Chereads / The Lord of Warrior / Chapter 6 - Keluarga Baru

Chapter 6 - Keluarga Baru

Pintu yang baru saja didorong Eiireen roboh seketika. Aarav yang melihat hal tersebut hanya dapat membelalakkan mata, sudut mulutnya terangkat sedikit.

"Apa benar dia kepala desa di tempat ini?" batin Aarav merasa ragu atas apa yang baru saja dia lihat.

Suara jatuhnya pintu kayu, terdengar begitu nyaring. Lantai yang masih beralaskan tanah, segera menyemburkan debunya ke atas setelah menerima hantaman pintu. Beberapa debu terbang dan mengenai wajah Eiireen, membuatnya batuk beberapa kali.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Aarav yang sejak tadi membelalakkan mata, segera mengubah raut wajah menjadi lebih serius. Kepalanya sedikit dimiringkan dengan bola mata berputar mengawasi bagian dalam rumah.

"Aaah, bisakah ayah lebih berhati-hati lagi." Suara lembut dengan tekanan yang begitu rendah, terdengar sangat menenangkan di telinga Aarav.

Bola mata Aarav masih belum dapat melihat orang yang berbicara. Dengan penuh rasa penasaran, Aarav melangkah ke depan dengan perlahan. Setiap kali melangkah, jantungnya semakin berdegup kencang. Keringat sebesar biji jagung keluar dari wajah, menetes membasahi tanah setiap kali melangkah.

Seketika, Aarav berhenti bergerak ketika menatap orang yang ada di hadapannya. Tubuh mungil dengan tinggi sekitar satu meter, tengah berdiri dengan tatapan mata sayu ke arah Eiireen. Rambut sepanjang bahu berwarna hitam, serta senyuman dari mulut yang diperlihatkan. Semua hal tersebut membuat jantung Aarav mengalami adrenalin yang begitu hebat.

Wanita itu sedang memegang sebuah sapu sepanjang tubuhnya. Terrlihat dari keadaan tubuh yang sudah dipenuhi sarang laba-laba, wanita itu pasti sedang membersihkan rumah entah untuk apa.

"Maaf, siapa kau?" tanya wanita berambut hitam ketika melihat Aarav. "Aku belum pernah melihatmu di desa ini." Wanita itu melangkah mendekati Aarav, tatapan mata sayu terasa menenangkan jiwa Aarav.

"Aku ... A–a ... Aarav," jawab Aarav sedikit gugup, darah merah mengalir menuju wajah. Membuat kedua pipinya merah merona bagaikan kepiting rebus.

"Dia adik barumu," sela Eiireen masih sibuk mengangkat pintu yang terjatuh. Kemudian memasangnya kembali pada tempatnya.

Mendengar ucapan Eiireen, wanita berambut hitam di depan Aarav membelalakkan mata. Sudut mulutnya terangkat dengan kening mengkerut kencang, otot di rahangnya mengejang saat itu juga. Sapu yang sejak tadi dia genggam di tangan, terjatuh begitu saja ke belakang.

"Apa Ayah bisa mengatakan itu lagi?" tanya wanita berambut hitam, kedua tangannya terangkat hingga menutupi mulut. "Aku yakin jika salah mendengar yang ayah katakan."

Dengan wajah seakan tidak memiliki dosa, Eiireen menatap wajah wanita kecil di depannya. "Ya, tentu saja aku bisa mengatakannya sekali lagi. Dia adalah adikmu, jadi bersikaplah baik dengannya." Eiireen kembali memasang pintu yang telah lepas.

Wanita berambut hitam mengatupkan rahang, kedua tangan yang sejak tadi menutup mulut diturunkan secara perlahan. Kepalanya menunduk dengan tatapan mata yang terasa begitu mencekam. Suara desisan yang keluar dari mulutnya begitu menggetarkan suasana sekitar.

"Apa kau baik-baik saja!m?" tanya Aarav sembari menjulurkan tangan ke depan, berusaha meraih bahu wanita di hadapannya.

Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan begitu saja. Sebelum telapak tangan Aarav menyentuh bahu wanita tersebut, dia sudah berpaling dan berjalan menuju tempat Eiireen berdiri saat ini.

"Bagaimana mungkin ini terjadi." Samar-samar terdengar cibiran dari mulut wanita tersebut. "Ketika Ibu sudah tidak ada, kau melakukan hubungan terlarang dengan wanita lain."

"Huh?" Aarav yang mendengar desisan wanita tersebut hanya bisa mengangkat salah satu alis. Begitu juga dengan sudut mulut, Aarav juga mengangkatnya sedikit. "Apa aku tidak salah dengar?"

