanya Aarav begitu penasaran terhadap pernyataan Eiireen sebelumnya.
Eiireen tidak langsung menjawab pertanyaan Aarav. Pandangan matanya masih begitu tajam dipenuhi dengan misteri. Hidungnya berkedut dengan tarikan napas berulang.
"Kita makan terlebih dahulu. Aku sudah lapar," kata Eiireen sembari menyentuh perutnya ya g sudah keroncongan. Wajahnya seperti tidak memiliki dosa apapun, padahal sudah membuat Aarav menunggu begitu lama.
Mendengar jawaban Eiireen, Aarav menepuk kening malas. Hasil dari rasa penasarannya ternyata tidak membuahkan apapun. Detik berikutnya, Aarav menghirup udara dalam-dalam, mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh.
"Satu hal yang harus kau ingat. Jangan pernah berharap lebih pada semua yang dikatakan Ayah." Sebelum masuk ke dalam, Erina memberikan beberapa nasehat kepada Aarav.
***
"Apa hanya segini kemampuanmu?" tanya Eiireen dengan tatapan mata merendahkan. Tangannnay menggenggam pedang kayu dengan lemas, ujung pedang melayang beberapa jengkal di atas tanah, terarah pada wajah Aarav yang sudah dipenuhi debu tanah.
Napas Aarav tidak teratur, wajah mungil dipenuhi dengan debu tanah di sekujur tubuh. Pedang kayu yang sama persis seperti milik Eiireen, tergeletak di samping kaki Aarav.
"Sialan," umpat Aarav sembari menatap wajah Eiireen. "Dia memiliki kekuatan yang melebihi Ayah. Terlebih lagi, dia tidak pernah ragu-ragu dalam melancarkan serangan. Sangat berbeda dengan pelatihan yang selama ini kulakukan." Aarav mengangkat tangan, mengusap wajah menggunakan lengan.
Dengan tatapan mata merendahkan, Eiireen mengangkat ujung bibirnya. "Apa kau sudah menyerah begitu saja? Sangat tidak terduga." Senyuman pada wajahnya semakin terlihat menyebalkan.
Aarav menundukkan kepala, menghela napas beberapa kali untuk menetralkan rasa lelahnya. Sedangkan Erina, dia hanya bisa menatap dari depan pintu rumah.
"Padahal kau sendiri yang memaksaku untuk melatihmu. Jika hasilnya seperti ini, lebih baik aku tidak menerimanya begitu saja," bibir Eiireen semakin menyebalkan, apalagi tatapan mata yang seperti menatap dronggik sampah tidak berguna.
Aarav mengepalkan tangan, memukulkannya pada tanah di bawah wajahnya. Ujung matanya mulai berair, menyadari tentang kekuatannya yang belum seberapa.
"Apa hanya ini kekuatan yang kumiliki? Apa dengan begini saja sudah cukup? Bagaimana mungkin aku bisa membalaskan dendam mereka semua yang sudah tiada?" Pertanyaan demi pertanyaan mulai beterbangan di kepala Aarav, membuat pikirannya sedikit melayang.
"Sialan!" teriak Aarav diiringi butiran bening mengalir dari ujung mata. Detik berikutnya, tangan Aarav mengambil pedang kayu di samping kaki.
"Aku tidak akan pernah menyerah. Walaupun harus merasakan sakit dari sekujur tubuh, tidak akan pernah kubiarkan pemikiran menyerah melintas di dalam kepalaku." Aarav mengangkat pedang, mengarahkan ujungnya pada Eiireen.
Tatapan mata penuh keyakinan terpancar dari mata Aarav. "Kita mulai kembali."
"Kali ini, aku tidak akan segan dalam menyerang. Kuharap kau bisa mengikutinya dengan baik." Eiireen juga sudah memasang kuda-kuda mantap, bersiap melanjutkan latihan pertempuran.
Kedua ujung pedang saling bersentuhan, terpaan angin yang kencang membuat debu beterbangan di sekitar.
Aarav memejemkan mata, merealisasikan seluruh gerakan yang sebelumnya dikeluarkan Eiireen. Menyusun beberapa strategi di dalam otak begitu cepat.
Ketika sedang memikirkan sebuah rencana, setitik cahaya memancar dari dada Aarav. Perlahan, cahaya tersebut semakin terang dan menyilaukan. Bahkan sinar mentari tidak sanggup melawan cahaya yang keluar dari dada Aarav.