Chereads / Battle of Heaven / Chapter 32 - Pahlawan dan Utusan

Chapter 32 - Pahlawan dan Utusan

***

"Bukan aku yang mengambilnya."

"Jangan sakiti dia! Aku yang bertanggung jawab atas semua ini."

Evan terbangun, kedua manik matanya melihat kejadian tak mengenakkan terpampang di hadapan wajahnya. Bella dan Hiro tertangkap, tangannya terikat ke langit-langit rumah hingga terlihat menggantung.

Lebam, memar, dan luka terlihat dari wajah Hiro, berbeda dengan Bella yang hanya mengalami luka memar akibat tamparan dari mereka. Evan berang, berteriak memaki mereka dengan lantang. Berani sekali orang-orang ini memukuli anak-anak seperti mereka.

"Bajingan! Apa yang kau lakukan?" tanya Evan, menghardik.

Salah satu pria berbalik badan, tampak memegang sebuah tombak yang dimiliki Hiro dan menunjukan senjata itu kepada Evan.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan senjata ini?" tanya pria tersebut.

"Bagaimana bisa? Pahlawan sebelumnya memberikan kepada kami. Jika kau begitu penasaran, kau tanyakan saja padanya!" erang Evan.

Seketika wajah pria di hadapan Evan memerah, alisnya meruncing dan matanya menyorot kedua manik Evan, tajam. Segera tombak yang digenggam olehnya diacungkan ke leher Evan, ia tidak main-main jika harus membunuh mereka saat ini juga.

"Berani sekali kau menghinanya! Apa kau tidak tahu seberapa berharganya dia bagi kami?!" bentak pria tadi.

"Jika memang berharga, kau seharusnya menyimpan barang-barang miliknya di tempat kalian, memujanya layaknya Tuhan dan bersikap gila karena fanatisme busuk kalian!" geram Evan.

"HWAAAH!"

Pria tadi mulai menyayat sedikit kulit leher Evan hingga terasa sedikit perih akibat luka yang ditimbulkannya. Melihat keduanya mulai bersitegang, salah seorang prajurit datang dan menghentikan pertikaian mereka.

"Tarik kembali tombakmu, Yusa. Kau tidak boleh mengotori benda itu dengan darah pendosa sepertinya."

"Pendosa?!" kesal Evan, disebut demikian.

Prajurit itu membukakan topeng yang dikenakannya, terpampanglah wajah anggun di balik ketegasannya sebagai pemimpin pasukan. Wanita itu, dia berjalan menghampiri Evan dan menyeka darah yang keluar dari leher pemuda tersebut.

Perlakuannya cukup lembut bagi seseorang yang menyebut dirinya pendosa. Ia juga memerintahkan pasukannya untuk memotong tali yang mengikat pergelangan tangan ketiganya, perintahnya adalah mutlak.

Evan mengusap pergelangan tangannya, terlihat memerah karena cukup lama ia terikat di ruangan tersebut. Tak buang waktu, Evan segera mengambil dua pedang pahlawan dan menyandera wanita yang membebaskannya.

Seketika suasana kembali menegang, mereka menatap Evan dengan tajam dan penuh kebencian. Semakin mereka mendekat, semakin dalam bilah pedang menyentuh kulit leher wanita di dekapannya tersebut.

"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu, lembut.

"Bawa kami pergi dari sini!" ancam Evan.

"Kau tidak bisa."

"Apa maksudmu? Pintu keluarnya di sana, cepat buka!" ancam kembali Evan, wanita yang berada di dekapannya menghela napa seraya mengangguk.

Mengejutkan, sungguh mengejutkan. Apa yang ada di balik pintu bukanlah sesuatu yang pernah Evan bayangkan. Terpampang jelas lautan luas nan biru, deburan ombak terdengar jelas dan hembusan angin terasa sejuk.

"Di mana kita?" tanya Evan, terkejut.

"Kau berada di Pulau Casariel," jawab wanita tersebut.

"Casariel? Apa kau bercanda?"

Evan memerhatikan ornament dan furnitur di tempat tersebut. Dinding rumah dihiasi lukisan pahlawan, terdapat sebuah logo yang terpampang jelas berada di tengah ruangan. Logo yang sama dengan logo di ketiga senjata pahlawan.

"Jangan bilang kalian kelompok pahlawan itu?" tanya Evan, memastikan.

