"Tapi keadaan Bella tidak—"
Evan mengerti. Ia berjalan menghampiri Bella dan dengan kekuatannya, ia menggendong tubuh remaja perempuan itu dengan kedua tangannya. Serentak melihatnya membuat Hiro, Julius, dan Mira tak bisa berucap apa-apa.
"Guru ... kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku masih bisa berjalan," pinta Bella.
Ucapannya terbata-bata karena rasa letih yang menghujam tubuhnya. Evan tidak ingin mendengarkannya, ia tetap berpegang teguh untuk membawa Bella dalam keadaan seperti itu.
"Kalian berempat adalah tanggung jawabku. Jika sesuatu yang buruk terjadi kepada kalian, maka akulah yang akan merasa bersalah."
"Jadi kuputuskan, kita akan pergi sampai ke lantai dasar dan membuka pintu Artefak Pahlawan," sambung Evan.
Terukir ekspresi cemas dari wajah Bella, pasalnya ia tak lagi bisa memulihkan keadaan teman-temannya. Jika mereka terluka parah atau sampai kehabisan energi sihir, maka situasinya akan tambah gawat.
Hiro, Julius, dan Mira berdiskusi pelan, mereka berembuk di belakang Evan agar pria itu tidak mendengar perbincangan mereka. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya ketiganya datang dan terlihat sudah bersiap dengan memegang senjata mereka masing-masing.
"Kami siap melindunginya!" tegas Julius.
Evan menggangguk. Mereka kembali berjalan meneruskan petualangan yang sempat terhenti hingga berhenti di lantai ketujuh.
Dari pintu terowongan, terpancar sinar berwarna merah pekat yang menakutkan; diiringi suara tawa menggelegar dari sesosok monster pemakan daging bertanduk kerbau dan bertubuh besar.
"Apa itu raksasa goblin?" tanya Mira, berbisik.
"Tidak. Itu adalah Minotaur," jawab Hiro, menerka.
Minotaur, sejenis iblis yang memiliki ketahanan tubuh melebihi lima belas goblin. Kekuatan tangannya luar biasa bisa meremukkan sesuatu dengan gada yang selalu berada di tangannya.
Tak hanya satu, tetapi tiga minotaur datang dari terowongan lainnya. Kini di tempat tersebut, terdapat empat minotaur dengan ukuran tubuh yang sama besarnya, hanya saja dua di antara mereka terlihat memegang sebuah kapak dua mata yang terlihat tajam.
"E-Empat Minotaur?" tanya Julius, kaget.
Evan meletakkan Bella untuk ditidurkan di samping Mira. Pemuda itu segera mencabut pedang miliknya dan berjalan seorang diri masuk ke ruang besar tersebut. Hiro dan Julius awalnya hendak membantu. Namun, Evan membentak mereka menyuruh agar kedua remaja itu tetap melindungi Bella.
"Monster-monster itu biar aku saja yang urus!" tegas Evan.
"Tapi apa kau yakin?" tanya Hiro, cemas.
"Aku yakin. Aku akan melindungi kalian semua sampai ke dasar goa."
Ia memejamkan kedua matanya, mengangkat pedang miliknya tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Di depan Evan, keempat Minotaur sudah berbaris dalam satu jajar, bersiap menghantam Evan yang berbadan lebih kecil dari mereka.
"Amplifi Elementum!"
Pedang Evan kembali bersinar terang, dengan keras ia tancapkan pedang miliknya di atas lantai bebatuan goa. Benturan antara ujung bilah pedang dengan bebatuan menimbulkan suara dentingan yang nyaring menggema di seisi ruangan.
"Ars Nexus: Dei Lava!" teriak Evan.
Perintah mantra campuran yang ia gunakan adalah sesuatu yang baru terjadi, Hiro dan Julius terkejut dengan mantra yang diucapkan Evan. Tampaknya Evan mampu menggunakan sihir campuran antar elemen.
"Lihat!" tunjuk Hiro, sebuah kejadian luar biasa terjadi.
Tanah yang dipijak oleh keempat Minotaur tersebut berubah bentuk menjadi cairan lava yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah. Monster itu meraung tidak jelas karena kaki-kaki mereka kepanasan, saking panasnya lahar membuat kaki keempat minotaur itu terlepas dari tubuhnya.
