Tiba-tiba setengah pasukan beranjak pergi meninggalkan Ibukota Liviel dengan cara memutar. Ksatria Agung memerhatikan mereka dari kejauhan, begitu juga dengan Evan.
Ksatria Agung seketika mencengkeram leher Evan dengan ekspresi wajah yang kesal dan marah. Emosinya berubah seperti itu pasti disebabkan hancurnya seluruh kota yang berada di selatan Ibukota, amarahnya bertambah ketika setengah pasukan berjumlah satu resimen pergi meninggalkan tempat ini bergerak menuju utara.
"Kau! Bajingan sepertimu harus dipenggal di hadapan pasukanmu sendiri!" ancam Ksatria Agung.
Ia menarik Evan untuk berjalan bersamanya, bukan dengan berpegangan tangan tetapi dengan mencengkeram leher pemuda itu dan meletakannya di sela tubuh dan tangan kanannya.
"Oh aku hampir kelupaan sesuatu."
Ksatria Agung menghentikan langkahnya, membanting tubuh Evan di hadapannya membuat suara nyaring benturan tubuh pemuda tersebut terdengar nyaris dan sontak menghentikan semua aktivitas yang tengah berjalan di lorong tersebut.
"Akh!"
Ksatria Agung langsung mengacungkan tombak berujung lancip kepada Evan, dekat dengan dahinya.
"Cepat katakan," pinta pria tersebut.
"Sophie ... dia terbaring lemas tak sadarkan diri di ruang penjara bawah tanah," ucap Evan, menunjuk ruang penjaranya dengan tetap kedua matanya terpejam.
"APA?!" teriak Ksatria Agung, kaget.
Dengan langkah cepat, ia segera melangkahkan kaki-kakinya meninggalkan Evan pergi menuju ruang penjara bawah tanah. Melihat penjagaan Evan lepas, pemuda itu memanfaatkan hal ini sebaik mungkin untuk melarikan diri dari tempat ini.
Evan akan berjalan kaki dengan melompati tembok pelindung istana. Meskipun jarak antara istana dengan gerbang ibukota cukup jauh. Namun, Evan tetap akan melakukannya. Itu jauh lebih baik dibandingkan pergi dengan kecepatan penuh menggunakan kuda tetapi bisa memancing perhatian mereka.
Langkahnya pelan mengendap-endap mencoba agar ia tidak ketahuan oleh penjaga istana. Setelah berada di dekat tembok pelindung, Evan langsung melompat tinggi dengan menggunakan sihir angin yang mengangkat tubuhnya.
Pendaratannya tidak mulus, tubuhnya harus menghantam atap sebuah rumah hingga mengejutkan orang-orang di dalamnya. Untungnya tidak ada seseorang di bawah area pendaratan tersebut.
"S-Siapa kau?!" bentak seorang pria yang tengah memandang ke luar jendela rumahnya, kedua matanya sontak terfokus kepada pakaian dan wajah Evan, sungguh berbeda dengan setelan perwira kerajaan.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Evan, berdiri seraya membersihkan potongan kayu yang mengotori pakaian putihnya.
"Perang, tidak kusangka kita akan dikalahkan oleh sesama ras sendiri, bukan oleh iblis atau pun manusia," ungkap pria tersebut.
Evan melihat kerusakan yang ia perbuat, sebelumnya ia belum pernah mengembalikan sesuatu yang rusak dengan sihirnya. Namun, karena atap rumah terbuat dari susunan kayu, maka ia akan mencobanya menggunakan sihir kuno yang tersusun rapi layaknya buku di kepala Evan.
"Reconstruction: Wood Element."
Seketika kayu-kayu yang hancur di atas Evan memanjang layaknya hidup dan saling menyatu satu sama lain. Kini, rumah pria tersebut kembali utuh setelah Evan perbaiki.
Pemilik rumah hanya bisa melongo kagum, baru kali ini ia mendengar seseorang menggunakan rapal mantra yang berbeda, begitu juga dengan sihir yang diciptakan.
"Jika orang-orang mengetahui mantra itu, maka pekerjaan tukang kayu tidak akan dibutuhkan lagi," jelas pria pemilik rumah.
