Suasana sekolah mulai ramai, Liona bergegas melangkah ke salah satu kelas yang ada di deretan tingkat 9.
"Haii Liona," sapa salah satu teman Liona, Daniel.
"Haii," balas Liona singkat dan terkesan malas.
Liona kembali melangkah, duduk di bangku kesayangannya yang ada di barisan paling depan.
Pagi kali ini tidak ada bedanya dengan pagi-pagi sebelumnya. Sepi, tak ada siapapun yang menyapa dan bertanya, 'Mau sarapan apa?'
Hambar, pagi di keluarga Liona selalu hambar. Mami dan Papi sibuk dengan pekerjaan mereka, menitipkan Liona pada pembantu adalah pilihan yang baik menurut mereka.
Yang ada dalam pikiran mereka hanya cara supaya perusahaan terus berkembang, maju dan tetap menjadi perusahaan terbesar di kota ini.
Mengabaikan Liona yang sangat ingin mendapatkan kasih sayang utuh. Tidak dari tangan orang lain, tapi tangan kedua orang tuanya.
Mereka menyayangi Liona dengan uang, buka kasih sayang berupa pelukan hangat.
"Pagi Liona," sapa teman sebangku Liona, Dinda. Dengan senyum terbaik yang dimiliki gadis bertubuh langsing itu.
"Pagi," balas Liona singkat.
Tanpa diminta Dinda bergegas duduk di kursi kosong yang ada di samping temannya itu. Senyum manis tak pernah luntur dari wajah gadis itu.
"Kenapa lo?" tanya Liona.
"Gak papa," balas Dinda.
Liona balas mengangguk, tangannya merogoh ponsel yang ada di saku rok, membuka beberapa file yang ada di sana. Tersenyum simpul dengan beberapa foto yang ia dapati. Foto dirinya dan Lion.
Jika saja ia bisa merubah alur cerita dan mengehentikan keinginan Lion untuk mondok, mungkin hari ini ia bisa tersenyum lebih lebar lagi.
Melupakan sejenak tentang kedua orang tuanya yang selalu sibuk. Liona bisa menghabiskan waktu seharian bersama Lion. Bermain game atau mengunjungi beberapa tempat yang dulu sering mereka kunjungi.
Tapi, semua itu hanya ilusi. Untuk saat ini mereka berdua hanya bisa fokus dengan ujian akhir yang ada di depan mata. Ujian penentu kelulusan di tingkat SMP ini.
Liona memang tidak pintar, tapi bukan berarti dia bodoh. Dia memiliki peringkat di kelas, peringkat 3. Tak mudah mendapatkan peringkat itu, tapi itu tidak akan penting di mata kedua orang tuanya.
Mereka hanya memuji sesaat, memberi hadiah berupa mobil atau beberapa hal yang diinginkan Liona. Cukup! Tak ada dekapan.
Berbeda dengan Lion. Pria itu mendapatkan semuanya, hadiah, pelukan, dan apresiasi atas segala presentasi yang dimilikinya.
Orang tua Lion akan selalu ada di barisan terdepan jika anaknya menerima penghargaan. Hasil kerja keras Lion terbayarkan.
Hati Liona teriris mengingat momen saat lulus dari bangku SD. Dimana kedua orang tuanya bahkan tidak hadir diacara sepenting itu.
Disaat Liona mendapatkan penghargaan sebagai murid dengan nilai UN terbaik ke dua dari 100 siswa-siswi.
Semenjak hari itu api semangat belajar Liona turun, tapi berkat Lion ia mampu untuk bangkit dan memulai tujuan presentasi dengan prinsip baru.
"Jadi pintar buat diri kamu sendiri Lio," kalimat yang bisa merubah prinsip hidup Liona hingga kini.
Lion benar, jika kepintaran tidak bisa menjadi alasan untuk membuat kedua orang tuanya berhenti dan berbalik arah walau dalam sedetik demi mendekapnya setidaknya ia pintar untuk dirinya sendiri. Apresiasi atas kerja keras dalam memahami ilmu pengetahuan.
"Liona,"tegur Dinda membuat lamunan Liona buyar seketika.
Liona menoleh ke samping, menatap Dinda.
