Chereads / Battle of Heaven / Chapter 42 - Invasi Kuda Putih

Chapter 42 - Invasi Kuda Putih

***

Dua hari kemudian.

Keriuhan terdengar jelas dari luar ruang penjara bawah tanah. Mereka mondar-mandir dengan penuh kecemasan akan invasi besar-besaran yang dilakukan pasukan Evan di bawah komando Laurentia.

Wanita peracik strategi handal itu menikmati setiap menit dan jam pertarungan yang terjadi, meminimalisir korban jiwa yang berjatuhan di sisinya dan mengefisienkan serangan agar dapat menguasai Ibukota Liviel tepat waktu.

Tak terduga, Sophie kembali masuk ke ruang penjara bawah tanah untuk menemui Evan. Ia sudah salah berterima kasih kepadanya, pemuda di hadapannya tak lain adalah monster beringas yang tak kenal ampun.

"Rakyat dan para bangsawan Liviel mulai berjatuhan. Apa kau tetap ingin melanjutkan invasi ini?!" bentak Sophie.

Hati nuraninya terketuk melihat penderitaan dan kekejaman yang ditunjukan oleh pasukan Evan kepada orang-orang di kerajaan. Tak hanya membunuh, mereka pun melakukan pemerkosaan, penjarahan, dan pembakaran kediaman bangsawan yang pro dengan pemerintah.

Evan mengangkat tubuhnya yang lemas, berjalan mendekati Sophie yang terhalang jeruji besi di penjara tersebut. Wajah pemuda tersebut begitu pucat pasi, sampai detik ini, ia tidak menerima makanan atau minuman dari istana.

"Aku tidak melakukan sesuatu. Tidak ada yang bisa kulakukan dari sini," jelas Evan, dingin.

"Lalu, siapa yang menggerakkan beribu pasukan itu?" tanya Sophie.

"Hati mereka."

"Hati?" tanya Sophie, kebingungan.

Evan berjalan menuju pintu penjara dan tangan kanannya segera menggenggam salah satu jeruji besi yang terasa dingin, sedingin lantai tempat ini.

"Mereka mencintaiku, berhutang budi padaku. Ketika melihat aku tak kembali dengan cepat ke Cassariel, mereka sudah menyusun rencana untuk menyerang Liviel karena penangkapanku."

"Kau lepas tangan dari tanggung jawabmu sebagai pemimpin Cassariel!" hardik Sophie, kasar.

"Tidak. Aku masih pemegang tertinggi komando pasukan Cassariel dan selamanya begitu," jelas Evan.

Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya, membayangkan kalau tangan kanannya mengeluarkan api dengan panas tinggi hingga mampu melelehkan besi yang digenggamnya.

"Inferno!"

Seketika jeruji besi yang dipegang Evan mulai meleleh dan membuka ruang bagi Evan untuk keluar. Sophie terkaget-kaget mendengar mantra sihir kuno yang diucapkan oleh Evan, tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya selain Pahlawan Maximilian.

Kaki kanannya menapak di luar jeruji besi, begitu juga dengan kaki selanjutnya. Secara penuh, Evan sudah berada di luar jeruji besi dan berdiri sejajar dengan Sophie yang cemas dan berkeringat dingin karena takut.

"Bagaimana kau bisa merapal dan menciptakan sihir kuno seperti itu?" tanya Sophie, ingin tahu.

Sikapnya sangat defensif, itu hal wajar mengingat kekuatan yang dimiliki Evan jauh melampaui kemampuannya dan ayahnya. Ia pun cukup ragu jika Evan berhadapan dengan suaminya, apakah akan berakhir imbang atau justru suaminya yang kalah?

"Bukankah sudah kubilang kalau aku adalah reinkarnasi pahlawan. Menggunakan sihir seperti itu bukanlah hal yang sulit bagiku."

Sophie masih memandang wajah Evan dengan penuh keseriusan. Pemuda itu menyadari kalau Sophie cukup ketakutan melihat kekuatannya.

"Pergilah mengungsi, aku tidak ingin dirimu dan anakmu terluka dalam perang keegoisanku ini," pinta Evan, tetapi Sophie menolak dan mencoba mencegah Evan dengan menghalangi jalan keluar pemuda tersebut.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini," jelas Sophie, menjulurkan tangan kanan dengan tangan kiri yang bersiap dengan batu sihir yang ia miliki.

"Sihir ini akan menghilang jika penggunanya mati atau tak sadarkan diri," ucap Evan.

Tubuhnya berbalik dan kini melalui sudut matanya, Evan memandang tajam wajah Sophie yang mulai merepotkannya. Niatnya untuk membiarkan Sophie baik-baik saja tampaknya tidak akan terwujud.