"Ayah ..." Wanita tersebut berhenti di depan Eiireen dengan tangan mrngeoal begitu kuat. Kepalanya masih menunduk, otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak dapat diungkapkan. "Dasar, Ayah brengsek!"

Kepalan tangan wanita tersebut melayang begitu cepat, mengarah pada wajah Eiireen yang belum siap akan sebuah serangan. Aarav yang terlambat menyadari, berusaha untuk menghentikan pergerakan wanita tersebut. Hanya saja, hal itu sudah terlihat percuma. Gerakan yang dilakukan Aarav begitu lambat untuk dapat menghentikan hal tersebut.

Namun, Eiireen yang seakan tidak siap dengan pukulan wanita itu. Dapat menghindarinya begitu mudah dengan menggerakkan kaki ke belakang beberapa langkah. Pukulan wanita itu mengenai udara kosong, Kemudian mengarah pada tanah yang ada di bawah.

Tekanan yang diberikan membuat tanah kering bekas Eiireen berdiri retak. Kepalan tangan wanita tersebut masuk beberapa jengkal ke dalam tanah. Suara desisan yang keluar dari mulutnya semakin terdengar kencang.

"Apa yang kau lakukan, Erina? Kenapa tiba-tiba saja memukul Ayah!" seru Eiireen setelah memperbaiki pintu, keringat dingin keluar dari wajah.

Tangan Eiireen yang dipenuhi debu tanah, terangkat untuk mengusap keringat pada kening. Tanah yang masih menempel pada telapak tangan, membuat keningnya penuh dengan debu saat itu juga.

Wanita yang dipanggil Erina, menarik tangan yang ada di dalam tanah. Setiap kali bernapas, sebuah asap keluar dari kedua hidungnya. "Karena kau memang pantas mendapatkan hal itu. Seseorang yang tidak menghargai perasaan orang lain, pantas mendapatkan pukulan tanganku ini." Erina mengangkat tangan di depan wajah, tatapan matanya penuh dengan niat membunuh.

Aarav yang memiliki sedikit kesempatan, segera bergerak menuju tempat Erina dan Eiireen berdiri. Kedua tangannya direntangkan begitu lebar, memblokir gerakan yang akan dilakukan Erina.

"Apa yang ingin kau lakukan? Cepat menyingkir dari hadapanku, atau kau akan mengalami hal yang sama." Erina memicingkan mata, niat membunuh yang begitu besar terasa mencekam.

Setelah menelan ludah beberapa kali, Aarav berusaha menjelaskan apa yang sudah terjadi. Awalnya, Erina tidak ingin mendengar segala hal yang dikatakan Aarav, tetapi secara perlahan dia mulai mengerti alasan apa yang dilakukan Eiireen.

Kemarahan yang dimiliki Erina perlahan menghilang. Tangan yang sejak tadi mengepal dan memperlihatkan urat pada pergelangan, mulai melemas dan tidak menampakkan kemarahan.

"Kenapa kau tidak mengatakan hal itu sejak awal, Ayah? Jika seperti itu kejadiannya, aku tidak melakukan hal ini." Erina memalingkan wajah dengan berkacak pinggang, wajahnya bersemu merah, mungkin karena malu.

Aarav yang melihat hal tersebut, langsung memasang wajah bodoh. Semu merah pada wajahnya seakan menghilang, membuat wajahnya pucat.

"Ternyata di dunia ini, ada juga manusia seperti mereka." Aarav mengangkat tangan, meletakkannya pada kening. Helaan napas panjang terdengar pada mulutnya sebelum berbalik dan menatap Eiireen.

"Kau pasti sangat kesusahan memiliki anak seperti dia. Apalagi dengan tugasmu sebagai kepala desa di sini, pasti hal itu akan membebanimu." Aarav menjulurkan tangan, membantu Eiireen bangkit dari duduknya.

"Begitulah, " jawab Eiireen sembari menepuk bahu yang kotor oleh debu tanah.

Pada saat Aarav berbalik, dia melihat Erina memasang wajah kesal. Keningnya mengerut dengan tatapan mata sayu terarah pada Aarav.

"Begini lagi. Kenapa banyak sekali yang mempercayai hal itu dengan begitu mudah." Erina menghela napas panjang, menundukkan badan untuk mengambil kembali sapu yang sebelumnya terjatuh.

Mendengar hal tersebut dari mulut Erina, semakin membuat Aarav kebingungan. "Apa yang kau katakan? Percaya apa dan bagaimana?"