"Apa maumu?"
Evan masih bergeming di tempatnya berada, memandang wajah Sophie yang terlihat masih penasaran dengan ucapann pemuda tersebut di ruang makan tadi.
"Kau banyak mengatakan tentang Pahlawan Maximillian. Apakah kilas balik yang kau dapatkan berkaitan dengan suamiku?" tanya Sophie, memastikan.
Keramahtamahan wanita tersebut tak perlu diragukan lagi. Kecintaannya kepada Maximillian adalah benar dan bukan paksaan dari istana seperti yang Evan kira sebelumnya. Anak mereka tiba-tiba menangis ketika berada di dekapan Sophie, wanita itu terus mencoba menenangkannya, tetapi tetap tak berhasil.
Evan melangkah mendekati jeruji besi dan menjulurkan tangan kanannya, melewati pagar besi tersebut hingga berada di atas kepala anak mereka. Sophie awalnya tersentak kaget, tetapi ketika melihat anaknya yang terdiam membuat kedua matanya sontak langsung memandang Evan kagum.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Sophie, terkejut.
"Anak balita memiliki sensitifitas yang berbeda dari kita. Untuk memenuhi keinginannya, kita hanya perlu kelembutan," jelas Evan, tersenyum kecil melihat anak Sophie yang tergendong di tangannya.
"Begitu, yah. Terima kasih banyak."
Senyum lebar terulas di wajah wanita tersebut, akan sangat disayangkan jika Evan harus menghancurkan kebahagiaan yang sudah mengisi relung hati Sophie selama ini. Evan mengangguk pelan seraya tersenyum, belaga tak ada apa-apa di antara mereka selama ini.
"Tentang kilas balik yang kau katakan. Ia tidak mengatakan apa pun tentang Ksatria Agung," ungkap Evan, pelan.
"Oh begitu. Itu cukup melegakkan, aku tidak ingin kehilangan dia," ucap Sophie, memejamkan kedua matanya dan menghembuskan napasnya panjang, begitu lega dengan informasi yang Evan berikan.
"Aku juga tidak ingin kehilanganmu."
Atensi Sophie tiba-tiba tertuju kepada Evan, ia mendengar apa yang pemuda itu katakan dan hal itu membuat pikirannya gelisah. Tentu saja itu wajar, mengingat ia baru mengenal Evan sekarang di ingatannya yang baru.
"Apa maksudmu?" tanya Sophie, menegaskan kembali pernyataan Evan.
Evan berkedip dan menyadari ucapannya barusan bukanlah yang ia pikirkan, susunan kata itu keluar dari lubuk hatinya yang terdalam atas kesedihan yang ia alami di istana ini. Ia tentu tidak ingin membuat Sophie bimbang dan terus terpikirkan akan itu.
"Bukan apa-apa. Aku hanya sedang merindukan seseorang," jelas Evan, mereka-reka.
"Hmm, kerinduan bisa membuat seseorang tak fokus akan segala hal. Apa dia sedang berpergian jauh hingga kau merindukannya atau bagaimana?" tanya Sophie, ingin tahu.
Evan mengangguk pelan dengan tetap memandang Sophie melalui dua maniknya, "Benar. Dia sedang berada di luar jangkauanku dan sangat sulit untuk kita bisa bersama kembali."
"Nyonya Sophie!"
Pintu masuk ke ruang penjara terbuka. Terlihat cahaya masuk beserta seorang wanita berpakaian pelayan datang memanggil wanita yang tengah mengobrol dengan Evan.
"Sepertinya aku harus pergi. Aku berterima kasih atas jawabanmu tentang suamiku, itu sangat melegakan hatiku," jelas Sophie, Evan tersenyum simpul seraya mengangguk pelan.
Keduanya berpisah setelah berpamitan tanpa melambaikan tangan. Pintu kembali tertutup dan hilanglah cahaya terang yang menyinari kehidupan Evan selama ini. Dengan hati dan tubuh yang lemas, ia terduduk di atas lantai dingin seraya kepalanya terus tertungkul.
