Wajah dan ekspresinya terdiam mematung setelah mendengar kalau Benedict, Ayah Aletha masih hidup dan berada di kamp para pemberontak. Hatinya gelisah, memikirkan apakah ia harus mengutamakan keluarga atau kerajaan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Evan, bingung.
"Aku masih ragu apakah kau benar-benar menyelamatkannya? Bukan untuk menjebak dan membunuhku sesampai di sana, kan?"
Evan terdiam seraya tangan kanannya terus terjulur menunggu kesediaan Aletha untuk pergi bersamanya. Pasukan Kuda Putih mulai berjalan mendekati gerbang selatan setelah dirasa ketiga komandan faksi tidak lagi bisa bangkit untuk bertarung.
"Mereka yang menyelamatkannya, bukan aku. Cepatlah putuskan atau mereka akan datang membunuhmu!" pinta Evan, tergesa-gesa.
Manik mata Aletha melihat apa yang Evan takutkan. Mereka berjalan dengan beringas, haus akan darah para bangsawan ibukota, tak kenal ampun menebas siapa saja yang berusaha menghalangi.
"B-Baiklah."
Aletha menjabat tangan Evan dengan kuat, segera pemuda itu membawa pergi Aletha menjauh dari medan perang di depan gerbang. Beberapa teman wanita itu berteriak memanggil nama Aletha. Namun, keputusannya sudah bulat untuk pergi menemui ayahnya.
"HYAAAH!"
Pertempuran dahsyat kembali berlanjut, faksi Pedang Raja yang telah jatuh moralnya terpaksa harus menahan gempuran pasukan pemberontak yang mencoba merangsek masuk. Trebuchet tak henti-henti melemparkan batu besar dengan harapan dapat menghancurkan dinding tebal pelindung ibukota.
"Mereka tidak akan sanggup menahannya," jelas Aletha, memandang kejadian mengerikan di gerbang ibukota.
"Kepercayaan diri mereka telah hancur setelah melihat tiga komandannya tewas di tanganku, seharusnya dengan begini akan mudah bagi pasukanku untuk menguasai Ibukota," balas Evan, berlari bersama meninggalkan gerbang depan seraya tetap menggenggam tangan Aletha dengan kencang.
Teriakan demi teriakan penderitaan terdengar jelas dari arah belakang Aletha. Ia ingin melihat bagaimana situasi di depan gerbang. Namun, Evan melarangnya. Melihat teman-temannya tewas bisa mengaburkan keinginannya dan memunculkan keraguan dalam hati Aletha.
Laurentia datang tatkala melihat Evan kembali bersama seorang wanita. Tatapan Laurentia begitu sinis melihat keberadaan Aletha di kamp Kuda Putih. Namun, urusan pribadinya harus ia tahan karena Evan menginginkan Aletha untuk pergi menemui Benedict.
"Akan kulakukan," ucap singkat Laurentia.
"Kau bisa ikut aku," ujar Laurentia kepada Aletha, wanita itu mengangguk dan segera mengikuti ahli strategi yang dimiliki oleh Evan.
Mereka berjalan menuju kamp pengungsi yang dijaga ketat oleh anggota Laurentia. Evan menitipkan keselamatan mereka karena ia butuh mereka semua yang memiliki keterkaitan dengan pemuda tersebut, tentu untuk meyakinkan rakyat banyak kalau bangsawan pun ada yang mendukung Evan.
Kain tenda terbuka, terlihat Benedict tengah duduk di atas kursi bersama Istri dan Anak laki-lakinya. Aletha yang melihat wajah ayahnya tak kuasa menahan tangis bahagia, wanita itu langsung berlari tanpa memedulikan bangsawan lain yang memerhatikannya, pergi memeluk keluarganya yang ditangkap.
"A-Aletha?" tanya Benedict, terkejut.
"Ayah ... syukurlah kau baik-baik saja," lirih Aletha, memeluk keluarganya dengan hangat sembari berlinang air mata.
"Maafkan Ayah karena sudah membuatmu khawatir," ungkap Benedict, kilau matanya berbinar menahan rasa bahagia bisa bertemu Aletha yang selamat.
"Ibu ... Kakak ... Syukurlah kalian juga selamat."
"Kau baik-baik saja, Aletha? Apa kau mengalami luka? Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Ibu Aletha, khawatir sama seperti pada umumnya.
"Aku baik-baik saja. Evan yang membawaku kemari," ucap Aletha, menyeka air matanya, terduduk di atas tanah di hadapan ketiga anggota keluarganya.
"Evan? Tapi kenapa dia melakukan itu?" tanya Benedict, terkejut.