Evan berjalan mendekati jendela rumah, memerhatikan betapa riuhnya orang-orang yang berada di jalan utama ibukota, memastikan kalau mereka baik-baik saja saat ini.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya pemilik rumah, penasaran.
"A-Aku ... Aku perwira tinggi istana," ucap Evan, berpura-pura.
"Oh lalu apa yang sedang kau lakukan di atas rumahku?"
"Tadinya aku hendak pergi ke luar gerbang untuk bernegosiasi, jalan tercepat hanya menggunakan atap rumah warga. Namun, kesialan terus saja menghantuiku."
Pemilik rumah mengangguk mengerti, setidaknya ia pernah melihat pasukan istana yang berjalan menggunakan batas genting berbentuk balok yang memudahkan pasukan khusus bergerak, layaknya ninja.
"Lalu apa yang akan terjadi kepada kita?" tanya pemilik rumah, khawatir dengan kemungkinan terburuk dari perang saat ini.
"Kenapa kau sangat takut?" tanya Evan, ingin tahu.
"Tentu saja. Mereka dipimpin oleh seorang utusan malaikat, tak hanya itu, kudengar dia juga salah satu reinkarnasi pahlawan pertama. Kita semua akan mati jika melawan mereka!" bentak pemilik rumah, kesal.
Ternyata benar, meskipun mereka membenci Evan dan mencaci pemuda itu, masih terdapat rasa ketakutan akan kekuatan yang dimiliki Evan, entah sebagai utusan malaikat atau pun reinkarnasi pahlawan.
Artinya mereka membenci Evan bukan karena status utusan malaikat, melainkan karena kekuatan besar yang bisa mengancam hidup mereka. Persepsi inilah yang harus diubah oleh mereka semua terhadap kekuatan Evan.
"Akan kubicarakan agar mereka mau berunding dengan kita."
Evan berjalan menuruni tangga untuk sampai di lantai dasar. Ia keluar dari rumah milik pria tadi dengan berjalan menyusuri gang-gang sempit agar bisa sampai di dekat gerbang ibukota.
Dirinya akan mudah tertangkap jika tidak menggunakan penyamaran. Ketika tengah berjalan menyusuri gang, terlihat dua orang pasukan Arkana Hijau dan Pedang Raja tengah berdiskusi. Evan harus merebut salah satu dari pakaian mereka agar bisa lolos dari pemeriksaan penjaga gerbang.
***
Evan berjalan dengan mengenakkan jubah biru milik prajurit tadi dengan tetap menunjukan kemeja putih miliknya. Pemuda itu berangkat dengan percaya diri menuju gerbang selatan ibukota untuk bertemu dengan pasukannya.
"Sepertinya aku mengenalmu," ucap penjaga gerbang, melihat wajah Evan dengan seksama.
"Aku perwira tinggi Pedang Raja. Kau tidak mengenalku, Sialan?!" ancam Evan dengan kedua mata melotot tajam.
"A-Aku mengenalmu, Tuan. Apakah ada hal yang ingin kau lakukan?" tanya penjaga tersebut, ketakutan.
"Banyak tanya! Aku hendak bertemu dengan Komandan Ponrak. Apa kau mencoba menghalangiku, Sialan?!" bentak Evan, ucapan bernada tinggi darinya membuat pria penjaga mau tidak mau mempersilakan Evan untuk melintas.
Rencananya berhasil. Ia melangkah ke luar gerbang ibukota dan bertemu dengan tiga faksi kerajaan yang masih berdiri teratur dengan kesiapsiagaan yang tinggi. Dengan tegap, Evan melintas di antara pasukan faksi untuk sampai di tenda tempat perundingan dua kubu.
Setelah lepas dengan mudah dari kerajaan, Evan menyingkirkan jubah biru miliknya hingga terjatuh di atas tanah. Laurentia melihat keberadaan pemimpinnya dan tersenyum bahagia mendapati pemuda itu baik-baik saja.
"Bagaimana?" tanya Ponrak.
"Sebaiknya kalian bertiga bicara saja langsung dengan komandan pasukanku," jelas Laurentia, memundurkan langkahnya.
