Chereads / Ricketly House / Chapter 3 - Rindu Tanpa Batas

Chapter 3 - Rindu Tanpa Batas

Tempat ini sangatlah damai tetapi tak dapat mendamaikan sebuah rindu yang tak terbendung dalam hati remaja tampan itu.

Remaja yang sangat terkenal dengan ketampanan, kecerdasan dan sikap terpuji lainnya. Namun, sayangnya hati telah penuh terisi oleh satu nama yaitu Liona.

Liona gadis yang selama ini ia jaga dan ia pinta dalam setiap sujud panjangnya.

Namanya selalu hadir dalam setiap lantunan doa yang ia panjatkan dan kini rindu tengah bermain dengannya.

Di atas bentangan sejadah ia menengadahkan wajahnya penuh harap, "Ya Rabb jaga dia untukku. Pertemuan kami di waktu yang tepat. Bantu aku untuk menjaga fitrah cinta suci kami. Beri aku kelapangan hati untuk tidak terus memikirkan dirinya," lirihnya dalam hati.

Teman di sampingnya yang telah lebih dulu selesai berdo'a mulai memperhatikan raut wajah teman sekamar dan seperjuangannya ini.

"Buset dah! Ni orang khusus amat! Jadi penasaran gue sama isi do'a dia. Mata dia aja sampe ngembun gitu," ucapnya.

Karena diselimuti rasa penasaran ia menepuk bahu teman sekamarnya itu, "Lo do'a apa sih?" tanyanya serius.

"Kenapa emang?" tanya rekannya.

"Mata Lo ngembun tuh!" balasnya sembari menunjuk ke arah mata rekannya yang tampak mengembun menahan cairan bening itu agar tak tumpah.

"Kepo Lo," balas rekannya itu dengan candaan.

Ia mulai menggerutu dengan wajah masamnya.

"Aelah! Bilang aja kali. Pasti cewek kan? Ngaku aja Lo, Ion," ujarnya penuh percaya diri.

Beruntung kondisi masjid malam ini sepi.

"Dih apaan sih!" sanggah Lion. Walaupun dalam hati ia membenarkan akan hal yang diungkapkan Bagas, rekan seperjuangannya ini.

Bagas merupakan sahabat karib Lion selama di pesantren. Ia juga datang dari keluarga yang sederhana.

"Ahh lo mah ngeles mulu," ejek Bagas. Ia tahu bahwa sahabatnya ini kini tengah menghindari pertanyaan barusan.

"Gue gak ngeles," balas Lion.

"Iya Lo gak ngeles tapi menghindar," ujar Bagas jujur. Bagas memang kelewat prontal. Dia orang yang sangat asik saat diajak bercanda. Mudah akrab dengan orang baru dan juga friendly, beda dengan Lion yang cenderung tertutup.

"Bisa aja Lo jawabnya," sambung Lion.

Lion menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan tingkah ajaib sahabatnya ini.

"Siapa dulu dong! Bagas," ucap Bagas dengan penuh percaya diri.

Bagas termasuk manusia narsis yang ada di zaman milenial ini. Ia sering tebar pesona demi memikat santriwati yang ada di lingkungan pondok pesantren.

Berbeda dengan Lion yang hanya tinggal berjalan menunduk dengan membawa Al-Qur'an dan mengenakan peci, Koko putih juga sarung ditambah sendal jepit.

Penampilan yang sederhana tetapi bisa membuat kaum hawa terpingkal-pingkal dan menjerit penuh cinta.

"Dah gak usah sombong. Tuh muka nanti juga abis dimakan rayap," tutur Lion.

"Dih! Lo nyumpahin gue mati?" tanya Bagas dengan kesal. Sahabatnya ini memang terlalu.

"Lah emang Lo gak bakalan mati?" tanya Lion.

"Ya mati sih! Tapi gak gitu juga konsepnya Bambang," kesal Bagas. Ia tahu kalau ucapan Lion tadi hanya sebatas teguran untuk tidak berlaku sombong dengan apa yang ia miliki. Tapi cara sahabatnya itu dalam menasehati memang anti-mainstream. Sulit ditebak nalar.

"Terus konsep yang bener gimana?" tanya Lion.

Bagas menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Kalau udah ditanya kayak gini emang langsung skak mat gak bisa ngomong," batin Bagas miris.

"Jawab!" desak Lion.

"Ya..., Ya ya ya, gitu lah!" jawab Bagas bingung.

"Ya ya ya Lo kira kita lagi nyanyi apa? Udah yu balik ke asrama," ajak Lion.

