Chereads / Battle of Heaven / Chapter 31 - Kebenaran di balik buku harian

Chapter 31 - Kebenaran di balik buku harian

"Jophiel?" tanya Bella, terkejut.

Evan melangkah meninggalkan kedua muridnya menghampiri Jophiel yang berada di tengah ruangan. Gaun putih yang ia kenakan begitu kontras dengan keadaan di sekitarnya, hal itu memantik atensi dari Bella dan Hiro untuk pergi mendekat.

Tak seperti gambaran dari cerita-cerita sebelumnya, Bella melihat bentuk dan ukuran tubuh Jophile mirip seperti wanita di kerajaan, tidak ada ukuran yang raksasa atau tubuh yang diselimuti cahaya yang menyilaukan.

"Aku senang kau mau datang kemari," ucap Evan, ramah.

Jophiel yang semula terpejam, kini membukakan kedua mata dan membalas tatapan Evan dengan datar. Tak terlihat sama sekali ekspresi rindu darinya meski sudah berpapasan dengan pemuda yang ia cintai.

"Aku datang karena kau berdoa padaku," balas Jophiel.

"Apa yang kau lakukan di sini, Evan? Tempat ini seharusnya terlarang untuk dimasuki oleh siapa pun," sambung Jophiel.

"Terlarang? Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Evan.

Bella dan Hiro berada di belakang gurunya, memerhatikan dengan seksama wajah Jophiel yang sangat cantik yang pernah mereka temui seumur hidupnya. Aroma wangi khas mawar merah menyeruak memenuhi seisi ruangan, membuat siapa pun yang menciumnya terbawa dalam suasana tenang.

"Pengorbanan," ucap Jophiel.

"Maksudmu altar di sana digunakan untuk melakukan persembahan kepada kalian?"

Jophiel mengangguk. Penjelasan darinya sungguh mencengangkan, membuat Bella dan Hiro mengetahui sisi buruk dari manusianya di masa lalu. Evan masih kebingungan dengan tujuan pengorbanan mereka, lalu dalam bentuk pengorbanan seperti apa yang dilakukan mereka.

"Untuk apa mereka melakukan pengorbanan tersebut?" tanya Evan.

"Perlindungan, ketentraman, dan kedamaian. Bahkan sedikit dari mereka menginginkan kekayaan."

"Lalu siapa yang harus dikorbankan?" tanya balik Evan, tetapi Jophiel enggan menjawab.

"Apa tujuan awalmu ke tempat ini?" tanya Jophiel, mengubah alur pembicaraan mereka.

"Artefak Pahlawan. Senjata-senjata itu bisa berguna bagi Bella dan Hiro untuk membantu kemampuan sihir mereka," balas Evan.

Jophiel terdiam, ia berjalan mendekati altar tersebut dan menyentuhnya dengan lembut. Matanya kembali terpejam dan sesekali ia terdengar menarik napas panjang.

Tiba-tiba altar batu tersebut terbelah dan terbukalah pintu kayu yang berada di lantai. Evan berjalan mendekati pintu tersebut dan membukanya dengan kuat.

Terlihat beberapa anak tangga mengarah kepada ruangan temaram yang hanya diterangi obor api kecil. Ketika Evan hendak masuk, langkahnya terhenti mendengar Jophiel memanggilnya.

"Perang besar tampaknya tak lagi bisa terelakan. Kau harus siap akan itu, Evan," jelas Jophiel.

"Bawa Altair dan Sophie pergi dari kerajaan, mereka akan menjadi masalah jika kau membiarkannya terlalu lama," sambung Jophiel.

Pikiran Evan seketika teringat kembali kepada Sophie, ia masih belum menerima kalau wanita itu sudah menikah dengan Ksatria Agung. Namun, ia menerima pesan dari Jophiel untuk menyelamatkan mereka berdua.

"Aku akan melakukan yang terbaik."

Tubuh Jophiel mulai terlihat tembus pandang perlahan demi perlahan, sepertinya waktu untuk bicara dengan Evan sudah habis baginya. Sebelum dirinya pergi, ia mengatakan sesuatu kepada Evan.

"Aku akan selalu mengawasimu dari atas. Jadi, kau tidak akan merasa sendirian lagi."