"Lo nangis?" tanya Dinda. Tangannya bergerak menghapus air mata yang jatuh di ujung mata teman sebangkunya itu.
Liona tercengang. Menangis? Apa dia benar-benar menangis?
Tangannya lekas naik dan menghapus air mata itu. Apa? Kenapa?
"Liona," ucap Daniel menghampiri kedua wanita itu.
"Gue gak papa," balas Liona.
"Lo lagi ada masalah apa sih Lio?" tanya Dinda khawatir. Mengenal Liona selama 3 tahun, membuat Dinda paham akan kondisi temannya ini.
Hidup bergelimang harta bukan berarti bahagia, Liona menyimpan berjuta duka yang tidak akan pernah bisa dibayangkan mereka yang menganggap hidup Liona sempurna.
Keluarga yang terkenal, siapa yang ingin mendapatkan posisi Liona? Banyak, tapi jika saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi mungkin perlahan mereka akan mundur.
"Bokap lo mulai maksa lo buat belajar lebih keras lagi? Lo harus masuk SMA pilihan bokap lo kan?" tanya Dinda.
Beberapa hari yang lalu Liona bercerita pada Dinda akan permintaan Papi, dia meminta Liona agar bisa masuk ke salah satu SMA favorit yang ada di kota ini. SMA yang terkenal dengan murid-murid pintarnya. Berasal dari kelas ekonomi yang tinggi.
Hanya murid yang menerima beasiswa yang tergolong ekonomi sedang.
"Gue gak nangis karena itu kok. Udah ya, bentar lagi guru dateng. Fokus belajar!" tegas Liona. Dua ujung sudut bibirnya terangkat, membentuk separuh bulan sabit. Dinda mengehebuskan napas pasrah.
Liona tidak akan bercerita lebih banyak, wanita ini akan kembali bungkam. Ia memerlukan waktu yang cukup lama hanya untuk bercerita.
Daniel balas mengelus lembut rambut panjang Liona. Tersenyum getir dengan nasib teman sekolahnya ini.
Daniel jelas lebih tahu akan kehidupan Liona, karena dia juga berasal dari keluarga yang sama dengan Liona. Tapi Daniel masih bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Mama Daniel tidak berkecimpung di dunia bisnis. Dia memilih untuk menjaga Daniel dan adiknya. Itu cukup bagi Daniel.
"Lo harus kuat Liona," balas Daniel.
Liona mengangguk, ya! Dia memang harus kuat. Ini hanya ujian kecil dari berjuta ujian kehidupan yang akan dia jalani.
Liona tahu masih banyak manusia diluar sana yang mendapat cobaan lebih dari dirinya. Mungkin ini hanya perkara mental Liona.
Dia juga tidak ingin terus menerus menyalah situasi. Ada banyak hal yang bisa disyukuri dalam hidup ini. Salah satunya akan ekonomi keluarga yang berkecukupan.
Liona bisa menggunakan alasan itu untuk menyembuhkan luka kekurangan kasih sayang. Ia bisa memberikan sebagian uang jajannya untuk membantu mereka yang bukan hanya kekurangan kasih sayang, tapi juga kekurangan material.
Satu hal yang membuat Liona kembali bangkit. Menyembuhkan luka dengan memberikan cinta pada yang membutuhkan.
"Obat terbaik dalam menerima setiap luka hanya dengan memberikan kasih sayang pada orang lain. Juga keikhlasan hati untuk menerima semua ini itu sebagai jalan takdir yang baik, Tuhan maha tahu akan setiap kehidupan. Cara pandang kamu gak boleh sempit Lio! Bukan berarti luka harus dibalas dengan luka, coba kamu beri kebahagiaan kecil pada mereka yang tidak mampu, saat mereka tersenyum tulus, maka lukamu perlahan akan menghilang," ujar Lion kala Liona selesai bercerita tentang keluarganya yang tidak bisa memberikan satu pelukan hangat.
Liona diam, jadi selama ini hanya cara pandangnya yang salah? Dia yang terlalu berpikiran sempit pada setiap masalahnya?
"Tapi kenapa sekarang kamu yang jadi sumber luka aku Lion?"