Setelah melakukan ibadah shalat malam, mereka berdua kembali ke kamar yang ada di asrama lantai dua pondok pesantren itu.

Pondok ini cukup luas dengan berbagai fasilitas yang tersedia. Memudahkan para santri dalam hal belajar.

Di sini ada juga gedung persekolahan negeri yang masih ada sangkut pautnya dengan pesantren.

Pendidikan di sini dimulai dari rentan usia TK sampai perguruan tinggi.

Namun, Lion lebih memilih menghabiskan waktu 3 tahun untuk mengemban ilmu di tempat ini, begitu pula dengan Bagas.

Setelah sampai di kamar kedua langsung merebahkan tubuh yang sudah lelah di atas kasur busa berukuran sedang itu.

Bagas berada di sebelah kiri dan Lion di sebelah kanan. Tak lama terdengar suara dengkuran halus yang berasal dari mulut Bagas.

Lion hanya tersenyum melihat hal itu. Sudah menjadi nada dering paling merdu yang setiap hari menemani malam panjang.

Malam yang selalu diisi dengan rindu yang menggebu.

Sembari menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, Lion kembali terbayang akan pertemuan terakhirnya dengan gadis pujaannya.

Dua tahun telah berlalu, kini rindu itu semakin tak terbendung lagi.

Ia sangat ingin berbicara dan bersenda gurau di atas ayuna rumah Liona.

"Kangen Lio," lirihnya.

Ia tahu hal yang kini ia lakukan teramat salah. Memikirkan seseorang yang jelas bukan mahramnya. Tapi apalah daya manusia lemah.

Di satu sisi ia paham akan kesalahannya di sisi lain ia egois dengan hasratnya.

"Kadang gue menang ngelawan hawa nafsu tapi kadang kalah juga. Setan ini emang gak ada berhentinya ngegoda," batin Lion.

Pernah satu kali Lion membaca sebuah buku, di mana di sana terdapat satu quotes yang sangat bagus. Di sana tertulis,

'Jika setan tak dapat merubahmu menjadi jahat maka ia akan merubah menjadi baik dengan hati yang sombong lagi angkuh."

Setan tak akan pernah lelah untuk menggoda para anak cucu Adam hingga hari kiamat tiba.

"Tiap hari ngelawan setan yang gak berbentuk dan gak keliatan capek juga ya," ujar Lion.

Malam ini rasanya kantuk tak bisa membawanya pada dunia mimpi.

Bayangkan akan rupa gadis pujaannya terus saja terbesit dalam benaknya.

"Lio lagi apa ya?" tanyanya.

Karena tak kunjung mengantuk, Lion mengambil satu benda kesayangan dari dalam koper besar yang ia bawa.

Di dekatnya benda itu dengan sayang. Sebuah boneka beruang kecil berwarna hitam yang diberikan Liona saat hari perpisahan.

Boneka yang selalu menjadi obat dikala rindu menyapa.

Kembali berbaring dengan boneka yang ia dekap erat. Bau harum khas Liona masih tertinggal di sana.

"Kamu sengaja ya Lio?" tanya Lion pada Liona kala itu.

"Sengaja apa?" tanya Liona bingung.

"Sengaja pakein parfum kamu ke boneka ini," jelas Lion.

Liona tersenyum malu, ya itu memang benar adanya.

"Iya gue sengaja! Parfum satu botol gue sempot ke boneka itu selama 7 hari berturut-turut tanpa pernah lupa," jelas Liona.

Lion menatap Liona dengan heran. Ia membulatkan matanya tak percaya. Gadisnya ini memang sangat ajaib.

"Kamu nih ada-ada aja," ucap Lion sembari tertawa.

Liona hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia malu mengatakan hal itu tapi ia harus mengatakannya agar terkesan dramatis dan penuh akan perjuangan.

Lion kembali tertawa mengingat hal ini, "jadi makin kangen kan," ucap Lion lirih.

"Tidur!" bentak Bagas yang tidurnya terganggu.

Lion membulatkan matanya, "Yah! Bisa kena depak ini mah," batin Lion sembari menepuk jidatnya.

Bagas dalam tidurnya tersenyum memang. Ia sebenarnya sengaja melakukan hal itu. Lebih tepatnya ia sedari tadi hanya akting pura-pura tidur demi mencari tahu akan kegelisahan sahabatnya ini.

"Kena kan Lo, salah milih lawan sih!" batin Bagas dengan senyum mengejeknya.

Lion mendadak lesu dan berharap hari esok tak akan terjadi persaingan sengit dengan Bagas.