Lain halnya dengan Lion. Pagi pria itu selalu bermakna, walaupun kini ia jauh dari kedua orang tuanya. Ia tidak pernah mengeluh ketika pagi menjelang. Rasa syukurnya semakin bertingkat.
Pagi hari yang indah, dengan suasana tenang di keheningan dini hari, mentari bahkan belum menampakkan sinarnya, tapi Lion telah bangun dari kantuknya.
Bergegas menuju kamar mandi umum, mandi bergantian dengan beberapa santri lainnya. Setelahnya ia bergegas menunaikan satu ibadah sunah yang sangat baik untuk dilaksanakan.
Ia bersimpuh di hadapan Rabb-Nya, menumpahkan segala pinta serta sesak dalam dada. Dalam relung hati ia meminta berjuta kebaikan yang ia tunjukkan untuk dirinya juga orang-orang yang ada di sekitarnya.
Tapi ada satu doa khusus yang ia pinta setiap saat. Doa yang tulus sangat tulus.
"Tuhan jaga dia, bantu dia untuk mencari jalan lebih dekat pada-Mu. Engkau maha tahu akan segala sesuatu, sedangkan aku hanya hamba-Mu yang bisa meminta dan berencana, tanpa kehendak dari-Mu aku tidak bisa berbuat banyak. Tuhan, tolong bantu aku untuk bisa menjaganya dengan cara yang baik. Jaga dia untukku Tuhan. Jika benar jalanku aku yakin akan ada pelangi setelah berjuta rasa sabar yang kami lalui, selamanya hanya pinta yang bisa aku panjatkan Tuhan. Bantu aku untuk menerima setiap kemungkinan apapun itu," ucapnya lemah.
Dadanya penuh sesak, membayangkan kemungkinan lain yang mungkin akan membuatnya jatuh. Tapi tak mengapa, ia yakin akan ada jalan Tuhan yang lain. Rencana Tuhan jauh lebih indah dibandingkan rencananya.
Usai menunaikan satu ibadah sunah, Lion bergegas merapihkan sejadah dan balas membangunkan Bagas. Teman sekamarnya itu bisa telat bangun jika tidak ia ganggu.
"Bagas bangun. Bentar lagi shalat subuh!" ucap Lion sambil menekan ibu jari bagian kaki kanan milik Bagas.
"Hmmm, iya," gumam Bagas. Ia bangkit dengan mata yang masih terpejam. Lihat wajah pria itu sungguh malang. Hampir tiga tahun berada di pondok pesantren dengan kegiatan yang sama, tetap tidak merubah perawai pria itu. Ia tetap pria bebal yang malas bangun pagi. Beruntung ia memiliki Lion yang senantiasa membantunya dalam keadaan susah. Bahu membahu menjaga satu sama lain.
"Mandi Gas! Kamar mandi dah ngantri tuh!" lanjut Lion.
Perlahan Bagas mengangguk patah-patah. Bangkit berdiri dan melangkah meraih handuk di gantungan dekat lemari baju, bergegas berjalan keluar menuju kamar mandi umum.
Lion bergegas membereskan tempat tidur keduanya. Merapihkan dan merapatkan ke pojokan. Menyapu lantai, mengepel barulah ia mengumpulkan pakaian kotor miliknya. Memasukan ke dalam kantung kresek berwarna hitam dengan menyertakan catatan jumlah paksain dan jenisnya. Jam 7.00 petugas laundry akan mengambil di depan pintu kamar keduanya.
Lion selalu rajin, terbiasa hidup mandiri sejak dini. Kedua orang tuanya berhasil mendidik Lion menjadi pria yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Udah Gas?" tanya Lion setelah satu jam lebih Bagas pergi dan kembali dengan wajah yang tampak lebih segar.
"Gue cuci muka doang. Gila! Kamar mandi penuh! Bisa telat jamaah kalau gue mandi dulu!" gerutu Bagas. Pria itu bergegas mengganti pakaiannya. Bersiap menuju masjid besar yang akan digunakan untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Lion tertawa pelan. Temannya ini hampir setiap hari mengeluh dengan kamar mandi yang penuh, malas mengantri lah, ada saja alasannya untuk tidak mandi di pagi hari.
Salahnya sendiri yang bangun terlambat. Selalu terlambat jika di jadwal bangun Lion.