Waktu semakin berjalan dan hampir satu hari Evan terkurung di tempat tersebut, tanpa ada kunjungan dari siapa pun bahkan ia tidak mendapatkan makanan apa pun dari mereka.
Ia bisa saja membobol dan menghancurkan jeruji besi yang memenjaranya, tetapi ia enggan melakukan itu untuk citra dirinya kepada masyarakat. Mereka tentu saja tidak ingin dipimpin oleh pemimpin yang kabur dari penjara.
Evan yang memiliki ambisi tersebut, maka dia juga yang harus bertanggung jawab akan hal itu. Ia tak bisa memeriksa keadaan di luar bagaimana, dirinya hanya mampu berharap Laurentia bisa mengirimkan pesan itu ke tiga pasukan yang ada di perbatasan.
Pintu terbuka, terlihat seseorang berjalan masuk menuruni tangga dengan mengenakkan jubah berbulu berwarna biru. Tubuhnya cukup pendek dari wanita sebelumnya dan siapa lagi jika bukan Ponrak.
Ia mengenakkan setelan kemeja militer dengan jubah biru lengkap, beserta pedang yang terikat di pinggang kirinya. Kedua matanya menusuk tajam memandang Evan yang tengah duduk bersila bersandarkan dinding penjara.
"Lama tak bertemu."
"Sayang sekali kita bertemu sebagai musuh," ujar Ponrak, ketus.
"Aku suka jubahmu, Faksi Pedang Raja memang mengagumkan," puji Evan, satir.
"Aku mendapatkannya tidak mudah, dengan perjuangan dan—"
"Nama dan keberadaanku," sela Evan di tengah-tengah ucapan Ponrak.
Wanita itu terdiam, ia tak bisa berkata apa-apa ketika Evan berhasil menebak rencananya sejak datang ke kastil di utara. Ia harus menjual dirinya sebagai agen mata-mata kerajaan untuk mengetahui keberadaan Evan.
"Aku sudah mengetahuinya ketika melihat gaun mahal yang kau kenakan di kastil utara. Bukankah kau tipe wanita yang sederhana? Tidak tergiur dengan barang-barang mewah," jelas Evan, mempertanyakan keyakinan Ponrak selama ini.
"Aku melakukannya bukan karena uang," ungkap Ponrak, menundukkan kepalanya di hadapan Evan.
"Orang-orang berkata demikian, aku tak bisa lagi percaya akan itu."
"Diam kau, Pengkhianat!" bentak Ponrak, kesal.
"Kau yang mengkhianatiku lebih dulu! Apakah itu etis bagi seorang pemimpin faksi militer terpandang memiliki rekam jejak sebagai pengkhianat?!" erang Evan, kesal.
Keduanya terdiam, Ponrak belum pernah melihat Evan semarah itu sebelumnya. Wajahnya juga berbeda, begitu juga dengan kepribadiannya. Ia tak lagi melihat sikap Evan yang ia kenal berada di diri pemuda di hadapannya.
"Apa tujuanmu datang kemari?" tanya Evan.
"Aku hanya ingin melihat wajah pengkhianat ini sedari dekat, untuk memastikan apakah benar dia adalah Evan yang kukenal atau bukan."
"Selamat! Kau berada di kursi pertama untuk bertemu denganku secara langsung, Evan si Utusan Malaikat Jophiel," jelas Evan, membentangkan kedua tangannya seolah menyambut mereka yang penasaran dengannya.
"Apa kau mengejekku?!" bentak Ponrak, kesal.
Evan menjulurkan tangan kanannya ke depan seraya terus memandang tajam Ponrak di depannya, "Ventus Ictu!"
Dengan cepat, pilar-pilar angin terbentuk dari kelima jari tangan Evan dan melaju kencang mendorong tubuh Ponrak hingga terpental dan menabrak pigura berkaca hingga menyebabkan wanita itu terjatuh dan mengalami luka kecil.
"Hentikan omong kosong ini. Cepatlah pergi dari sini!" pinta Evan, lantang.
Ponrak segera berbalas memandang Evan, segera ia keluarkan pedang miliknya dan berlari menuju pemuda tersebut.