Tak terduga, Evan tiba di tenda pengungsi dan berdiri sejajar dengan Laurentia. Pandangan mereka serentak menatap wajah angkuh Evan, pemuda yang mereka benci karena status sosial dan kekejamannya.
"Aku berutang budi pada Aletha, dia pernah memberiku bekal ketika aku tidak punya apa-apa di Ibukota," ungkap Evan, bekal yang pemuda itu maksud adalah satu kantung koin emas.
"Lalu kenapa kau menyelamatkan Ayah dan semua bangsawan di sini?" tanya Aletha, penasaran.
"Tidak sembarang bangsawan yang kuselamatkan, kalian semua adalah orang-orang terpilih yang kuanggap memiliki pengaruh di daerahnya masing-masing. Salah satunya kau, Benedict."
"Kalian tidak akan kubunuh, begitu juga disiksa. Aku akan menyediakan makan dan minum, serta tempat istirahat kepada kalian," sambung Evan, tegas.
Salah satu bangsawan dari Kota Industri Arkheim berdiri dan menatap kedua mata Evan kuat. Evan mengenalnya karena dia adalah pemilik perusahaan karet di daerah tersebut. Galiard, itulah namanya.
"Maafkan aku, Tuan Evan. Itu adalah sesuatu yang istimewa untuk diberikan kepada kami, di mana ada sebuah penawaran, maka di sana ada permintaan," ucap Galiard, percaya diri.
Evan tersenyum melihat kepekaan pria paruh baya tersebut atas pernyataan yang dilontarkan olehnya. Pemuda itu melangkah mendekati sebuah meja yang penuh dengan kertas dan catatan milik Galiard.
"Aku tidak pernah meragukan insting seorang pengusaha," puji Evan seraya memegang kertas-kertas yang ada di atas meja.
Suasana seketika hening, mereka terus terfokus kepada Evan tanpa berkedip, sebuah kata yang keluar dari mulut pemuda itu bisa saja mengubah hidup mereka sepenuhnya.
Evan berbalik badan dengan kedua matanya menatap Laurentia, terlihat pemuda itu meminta Laurentia mengambil buku pengintaian terhadap mereka.
"Aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan Aletha dari medan perang," balas Benedict, Evan mengangguk seraya tersenyum simpul.
Tak lama, Laurentia datang dengan membawa buku milik Evan. Ia mencatat setiap perilaku dan sikap bangsawan di setiap kota, tentu informasi ini didapatkan melalui informan khusus yang telah bekerja lama bersama mereka.
"Buku apa itu?" tanya Galiard.
"Ini? Buku ini adalah buku pengintaian kalian, selama satu tahun ini aku sudah mengutus orang untuk mengetahui sifat dan pengaruh para bangsawan."
Evan menunjukan buku tersebut ke semua orang seraya mengatakan para bangsawan yang ada di sini tidak melakukan kejahatan apa pun, semisal korupsi dan suap. Ketujuh bangsawa itu bersih dari catatan kriminal.
"Dan dari kalian ada yang blak-blakan tidak menyukai sistem kerajaan. Apa benar begitu, Benedict?" tanya Evan, menyorot mata Ayah Aletha dengan tegas.
"Kau masih mengingat pembicaraan kita tempo hari?"
"Haha! Kau orang pertama yang menolak ajakan aliansiku, bagaimana bisa aku melupakan hal itu," ungkap Evan, tertawa lantang.
"Aliansi?" tanya Aletha, kaget.
Wanita itu segera berbalik dan memandang ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia penasaran dengan maksud aliansi yang dikatakan Evan. Apakah ayahnya memiliki pikiran untuk bergabung dengan pemberontak?
"Aku akan menjelaskannya padamu," ucap Benedict.
"Lalu, apa hasil dari pengintaianmu?" tanya Galiard, masih penasaran.
Evan menutup buku yang ia pegang dan memberikannya kembali kepada Laurentia, tampaknya ketujuh bangsawan tidak memerlukan informasi yang ada di dalam buku tersebut.
"Kalian sendiri pasti sudah mengetahui kalau Liviel tidak akan menang melawan pasukanku. Maka aku hanya membutuhkan dua hal kepada kalian," ungkap Evan, serius.
"Pertama, kalian deklarasikan dukungan kalian padaku. Tentu untuk memancing perhatian rakyat dan bangsawan lain di ibukota agar memihak ke kubuku," jelas Evan.
Para bangsawan saling pandang satu sama lain, ini bukanlah sebuah permintaan jika situasinya mereka sedang ditangkap, melainkan perintah. Namun, berkat kebaikan hati Evan, mereka boleh menolak permintaan Evan jika hati dan pikiran mereka tidak sependapat.
