"Apa? Apa kau tidak simpati dengan kerajaan yang baru saja mengalami kekalahan perang?!" berang wanita tersebut, kesal dengan sikap apatis Evan.
"Kekalahan itu sungguh sangat disayangkan. Kita kehilangan dua daerah penghasil gandum terbesar negeri ini. Namun, itulah yang harus mereka terima sebagai resiko dari perang."
Kejadian setahun ini sungguh mengejutkan banyak pihak. Kerajaan harus bertempur di dua sisi peperangan, antara iblis dengan malaikat. Korban jiwa berjatuhan, kebanyakan dari mereka adalah penduduk sipil yang dipaksa menjadi perisai hidup untuk para prajurit kerajaan melarikan diri.
"Jika saja ambisi Pangeran Mahkota akan kekuasaan absolut atas tanah para malaikat dihentikan, mungkin saja kita masih bisa menyelamatkan dua daerah tersebut," jelas Evan.
Jika diceritakan lebih lanjut, Evan memiliki banyak fakta dan bukti yang menguatkan kalau istana hanya mencoba bermain-main dalam perang ini. Mereka melakukannya bukan didasarkan atas kebutuhan rakyat, tetapi kepentingan sekelompok orang yang kebanyakan pemilik pabrik senjata.
Mereka terdiam, utusan wanita di samping Evan tak bisa berkata-kata karena dia ikut menyadari jika semua ini adalah salah keluarga kerajaan. Ketika Evan mengajak utusan wanita di sampingnya untuk masuk, ia memerintahkan pasukannya untuk mengamankan utusan pria yang tertangkap dan membebaskan pria itu ketika urusan diplomasi sudah selesai.
Keduanya duduk bersama, saling tukar pikiran dan pendapat. Liviel yang berada di ujung kehancuran meminta sumber daya alam kepada Casariel, berupa gandum dan makanan pokok lainnya.
"Itu sebuah permintaan yang besar. Menambah pasokan pengiriman dari bulan lalu akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit," jelas Evan.
"Apa kau sanggup untuk membayarnya?" tanya balik Evan, memastikan.
Utusan wanita di depannya terpaku mematung, jari jemari tangannya tak bisa diam untuk terus bergerak, memecah lamunannya tentang kemungkinan biaya yang harus dikeluarkan kerajaan untuk membeli gandum dari Casariel.
"Apa kau bisa mengurangi biaya pengirimannya saja?" tanya wanita tersebut, memohon.
"Bagaimana yah. Aku pun membutuhkan biaya untuk pembangunan kerajaanku di sini, bagaimana jika kita buat kesepakatan?" tanya Evan, mencoba mencari celah peluang dari negosiasi yang terjadi.
Utusan wanita tersebut merasakan akan ada sesuatu yang tak beres terjadi di acara ini, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya menurut wanita tersebut. Tetap saja, ia tidak mungkin menolak bantuan gandum dari Casariel, mengingat kerajaannya sedang dilanda kelaparan dampak dari perang besar.
"Aku akan mendengarkan."
Evan tersenyum dan bangkit dari duduknya, berjalan menuju meja kerjanya seraya mengambil peta kerajaan Liviel terbaru hasil perang sebelumnya. Wilayahnya semakin mengecil dan Kota Ilfheim menjadi kota perbatasan di Kerajaan Liviel.
"Apa yang hendak kau tunjukan?" tanya wanita tersebut.
"Wilayah Liviel bisa dibilang semakin mengecil. Kota Ilfheim, Arkheim, dan Nafheim akan menjadi tumpuan kerajaan untuk menangkis serangan-serangan yang berasal dari benua iblis," jelas Evan, menunjuk tiga kota di atas peta tersebut kepada utusan kerajaan.
"Kita belum menyerah, wilayah lain bisa kita rebut kembali!"
"Iya, tapi kapan? Sekarang saja kalian memohon-mohon seperti pengemis kepadaku. Apa kalian tidak pernah berpikir untuk berdamai sekali ini saja?!" bentak Evan, kesal.