"Bisa kau lepaskan aku?"

Evan tidak mengindahkan permintaan dari pemimpin pasukan tersebut. Alhasil, suasana semakin tegang dan mereka tidak segan akan membunuh Bella dan Hiro jika Evan tidak mau melepaskan pemimpin mereka.

"Jawab saja pertanyaanku, maka aku akan putuskan sendiri apa aku akan melepaskanmu atau membunuhmu."

"Kau memang kejam, seperti yang dibicarakan banyak orang."

"Apa maksudmu? Siapa orang yang kau maksud itu?" tanya Evan.

"Orang-orang kerajaan. Mereka benar tentang kekejaman dari Utusan Malaikat Jophiel," jelas wanita tersebut, sontak mendengarnya mengetahui identitas Evan membuat pegangan tangannya pada pedang pahlawan melunak.

Merasakan kalau cengkeraman Evan melunak, wanita itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melepaskan diri dan mengangkat tubuh pemuda di belakangnya serta membantingnya ke depan hingga menimbulkan suara nyaring khas benturan tubuh di atas kayu.

"Akh!"

"Sekarang giliranku bertanya padamu." Wanita itu segera mengacungkan ujung bilah pedang kecil miliknya di leher Evan, keadaan yang berbalik dari kejadian tadi. Evan tidak pernah menduga kalau kekuatannya sangat kuat, rasanya tulang punggung Evan seperti hancur dalam seketika.

"Apa yang akan kau lakukan dengan dua pedang itu?" tanyanya kepada Evan.

"Menggunakannya, kudengar ketika kau memegang artefak pahlawan, ada kemungkinan kekuatan pahlawan beralih kepadamu," jelas Evan, wanita itu mengangguk.

"Memang benar, tapi tidak ada pembuktiannya. Apa kau akan menggunakannya untuk kerajaan atau melawan kerajaan?" tanya wanita itu.

Evan terdiam, apa yang ditanya olehnya sangat sulit untuk diputuskan. Namun, melihat statusnya saat ini, kemungkinan terbesarnya adalah melawan kerajaan, bahkan setelah Evan mendapatkan kilas balik dari kehidupan pahlawan yang sebelumnya.

"Aku akan melawan mereka," jelas Evan.

"Kenapa? Apa karena kau adalah Utusan Malaikat Jophiel?"

"Bukan, ada tiga temanku yang tertangkap, aku harus membebaskan mereka semua. Juga...," ucap Evan terhenti.

"Juga apa?" tanya wanita tersebut.

"Aku perlu mengetahui kebenaran dari perpustakaan kerajaan dan aula pahlawan. Aku harus mengadili orang-orang yang terlibat dalam penjebakkan pahlawan," ucap Evan, sesuai dengan citraan dari kilas balik yang ditunjukan.

Wanita itu terkejut, tak hanya dirinya, tetapi anggota pasukannya juga ikut berekspresi sama. Mereka terheran-heran bagaimana Evan bisa mengetahui kebenaran dari penjebakan untuk menangkapnya dan eksekusi gantung yang mendadak.

"Dari mana kau mengetahuinya?" tanya wanita tersebut.

"Aku mendapatkan kilas balik ketika kupegang dua pedang itu. Apa kau bisa menyingkirkan pedangmu dari leherku? Leherku cukup pegal."

Wanita itu mengangguk, melepaskan Evan dan mulai menyarungkan kembali pedang miliknya. Evan bangkit dan terduduk sambil mengusap lembut lehernya yang berkali-kali terancam tersayat.

"Kilas balik? Jangan-jangan kau...."

"Apa? Aku apa?" tanya Evan, penasaran.

Wanita yang tadi mencengkeram Evan, kini berjongkok tepat di hadapan pemuda tersebut seraya tangan kanannya menggenggam tangan Evan dengan erat. Ekspresinya sungguh meyakinkan, tatapan matanya begitu serius menatap Evan, membuat pemuda itu kikuk dibuatnya.

"Saya, Laurentia, mengabdikan raga dan jiwa kami untuk melayani, setia, dan patuh terhadap setiap perintahmu. Abadi perjuangan dan kebebasan!"

"Apa yang kau—"

"Apa kau tidak akan menundukan kepala kepada reinkarnasi dari pahlawan sebelumnya?!" bentak Laurentia kepada anggota pasukannya.