Darah bercampur dengan lahar, sesuatu yang mengerikan untuk dilihat oleh para murid Evan. Lahar itu semakin menyebar, membakar seluruh lantai bebatuan di tempat tersebut, terkecuali tempat Evan berdiri dan daerah di belakangnya.
Hiro dan Julius terpana, pasalnya tidak ada gunung berapi di benua mereka dan itu adalah kali pertama lahar muncul di dunia. Mira datang seraya membopong Bella dengan kedua tangannya, keduanya kaget dengan keadaan yang terjadi di tempat itu.
"A-Apa yang terjadi? Apa kalian berdua yang melakukannya?" tanya Mira, kaget.
Hiro berbalik badan dan langsung memandang temannya tersebut. Ia menggeleng begitu juga dengan Julius yang masih terpana melihat para minotaur yang tersiksa tersebut.
"Apa jangan-jangan guru yang—"
"Pertarungan selanjutnya akan semakin sulit, monster berukuran besar dan kuat akan terus berdatangan. Jadi, tugas kalian hanya melindungi Bella," sela Evan, memutar kepalanya dann memandang satu persatu dari mereka dengan serius.
"Tapi bisakah aku membantumu di garis depan?" tanya Julius.
"Aku sudah bilang. Kau hanya bertugas melindunginya!" tegas Evan, membuat mereka semua ketakutan dan gelisah dengan sikap Evan, seperti orang yang terpaksa melakukannya.
"B-Baiklah."
Mira mendudukan Bella dan berjalan mendekati Evan, ia mempertanyakan bagaimana mereka melintas jika tempat ini sudah dikelilingi oleh lahar panas. Evan mengusap lembut kepala Mira yang berkata benar jika didasarkan pada logika manusia.
Evan mencabut pedang yang tertancap di atas batu dengan kuat, seketika lahar yang sedari tadi membakar tempat ini menghilang dalam waktu sekitar sepuluh menit. Lahar itu seperti tersedot kembali ke dasar bumi melewati celah-celah tanah tandus yang gosong.
"Aku tidak tahu kalau kau memiliki kemampuan seperti itu," ungkap Mira, kagum.
"Sebenarnya siapa kau ini? Dan kenapa kau bisa menggunakan berbagai macam elemen?" tanya Julius, curiga.
"Kalian tidak perlu tahu siapa diriku. Yang terpenting aku ada di sisi kalian untuk membantu kalian meraih sesuatu yang diinginkan."
"Meskipun itu menjadi seorang pahlawan dan orang terkuat?" tanya Hiro, kini giliran remaja itu yang mengatakan keinginannya.
Evan tidak melupakan impian darinya, ia masih ingat ketika dirinya membelika pedang favoritnya dengan alasan untuk membantu mewujudkan keinginannya. Namun, ketika ia sudah siap secara fisik dan mental, muncul rasa ragu untuk mengajari Hiro lebih jauh dari diri Evan.
"Aku akan berusaha."
Percakapan pun diakhiri, Evan kembali menggendong Bella dan membawa remaja perempuan itu bersamanya. Hiro, Julius, dan Mira senantiasa berjaga di belakang dengan ekspresi kesal dan curiga penuh kepada Evan.
Pertarungan demi pertarungan Evan hadapi di lantai delapan dan sembilan, monster-monster menjijikan dan haus darah sudah ia kalahkan dengan mudah. Hiro dan Julius hanya menonton tanpa bisa membantunya, mereka sadar kemampuan monster semakin kuat dan mengerikan seiring dengan dalamnya perjalanan yang mereka tempuh.
"Bertahanlah. Lantai sepuluh berada di bawah kita," ucap Evan.
Bella mengangguk seraya tersenyum puas, jauh dalam lubuk hatinya, ia menaruh perasaan pada Evan. Ia sadar bahwa usia keduanya terpaut cukup jauh, yaitu sembilan tahun, tetapi tetap saja perasaannya tidak berubah.
Tercium wangi khas hutan dan udara segar dari lantai sepuluh, Hiro, Julius, dan Mira berlarian menuju tempat tersebut. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan yang mustahil tersaji di dalam goa.