Evan mengangkat tangan kanannya setinggi bahu, menyebabkan ruang udara mulai berkumpul di sekitar Sophie. Tekanan udara yang kuat dan cepat menyebabkan Sophie kehilangan keseimbangan, ia melayang dengan mudah terbawa angin ke sana kemari.

"Dancing Wind!"

Sebagai manusia, Sophie merasakan mual dan pusing ketika berada di pusaran angin. Ia tidak mendapatkan oksigen yang cukup karena ruang geraknya terbatasi. Perlahan tapi pasti, wanita itu terjatuh tak sadarkan diri.

Tembok tebal yang menghalangi Evan akhirnya runtuh, membuka jalan bagi pemuda tersebut untuk keluar dari ruang penjara bawah tanah tersebut.

Pintu terbuka, tak ada satu pun yang menduga kalau pria berkemeja militer berwarna putih tersebut adalah Evan, tahanan yang kabur dari penjara. Saking sibuknya, mereka mengabaikan keberadaan Evan yang terus berjalan melintasi lorong demi lorong kerajaan untuk sampai di depan istana.

Niatnya ia urungkan tatkala melihat banyak orang dan pejabat istana yang berkumpul di sana. Mereka tampaknya tengah menyaksikan pertempuran di kota terdekat yang entah kenapa bisa terlihat dari Istana Kerajaan Liviel.

Evan memilih kembali dan berjalan menaiki anak tangga untuk sampai di puncak istana. Istana ini memiliki lantai sebanyak tiga, tetapi luas istana jauh lebih besar dari gedung pemerintahan Evan di Cassariel.

Benar saja, Evan mampu melihat dengan jelas dua kota besar sebelum ibukota yang tengah mengalami serangan dari kelompoknya. Kota Jurgneil dan Zardheim menjadi benteng penting bagi Liviel untuk mempertahankan eksistensi di tengah pemberontakkan Kuda Putih.

Tiga Faksi mulai berjalan melintasi jalanan utama ibukota yang dipenuhi oleh pengungsi, mereka terpaksa menjadi pasukan harapan Liviel di tengah krisis pasukan darat yang kurang akibat perang berkepanjangan dengan Iblis dan Malaikat.

"Ksatria Agung tidak dikerahkan untuk melawan mereka," gumam Evan.

"Tidak. Mereka menugaskanku untuk melindungi Istana Raja di pertahanan terakhir ibukota."

Terdengar jawaban dari seorang pria yang tak pernah Evan duga, dia adalah Ksatria Agung, Maximilian ke-7. Ia berjalan mendekati Evan dengan tetap memegang tombak miliknya yang dikenal sakti dan kuat.

"Jadi, Raja akan mengorbankan mereka untuk membiarkanmu menyelesaikan semuanya?" tanya Evan.

"Kalimat menyelesaikan semuanya terdengar cukup mengerikan. Kita bisa menggunakan kata pertahanan agar lebih manusiawi," jelas Ksatria Agung.

"Apa itu semua sesuai dengan apa yang kau inginkan?" tanya Ksatria Agung, menunjuk dua kota yang telah hancur dan terbakar.

"Kurang lebih seperti itu."

"Ternyata memang benar," keluh Ksatria Agung.

Evan terdiam, melirik ke wajah pemuda yang hampir seumuran dengannya dengan sudut mata yang meruncing tajam.

"Kita tidak ada bedanya dengan para monster-monster itu."

"Kalian sendiri yang sudah menciptakan monster ini. Jika kalian menghapus persepsi buruk tentang utusan malaikat dan menghentikan perang berkepanjangan itu. Mungkin kita akan berdiri di sini bukan sebagai musuh, tetapi teman," ungkap Evan, kembali menyalahkan kejadian lampau yang terjadi pada dirinya dan orang banyak.

Evan melangkah mendekati pagar atap dengan kedua matanya terus memandang pasukannya dari kejauhan, "Kita semualah yang sudah menciptakan perang ini, mereka menyebutnya Reformasi Manusia."

Tampak pasukan Evan mulai berjalan dengan beriringan menuju Ibukota kerajaan. Ia bisa melihat seorang wanita yang duduk di atas kuda dengan berpakaian militer berwarna putih dan jubah hitam yang terkembang di punggungnya.

Sungguh mengejutkan, semua pasukan menyebar mengelilingi gerbang ibukota dan bersiap menyerang dengan menggunakan sihir mereka. Kalkulasi pasukan yang tersisa sekiar 5000 orang, mulai dari pemanah, pasukan berkuda, pasukan berpedang, hingga ahli sihir.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Ksatria Agung, penasaran.

"Mereka sedang menunggu," ucap Evan, Ksatria Agung tersentak dengan maksud Evan.

"Menunggu siapa?"

Evan tersenyum dengan tetap memandang pasukannya, "Aku."