"Beri kami waktu untuk mendiskusikan hal ini," ujar Galiard, keenam kepala keluarga bangsawan mengangguk tanda setuju dengan usulan Galiard.
Evan menghela napas seraya berkacak pinggang, ia sebetulnya tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi. Pada akhirnya, Evan menyetujui usulan Galiard.
"Lalu yang kedua apa?" tanya Galiard.
"Aku akan menyita aset kalian, begitu juga dengan pasukan yang masih tersisa untuk menjaga kota. Aku akan mengambil alih semuanya," ungkap Evan, sontak mendengar hal ini membuat semua bangsawan menolak keras.
"Perusahaan, uang, dan properti milikku didapatkan berkat usahaku. Bagaimana mungkin kau bisa mengambilnya seenak hati!"
"Aku tidak menyetujui usulan ini."
Suasana menjadi riuh, negosiasi pun berubah kacau. Mereka mulai menunjukan keegoisan mereka dengan mencoba mengatakan kekayaan yang mereka miliki adalah hak mereka.
"Setelah perang saudara berakhir, maka kerajaan akan masuk ke dalam krisis pangan paling dahsyat yang pernah terjadi," ucap Evan, memprediksi.
"Untuk menanggulangi hal itu, satu-satunya cara untuk meminimalisir resiko adalah dengan melakukan pengambilalihan aset sementara untuk diurus oleh satu orang."
"Jadi, maksudmu kau akan menggunakan kekayaan kami untuk mengatasi kekacauan yang kau perbuat?" tanya Galiard.
"Kurang lebih seperti itu," balas Evan, Galiard tertawa lantang mendengarnya, ia tidak pernah mengira betapa bodohnya pemuda di depannya.
Semua bangsawan sontak memandang Galiard dengan tatapan bingung, berbeda dengan Evan dan Laurentia yang memandangnya sinis, seperti tengah merendahkannya.
"Kenapa kau tidak mengaungkan keberhasilan di Cassariel itu? Apa kau sadar kalau keberhasilan itu bukan karenamu?!" ketus Galiard, meledek.
Laurentia terbakar emosi mendengarnya. Ia hendak berjalan menghampiri Galiard dan menebas leher bangsawan tersebut, tetapi Evan mencegahnya seraya tersenyum.
"Apa kau tahu bagaimana skala luas antara Cassariel dengan Liviel?" tanya Evan, mengetes kemampuan berpikir Galiard.
"Cassariel lebih kecil dibandingkan Liviel, memangnya kenapa?" tanya balik Galiard.
"Kau sadar itu lebih kecil. Untuk memenuhi kebutuhan sebuah negara, maka dibutuhkan suatu usaha yang besar untuk mengimbanginya."
"Pasokan gandum di Cassariel untuk Liviel hanya cukup selama dua bulan, setelah itu apa? Kau akan membiarkan rakyat di negeri ini memakan tanah?" tanya Evan.
Galiard terdiam mendengar pertanyaan dari Evan. Ada benarnya juga ketika ia membandingkan antara Cassariel dengan Liviel.
"Masalah pangan adalah hal utama, satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah membuat ladang gandum yang sama banyaknya dengan kebutuhan pangan kerajaan," ucap Evan, menjelaskan.
Galiard membelalakkan kedua matanya, menyadari jika yang Evan lakukan bukanlah merampas kekayaan bangsawan seperti yang mereka pikir, melainkan memutar kekayaan mereka sehingga kemungkinan mendapatkan untung besar dari sektor pangan yang dibutuhkan.
"Maka ketika dua bulan berlalu dan permintaan gandum meningkat, maka kita bisa mengantisipasinya dengan ladang-ladang gandum yang baru," ungkap Evan, Galiard mengangguk tak kuasa berkata apa-apa lagi selain kekaguman atas pemikiran Evan.
"Aku akan menyetujui usulanmu yang kedua," ucap Benedict, tegas.
Tak hanya darinya, tetapi mereka semua mulai setuju dengan usulan Evan. Mereka menyadari kalau hal ini mendesak, jika mereka tidak memberikannya, maka mereka sendiri yang akan merasakan perihnya kelaparan di bulan kedua.
"Aku pun akan menyumbangkan semua kekayaanku untuk membantumu," ucap Galiard.
Evan tersenyum seraya menganggukkan kepala, berterima kasih kepada mereka semua atas kepercayaan yang diberikan.
"Aku tunggu kabar baik untuk usulan yang pertama."