Awalnya mereka menolak, tetapi ketika melihat wajah pemimpin mereka yang berang dan mulai menunjukan emosi. Mereka akhirnya mau menundukan kepala dan patuh pada perintah Evan.

"Reinkarnasi? Aku bukanlah reinkarnasi dari—"

"Diceritakan bahwa seseorang akan muncul di tengah kami, mendapatkan penglihatan tentang kehidupan pahlawan sebelumnya dan dia akan memimpin kami menuju kebebasan," sela Laurentia, memejamkan mata seraya menjelaskan asal usul dari pemikirannya memanggil Evan reinkarnasi pahlawan.

Evan memandang Bella dan Hiro, mereka terpukau kagum melihat gurunya kini memiliki banyak pengikut yang setia. Keduanya kembali mengambil senjata milik mereka masing-masing dan berjalan mendekati Evan.

"Berdirilah."

Mereka semua sontak berdiri, satu persatu mata dari setiap anggota pasukan memandang Evan dengan penuh keheranan. Mereka masih tidak percaya kalau Evan adalah reinkarnasi pahlawan yang dinantikan, terlebih sikap Evan menunjukan sesuatu yang berkebalikan dengan sikap mulia pahlawan.

Evan meraih buku harian pahlawan yang ia bawa dan menunjukan ke hadapan mereka semua, mengatakan kalau ini adalah buku hariannya. Mereka akan mengenal lebih dekat tentang pahlawan mereka seperti apa.

"Apa buku itu juga berasal dari tempat yang sama saat kau mengambil senjata-senjata tersebut?" tanya Laurentia, Evan mengangguk.

"Apa ada barang lain di sana?" tanya Laurentia.

"Satu senjata tersisa di sana, busur dan anak panah pahlawan. Tak hanya itu, buku-buku yang tersusun rapi di rak sangat memancing rasa penasaranku."

"Apa perlu kita mengambilnya untukmu?" tanya Laurentia, Evan menggeleng.

"Tidak perlu. Kalian akan kesulitan untuk masuk dan keluar dari goa itu. Kita akan pikirkan itu nanti," jelas Evan.

Laurentia mengajak Evan untuk masuk ke ruang kerjanya. Terlihat meja Laurentia sangat berantakan dengan kertas-kertas dan peta. Entah apa yang dia kerjakan tetapi jika diteliti lebih lanjut, ia seperti tengah memetakan kekuatan dari masing-masing kota di kerajaan.

"Maafkan aku menunjukan hal yang—"

"Tak apa, biarkan saja."

Evan melihat, lima kota besar di kerajaan menjadi target mereka selanjutnya. Diawali dengan kota kelahiran pahlawan, Kota Ilfheim. Melihat jumlah pasukan yang akan bertempur, Laurentia akan kesulitan untuk menjatuhkan kota tersebut dari kekuasaan kerajaan.

"Kita perlu menghimpun pasukan yang besar, sehingga kerajaan sendiri akan berpikir ulang ketika melawan kita."

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Laurentia, bingung.

Evan teringat, kondisi kerajaan sedang berperang. Peperangan membutuhkan sumber daya yang banyak dan cepat, oleh karena itu, penyuplai kebutuhan perang biasanya mengalami gejolak ekonomi yang kuat.

Artinya, Evan akan mengincar orang-orang yang terdampak secara signifikan akibat peperangan yang lama tersebut.

"Sebarkan pasukan, perintahkan mereka pergi ke desa-desa terpencil. Katakan kalau aku ada untuk membantu mereka," jelas Evan.

"Kenapa harus ke desa terpencil?" tanya Laurentia.

"Karena situasi sedang perang, maka yang paling terkena efek perang adalah orang-orang di desa terpencil. Selain tidak mendapatkan sumber daya alam, mereka juga minim perlindungan dari pasukan istana."

Evan membuka tirai jendela dan memandang jauh ke cakrawala. Ia merasakan sendiri hempasan angin kebebasan mulai terasa di tubuhnya, untuk membebaskan Sophie dan Altair, ia hanya perlu mengubah struktur kerajaan dan memimpin negeri ini ke arah kebenaran.

"Untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, peperangan harus diakhiri dan satu-satunya cara untuk mengakhiri peperangan adalah dengan menjadi penguasa."