"Lo mandi setiap jam 2 subuh! Gak dingin? Kulit lo gak keriput?" tanya Bagas. Pertanyaan konyol dan berulang kali setiap harinya.
Lion balas menghembuskan napasnya, kenapa pertanyaan itu tak pernah absen di tanyakan teman sekamarnya ini. Apa dia kehabisan topik pembicaraan?
"Entah berapa kali gue jawab pertanyaan itu. Dan jawabannya tetap sama, gak Bagas! Justru enak, seger!" jawab Lion pasrah.
Bagas balas menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Yaudah yu. Takutnya masjid penuh tar shalat di belakang lagi," ajak Lion.
Bagas mengangguk. Untuk yang satu ini Lion benar, mereka tidak boleh shalat di barisan belakang. Barisan depan paling baik. Dan mereka memiliki kesempatan untuk itu.
Di pesantren ini tidak ada kesenjangan sosial, yang tua harus di depan! Tidak, semua setara. Itu salah satu hal yang membuat Lion betah menimba ilmu di tempat ini, tapi beberapa bulan kedepan ia akan segera keluar dan berpindah ke sekolah umum, SMA di mana kedua orang tuanya mengajar.
Ia akan bersekolah bersama dengan Liona. Mungkin saja mereka akan menjadi teman sekelas. Hal itu pula yang kini dinanti Lion. Ia bisa bertemu setelah hampir satu tahun lebih tidak bertemu. Liburan semester lima ia sengaja tidak pulang.
Memilih menghabiskan waktu belajar ilmu agama, beruntung Bagas juga memilih program tambahan itu. Kedua pria itu tidak terpisahkan.
Rencananya keduanya juga akan menimba ilmu di SMA yang sama. Bagas dan keluarganya akan pindah ke lingkungan rumah keluarga Lion. Hal yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum Bagas bersekolah di pondok.
Keluarga Bagas cukup terpandang, kedua orang tuanya seorang dokter, kakak Bagas juga mahasiswa di bidang kedokteran. Tapi Bagas justru lebih tertarik di bidang bisnis dibandingkan sains.
Lain halnya dengan Lion, pria itu bercita-cita ingin menjadi dokter bedah terkenal. Liona, gadis itu ingin menjadi psikolog.
Selesai shalat subuh, waktunya untuk mengaji, rutinitas yang selalu mereka lakukan sebelum memulai belajar di pembelajaran umum.
Saat keluar dari masjid selesai mengaji beberapa santriwati menyapa kedua pria yang dikenal dengan sebutan mist wanted pesantren ini.
Dengan ketampanan dan kecerdasan yang dimiliki keduanya sudah barang tentu para santriwati akan terpikat, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berhasil meluluhkan hati Lion. Bagas? Jangan ditanya pria itu sering sekali menggoda, tapi hanya iseng. Ia tidak tertarik berhubungan lebih jauh dengan lawan jenis. Ia ingin fokus dengan cita-citanya sama seperti Lion.
Memang saling melengkapi, tidak bisa diragukan lagi persahabatan kedua pria ini. Hanya saja Lion belum bercerita banyak akan Liona pada Bagas.
"Lion, ini ada surat dari Annisa," ujar salah satu santriwati yang sering menjadi kurir pengantar surat dari gadis bernama Annisa.
Lion mengangguk, balas mengucapkan terima kasih.
"Buat gue gak ada?" tanya Bagas setengah berteriak, membuat beberapa santriwati yang sedang berlalu lalang menoleh.
Lion bergegas menyikut perut ramping teman sekamarnya itu.
"Dih! Jahat mereka!" gerutu Bagas dengan memajukan bibirnya beberapa centi.
"Lion, ini ada surat dari Liona. Baru datang kemari sore, ibu lupa ngasih ke kamu," ujar ibu pengurus bagi administrasi.
Mata Lion berbinar. Ia bergegas menerima surat itu, balas mengucapkan terima kasih tanpa merubah raut wajah bahagianya. Surat dari Annisa ia lempar ke Bagas dan ia sendiri bergegas menuju tempat favorit selama ini, tempat yang ia gunakan khusus untuk membaca surat-surat dari Liona.
"Dih! Giliran Liona lo gercep ya!" teriak Bagas kesal yang merasa diacuhkan.
"Liona?"