Luasnya stepa dan pepohonan rindang, langit-langit pun terlihat biru terang dengan sinar matahari yang entah dari mana, mengalir dengan jernih air sungai dari air terjun yang berada cukup jauh dari pohon besar yang Evan maksud. Mereka merasa kalau dirinya sedang tidak berada di dalam goa lagi, Evan memutuskan untuk beristirahat semalam di tempat ini.
"Lima lantai lagi," gumam Evan, membuka peta dan memberikan silang di tempatnya berada, tanda kalau dia sudah menjelajahinya.
Bella tertidur lelap di bawah pohon besar pemancar energi sihir. Bella menggunakan kekuatan pemulihannya dibantu dengan energi alam di sekitarnya, sehingga akan membutuhkan waktu lebih dari enam jam bagi Bella untuk pulih sepenuhnya.
Terlihat Hiro, Julius, dan Mira tengah asik bermain air di sungai tersebut, terasa seperti mereka tengah melepaskan beban berat yang mereka tanggung selama ini. Evan hanya tersenyum, setidaknya itu melegakan hatinya dari pada melihat ketiganya terus bertengkar.
Evan meletakkan tas yang ia bawa di atas rumput hijau dan langsung melentangkan tubuhnya dengan nyaman. Ia merasa energi sihir di tempat ini begitu bersih dan suci, mereka yang terkena energi alam ini seperti merasa kalau di sini adalah tempat terbaik yang pernah dikunjungi.
"Bagaimana kau bisa sekuat itu, Guru?" tanya Bella.
Perkataannya mengejutkan Evan, ia mengira kalau perempuan itu tengah tertidur lelap untuk memulihkan keadaannya. Namun, setelah Bella jelaskan, ia hanya menghela napas dan tertawa kecil mendengarnya.
"Haha kau hanya perlu bersantai ternyata."
"Ceritakan padaku, kenapa kau bisa sekuat ini, Guru?" tanya Bella, penasaran.
"Aku tidak bisa menceritakannya. Jika kuceritakan, pandangan kalian terhadapku akan berubah," jelas Evan, memejamkan mata dan menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.
"Apa kau seorang iblis?" tanya Bella.
"HAHA! Apa aku terlihat seperti mereka?"
Hiro, Julius, dan Mira datang. Dengan pakaian yang basah, mereka menjinjing beberapa ikan yang berhasil ditangkap. Evan senang, akhirnya ia bisa merasakan ikan bakar setelah lama tidak merasakannya.
"Ukuran ikan ini jauh lebih besar dari pada ikan-ikan di luar sana."
"Dan jumlahnya banyak. Seperti tidak habis-habis," ungkap Hiro.
"Aku akan pergi mengganti pakaian. Jangan sekali-kali kalian mengintip!" ancam Mira, menunjuk ketiga laki-laki yang tengah terduduk bersama.
Evan tertawa kecil, mana mungkin dia akan mengintip Mira yang berusia lebih muda darinya. Tubuh Sophie jauh lebih menarik dari Mira, dan wajah Jophiel jauh lebih cantik darinya. Namun, ia hanya bersiaga kepada dua orang, Julius dan Hiro.
"Kalau kau bukan seorang iblis, maka siapa dirimu itu, Guru?" tanya Bella, tetap penasaran.
Atensi mereka kini tertuju kepada Evan. Kekuatan besar dengan kemampuan fisik yang kuat adalah sebuah tanda tanya besar bagi mereka, seorang manusia tidak mungkin memiliki keduanya secara bersamaan, bahkan Ksatria Agung dan Pendeta Agung pun memiliki kelemahan.
"Apa kalian benar-benar ingin tahu?" tanya Evan, memastikan.
Hiro dan teman-temannya mengangguk, bahkan Bella yang sedari tadi beristirahat, kini bangkit dan duduk dengan serius seraya bersandar pada batang pohon. Suasana begitu hening, hanya terdengar percikan air terjun dan hembusan angin yang membawa dedaunan melayang-layang di udara.
"Baiklah. Aku harap kau mendengarnya dengan baik karena aku akan mengatakannya sekali," jelas Evan.
"Aku adalah ... Dewa!"