Ketika keduanya hendak beradu kekuatan, bola sihir tiba-tiba menangkap mereka dan mengurungnya di dalam. Evan melirik dan melihat Alexandre datang beserta Altair yang berada di belakangnya.
"Bawa wanita itu keluar dari sini."
Altair mengangguk dan langsung menyingkirkan Ponrak, keluar dari ruang penjara bawah tanah. Alexandre masih berdiri di depan jeruji besi, berkacak pinggang dan menatap Evan dengan kuat.
"Lepaskan dia," pinta Alexandre.
Bola itu seketika berubah menjadi air dan membasahi pakaian dan tubuh Evan. Ia benar-benar terbebas dan kini dalam keadaan basah kuyup, terduduk di atas lantai dingin penjara dengan terus memandang Alexandre penuh kemarahan.
"Kali ini apa yang kalian inginkan dariku?!" tanya Evan, tegas.
"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu, ini terkait permintaan kedua dan ketigaku," ujar Alexandre.
Evan menganggukkan kepala. Alexandre merasakan kalau dirinya tak lagi berdaya untuk memimpin rakyat Liviel. Ia mengatakan dengan jujur bahwa dirinya benar-benar terpukul ketika melihat Evan justru menentangnya, bukan mendukungnya.
"Aku tidak membencimu, melainkan sistem kerajaan ini. Kasta, oligarki, dan sebagainya. Mereka sudah merampas kebebasan yang harusnya dimiliki semua orang di kerajaan," jelas Evan.
"Apa tidak ada cara lain selain penghancuran kerajaan untuk mengubah semuanya?" tanya Alexandre, memastikan.
"Sayangnya tidak ada. Keluarga kerajaan juga bertanggung jawab atas kematian ribuan rakyat miskin yang kelaparan akibat haus perang dan kekuasaan yang kalian tunjukan," jawab Evan.
Evan memandang Altair dan Sophie, mereka berdua adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan untuk hal yang sewenang-wenang. Merenggut ingatan mereka dan menggantinya dengan ingatan baru merupakan suatu tindak kriminal berat, pencucian otak.
"Begitu juga dengan mereka berdua. Kau mencuci otak mereka dan menghilangkan keberadaanku. Sophie dan Altair kini tidak lagi mengenalku," jelas Evan, sendu.
"Apa kau tahu bagaimana pedihnya melihat Sophie bahagia bersama pria lain?" tanya kembali Evan, kepada Alexandre.
Raja Liviel yang dikenal gagah dan perkasa, kini terlihat menundukan kepalanya memohon ampun karena rasa bersalah yang menghinggapi dirinya selama ini.
"Yang Mulia!" tegas Altair.
"Aku tidak tahu apakah pantas bagiku untuk meminta maaf atas segala kematian, penderitaan, dan kebencian di masyarakat akibat keegoisanku. Namun, jauh dari lubuk hatiku. Aku meminta maaf yang sebesar-besarnya."
Secara mengejutkan, Alexandre bersujud kepada Evan seraya memohon ampun layaknya pelayan kepada majikannya. Hatinya benar-benar tulus dan bersih, ia sejujurnya ingin menciptakan pemerintahan yang damai. Namun, ia tidak mampu membendung keinginan para bangsawan yang selalu meminta lebih.
"Bangunlah, tidak pantas seorang Raja bersujud seperti itu selain kepada penciptanya," pinta Evan, dingin.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Altair, menyorot tajam mata Evan.
Evan mengabaikan pertanyaan pria tersebut. Kaki-kakinya melaju mendekati Alexandre seraya tangan kanannya menepuk pelan pundak pria bertubuh besar tersebut.
"Jika aku punya kesempatan untuk hidup. Akan kuantarkan kau ke Pulau Cassariel dan bertemu dengan rakyat di sana," jelas Evan, tersenyum ramah.
"A-Apakah mereka hidup bahagia dan sejahtera?" tanya Alexandre, cemas.
Evan memejamkan kedua matanya seraya kedua sudut mulutnya terangkat lebar, "Mereka hidup bahagia."