Jophiel menghilang layaknya asap dan terbang melayang di udara. Bella dan Hiro memudarkan lamunan Evan dan meminta pemuda itu untuk masuk ke dalam ruang rahasia tersebut. Evan mengiyakan dan pergi menuruni tangga.

Ruang rahasia yang dimaksud mirip seperti ruang kerja seseorang, rak buku tinggi berjajar di dinding kanan dan kiri serta berbagai macam jenis senjata terpajang di dinding belakang dekat dengan meja kerja.

Bella terfokus kepada tongkat sihir berukuran besar, wanita itu ingin memilikinya. Begitu juga dengan Hiro, meski ia terampil menggunakan pedang kecil, tetapi matanya tak lepas dari tombak besar berlapiskan emas yang terpajang bersebelahan dengan tongkat sihir.

"Apa kita boleh memilikinya, Guru?" tanya Bella, memastikan.

"Jangan dulu. Kita belum tahu apakah keempat senjata itu memiliki kutukan tersendiri atau tidak." Evan berjalan mendekati meja kerja kayu dan matanya terfokus kepada buku catatan yang tersimpan rapi di atas meja tersebut.

Evan membuka lembar demi lembar buku yang ia pegang, ia membukanya perlahan mengingat usia buku sudah lebih dari satu abad lamanya. Hal lain yang mengejutkan Evan adalah tulisan di buku itu tidak menggunakan aksara di dunia ini, melainkan menggunakan alfabet latin.

"Bahasa Inggris?" tanya Evan, setelah membuka lembar pertama buku.

Untung bagi Evan, kemampuan Bahasa Inggris yang ia miliki lebih dari cukup untuk bisa memahami isi buku. Pada intinya, isi dari buku menceritakan alasan dia terpilih menjadi pahlawan dan perjanjian khusus yang dibuatnya dengan para Malaikat Agung.

"I entrust my weapons and knowledge to someone who gets this book. Use it wisely to protect civilization," ucap Evan, membaca pesan terakhir yang tersirat di lembar akhir buku.

"Apa yang sedang kau baca, Evan?" tanya Bella, ia baru mendengar bahasa yang dikatakan Evan barusan.

Pandangan Evan tertuju kepada kedua muridnya tersebut, sembari menutup buku yang ia pegang, Evan memperbolehkan mereka mengambil satu senjata yang terpajang di dinding sebagai hadiah.

Bella dan Hiro senang dan girang, Bella mengambil tongkat sihir besar, sedangkan Hiro mengambil tombak tajam. Evan pun ingin mendapatkan senjata khusus tersebut, pandangan matanya terfokus kepada dua buah pedang berukuran sedang yang terpajang menyilang di dinding.

Ketika kedua tangannya menyentuh pedang tersebut, tiba-tiba muncul kilas balik di pikirannya memperlihatkan pahlawan sebelumnya yang bertarung dengan pasukan manusia melawan iblis, tak hanya itu, malaikat ikut membantu manusia dalam peperangan tersebut.

Tak hanya kilas balik peperangan, ia juga melihat adanya perpisahan, pengkhianatan, dan kemarahan. Para penguasa memperlakukan pahlawan sebelumnya layaknya seorang pemberontak dan memerintahkan penangkapan kepadanya.

Perang saudara di kerajaan tak terelakan. Pahlawan memilih mengorbankan nyawanya untuk melindungi banyak orang. Pada akhirnya, ia dihukum gantung dan jasadnya dikuburkan oleh simpatisan kelompoknya di bawah rumah peribadatan kelompok mereka.

"Apa itu?" gumam Evan, bertanya-tanya.

Bella dan Hiro terus memandang Evan, gurunya bersikap aneh ketika memegang kedua pedang tersebut. Ketika Evan bertanya kepada kedua muridnya tentang kilas balik tadi, mereka menggelengkan kepala tidak mengalami.

"Sebaiknya kita keluar dari tempat ini," pinta Evan, bergegas pergi dengan membuata senjata dan buku harian milik pahlawan terdahulu.

***

Jalan pulang jauh lebih cepat dari pada berangkat, mereka bertiga diuntungkan karena monster-monster yang sebelumnya menghuni masing-masing lantai sudah terbunuh. Ketika melewati lantai dua belas, mereka tidak menemukan keberadaan Julius dan Mira di lantai tersebut.