Ia terdiam, matanya tak lagi melihat kedua manik mata Evan yang tajam menyorotnya. Kini, ia fokus memerhatikan peta yang ditunjukan oleh pemuda tersebut dan memahami setiap kalimat yang dijelaskan oleh Evan kepadanya.
"Aku akan memberikan biaya pengirimannya gratis ke Liviel jika kalian menyetujui dua hal."
Evan menunjuk tiga kota tersebut dengan menggunakan tongkat kayu berukuran sedang, "Pertama, aku ingin membuat kedutaanku di tiga tempat ini dan serahkan penjagaan perbatasan kepada pasukanku."
"Kedua, aku ingin memiliki hak bebas pajak perdagangan di tiga kota tersebut, sehingga mereka yang memiliki cap Casariel akan dibebaskan atas pajak apa pun dalam perdagangan," sambung Evan.
Dua permintaan dari Evan yang sangat besar pengaruhnya kepada Liviel, dengan menyetujui opsi pertama, Liviel secara resmi sudah mengakui kalau Casariel bukan lagi berada di bawah kekuasaannya.
Opsi kedua, tidak terlalu dipermasalahkan menurutnya, karena ketiga kota tersebut bukan pusat perdagangan Liviel, sehingga kerajaan tidak akan mengalami kerugiaan yang cukup besar atas diterapkannya kesepakatan itu.
"Aku bisa mengiyakan opsi kedua, tetapi opsi pertama aku tidak menyetujuinya," ucap wanita tersebut, tegas.
"Kalau begitu kita kembali ke kesepakatan awal, tidak ada pengurangan biaya untuk pengiriman."
Evan terpaksa menutup kembali peta Kerajaan Liviel yang sudah ia bentangkan, menyimpannya di atas meja kerjanya dan segera mengambil pena untuk penandatanganan kesepakatan diplomasi.
Ketika ujung pena Evan hendak menyentuh kertas yang diberikan oleh utusan kerajaan. Wanita di depannya berteriak menyuruh Evan untuk berhenti menanda tangan. Pemuda itu melongo, apa sebenarnya yang telah terjadi di kepala wanita tersebut.
"Apa?"
"Bagaimana jika opsi penempatan kedutaan dihilangkan, diubah menjadi hak untuk memiliki kekuasaan mengatur pemerintahan daerah di tiga kota tersebut?" pinta wanita tersebut, ia cerdik, mencoba menghindari pernyataan kedaulatan Casariel terhadap Liviel.
"Artinya orang-orangku akan menjadi walikota di sana?" tanya Evan, memastikan.
Wanita itu menganggk pelan, apa yang dikatakan oleh utusan kerajaan itu sungguh menarik. Ia memutar otaknya lebih cepat, menggali segala kemungkinannya lebih dalam untuk menghasilkan kesepakatan yang baik untuk dua belah pihak.
Evan terdiam, jalannya untuk membuat Liviel terpecah belah gagal. Namun, ia masih memiliki kekuasaan pemerintah, perdagangan, dan militer di tiga kota tersebut. Ketiga unsur tersebut lebih dari cukup untuk mengendalikan Liviel dalam berbagai segi kehidupan pemerintahan.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Evan menyetujui usulan dari wanita tersebut. Sebuah senyuman lebar terkembang di wajah utusan kerajaan tersebut, ia sangat senang karena dirinya berhasil membawa kabar baik bagi kerajaan.
Keduanya menandatangani nota kerja sama tersebut, hanya keduanya, tidak didampingi oleh siapa pun, bahkan utusan kerajaan sekali pun. Mereka yakin, nota kesepahaman ini akan dipatuhi dan ditaati oleh berbagai pihak, baik Kerajaan Liviel maupun Daerah Otonom Cassariel.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan makan malam bersama antara utusan kerajaan dengan pimpinan daerah otonom. Evan duduk bersama dengan Laurentia dan beberapa anggota di bawah komandonya, sedangkan wanita utusan kerajaan duduk berdampingan dengan teman prianya yang sudah dibebaskan.
"Itu perampokan."
Evan hanya tersenyum picik mendengar bisikan dari salah satu utusan pria yang datang. Itu merupakan respon yang wajar mengingat kesepakatan ini mengambil banyak hal kepada Liviel. Namun, kedatangan mereka kemari menandakan kalau mereka lebih membutuhkan gandum-gandum itu untuk bisa mengatasi kelaparan yang terjadi.
"Tak apa. Kalian boleh berpendapat apa pun, tetapi sayang sekali, keputusannya sudah tertanda tangani di sini." Evan menunjuk berkas kerja sama yang berada di tangannya, mereka terdiam dan tak mampu mengelak, mau sekeras apa pun mereka membentak, itu sama sekali tidak akan mengubah kesepakatan yang telah terjadi.
"Boleh kutanya satu hal padamu?" tanya utusan wanita kepada Evan.
"Silakan, apa yang ingin kau tanyakan, Nona?"
"Kenapa kau tidak menggunakan kepintaranmu untuk membantu membangun Liviel agar lebih baik dari saat ini?" tanya wanita tersebut.
Evan terdiam, ia tetap memandang lekat-lekat wanita yang berada di depannya tersebut. Matanya berkeliling mencoba mencari susunan kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan antara Evan dengan kerajaan.
"Agak rumit sebenarnya jika kujelaskan lebih rinci. Namun, yang terpenting yang perlu kalian ketahui. Hubunganku dengan kerajaan sudah lama hancur, begitu juga dengan kepercayaanku kepada mereka."
"Apa karena kau adalah utusan malaikat?" tanya wanita tersebut, tanpa basa-basi membuat seisi ruangan kaget karena sikap lancangnya.
Evan tertawa lantang, ia benar-benar terhibur dengan kepolosan wanita tersebut. Sudah lama ia tidak mendengar panggilannya tersebut, warga Cassariel lebih nyaman memangil Evan sebagai pemimpin agung daripada utusan malaikat.
"Itu bisa menjadi salah satunya."
"Ayo makanlah," pinta Evan, memersilakan mereka makan malam terlebih dahulu sebelum pergi berlayar.
Sekitar setengah jam menghabiskan waktu bersama. Akhirnya mereka berdua berpamitan seraya membawa nota kesepahaman mereka, Evan memilikinya juga, sehingga dua belah pihak memiliki berkas yang sama sebagai bukti.
Mereka pergi menuju pelabuhan diantarkan oleh penjaga pelabuhan, sedangkan Evan masih berdiri di depan kantor pemerintahannya berdampingan dengan Laurentia. Ia segera menyerahkan berkas kerja sama itu kepada asistennya tersebut, Laurentia membaca isi berkas itu dan matanya menyalang kaget melihat kesepakatan yang terjalin oleh kedua belah pihak.
"Ini ... justru sangat menguntungkan kita," jelas Laurentia, tergagap karena terkejut dan tak habis pikir dengan kesepakatan tersebut.
"Karena itulah aku ingin esok hari, kau mulai mengorganisir pasukan darat untuk pergi ke perbatasan. Pertama, kita harus mendapatkan hati rakyat di sana," jelas Evan, memandang langit malam yang terlihat cerah bertaburkan bintang.
"Lalu setelah hati rakyat kita dapatkan, kita akan menggunakan mereka untuk menyulut perpecahan di kerajaan?" tanya Laurentia, menerka.
Evan berbalik badan dan tersenyum lebar seraya memandang wajah Laurentia dengan penuh keseriusan.
"Kekacauan ini akan mengalihkan perhatian kerajaan sehingga kita bisa langsung memobilisasi pasukan untuk masuk ke ibukota."
Tak pernah Evan duga kalau rencananya menghancurkan Kerajaan Liviel akan semudah ini. Kini, ia perlu mengembangkan pasukannya agar memiliki kemampuan lebih hebat dibandingkan pasukan kerajaan. Hanya satu ancaman yang nyata untuk dihadapi oleh Evan yaitu Ksatria Agung Liviel. Maximillian ke-7.