"Apa mereka baik-baik saja?" tanya Hiro, cemas.

"Mereka pasti baik-baik saja. Kita mungkin akan bertemu mereka di lantai awal."

Evan mencoba menenangkan hati Hiro agar tidak khawatir. Pemuda itu yakin betul kalau Julius dan Mira bukanlah orang bodoh, mereka tidak akan bertindak gegabah dengan masuk ke terowongan lain dan terjebak di dalamnya.

Ternyata mereka bertemu di lantai sepuluh, terlihat Julius dan Mira tengah beristirahat di bawah pohon yang rindang. Bella segera menghampiri mereka dan memeluk kedua temannya dengan hangat, tetapi respon berbeda ditunjukan oleh Julius.

"Dasar pengkhianat!" ucap Julius, ketus.

"Apa maksudmu memanggilku pengkhianat?" tanya Bella, kesal.

"Kau lebih memihak pada penjahat itu dari pada temanmu sendiri. Apa salah kalau aku memanggilmu penghianat?" tanya Julius, semakin berang dengan wajah yang memerah.

Mira melirik ke arah Hiro dan melihat tombak besar yang tengah remaja itu genggam, ukuran yang cukup besar berbanding terbalik dengan ukuran tubuh Hiro, membuatnya terlihat seperti orang bodoh.

"Pedang kecilmu sudah berubah menjadi tombak besar yah? Tapi sepertinya otakmu juga tidak berubah besar hingga berpikiran sempit untuk mendukungnya."

Evan tidak tahan melihat kedua muridnya dihina dan dicaci seperti itu. Pemuda itu meminta Bella dan Hiro untuk kembali, ia menyuruh untuk segera melanjutkan perjalanan.

"Tapi bagaimana cara mereka keluar dari goa ini?" tanya Bella.

"Mereka sudah terjebak di tempat ini, ilusi dan energi sihir ini mengacaukan pikiran mereka bahwa berada di tempat ini jauh lebih baik dari pada pergi ke luar."

Hiro tak kuasa menahan kesedihannya melihat kedua temannya harus ditinggal dan terpaksa hidup di dalam sini selamanya. Namun, itulah yang harus terjadi, seseorang harus membuat keputusan dalam hidupnya dan dengan pergi bersama Evan adalah keputusan yang Hiro buat.

Ketiganya mulai melangkah, meninggalkan Julius dan Mira yang tengah menikmati rindang dan sejuknya tempat 'ilusi' tersebut. Bella menyeka air matanya, menguatkan hatinya untuk merelakan dirinya pergi meninggalkan mereka yang sudah bersama sejak di panti.

Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit hingga ketiganya sampai di depan pintu goa. Tiba-tiba muncul kembali kilas balik yang membuat kepala Evan tiba-tiba pening, kilas balik kedua yang menggambarkan situasi di perpustakaan kerajaan dan aula pahlawan.

Bella dan Hiro cemas, keduanya segera memegang tubuh Evan dan mengistirahatkan di bawah pohon dekat pintu goa. Bella menggunakan sihir penyembuhnya dan Hiro berjalan di sekitar memastikan agar Evan tidak terluka.

"Mereka! Pembunuh sialan itu, aku tidak menyangka mereka melakukannya sampai sejauh ini," jelas Evan, mengeluh kesal.

"Siapa sebenarnya yang kau maksud itu, Evan?" tanya Bella.

Evan menggeleng, ia tidak mau memberitahunya tentang siapa yang ia maksud. Tiba-tiba, muncul dari atas pepohonan orang-orang berpakaian khusus menodongkan pisau tajam ke arah Evan. Pemuda itu tak bisa melawan karena kepala dan tubuhnya yang cukup lemah.

"Siapa kalian?!" bentak Hiro, mengacungkan tombak yang baru saja ia dapatkan.

"Lambang itu. Bagaimana kau bisa mendapatkan barang-barang itu?!" tegas salah satu pria yang menodongkan senjatanya kepada Evan.

"Aku mendapatkannya karena kekuatanku sendiri."

Tak lama, pria misterius itu mulai memasukan kembali pedang miliknya dan membawa Evan dan kedua muridnya untuk pergi dari tempat tersebut.