Ketiga komandan faksi berbalik badan dan terkejutnya mereka mendapati Evan sudah berada di medan perang ini. Ponrak yang paling terkejut karena setahu dirinya, Evan dipenjara di tempat paling susah untuk melarikan diri di Kerajaan Liviel.
"Tunggu dulu! Bagaimana kau bisa keluar dari sana?" tanya Ponrak, kaget.
"Mereka seperti menganggapku bagian dari istana, sama sekali tidak ada yang mencurigaiku," jelas Evan, sontak membuat ketiga orang di depannya kesal bukan kepalang.
Evan melihat sosok wanita yang dulu pernah menyelamatkan nyawanya, Komandan faksi Tulip Merah, Evelyn. Pemuda itu tersenyum kepadanya, disambut sama oleh wanita tersebut.
"Jadi, apakah kita bisa memulai perundingan ini?"
Ketiganya serentak mengangguk, mereka duduk di kursi yang disediakan oleh pasukan Evan. Terlihat peta Kerajaan Liviel tercetak jelas di atas meja dengan biduk kuda putih yang berdiri di beberapa kota besar Liviel bagian selatan, total ada lima kota yang berhasil dikuasai.
Sedangkan Liviel kini hanya memiliki dua kota tersisa, Kota Alysium dan Ibukota Liviel itu sendiri. Mereka langsung cemas ketika setengah pasukan dikerahkan ke utara, para pasukan Liviel mengetahui tujuan dari pengerahan pasukan itu tak lain untuk menguasai Kota Alysium.
"Kami tidak bisa menuntut apa-apa," ucap Evelyn, duduk dengan bersilang tangan di depan dadanya.
"Kalian serahkan Raja beserta keluarga kerajaan kepadaku, maka akan kujamin kebebasan seluruh pasukan dan rakyat di Ibukota," jelas Evan, mengajukan opsi.
"Menyerahkan Raja sama saja dengan menyerah," tungkas Ponrak, tak setuju.
"Itu lebih baik dibandingkan harus menghancurkan seluruh pasukan Liviel dan membiarkan rakyat di dalamnya membusuk kelaparan," jelas Evan, memperkuat opsi yang diberikan.
Pemimpin faksi Arkana Hijau –Albert– mengajukan opsi untuk membiarkan Raja dan keluarganya hidup dengan membagi wilayah kerajaan menjadi dua.
Ia pun secara gamblang mengajukan ide gila untuk mencegah Liviel hancur tak bersisa, yaitu menjadi kerajaan boneka Evan dan harus senantiasa patuh pada Evan. Sistemnya mirip dengan prinsip negara persemakmuran.
"Apa kau tidak waras? Liviel sekarang dan selamanya tidak akan pernah menjadi kerajaan boneka siapa pun!" bentak Ponrak, ia menjadi yang paling keras menentang ide Albert.
"Sebelum kita berlanjut terkait kerajaan, kita bicarakan tentang pasukan terlebih dahulu," ungkap Evan, detail.
"Apa maksudmu?" tanya Ponrak, ketus.
Evan mengambil biduk kuda putih miliknya dan meletakkannya di atas peta, tepanya di Pulau Cassariel. Total ada tujuh biduk kuda yang berada di atas peta tersebut.
Pemuda itu menunjukan peta Liviel kepada ketiga komandan pasukan, total jumlah pasukan yang dimiliki Evan kurang lebih 7000 pasukan, 5000 pasukan berada di daratan, sisanya berada di pulau.
"Seorang pemimpin pasukan harus berpikir realistis, tentu dengan mengedepankan tujuan idealis yang ia miliki. Melihat situasi saat ini, apakah realistis untuk mempertahankan Kerajaan Liviel dengan jumlah pasukan yang kumiliki?" tanya Evan, mencoba membuka pikiran mereka akan situasi yang mustahil untuk dihadapi oleh tiga ratus pasukan faksi yang tersisa.
"Setelah kau menguasai kerajaan, apa langkah selanjutnya yang akan kau lakukan?" tanya Evelyn, memastikan.
Evan mengambil spidol merah yang tersimpan di atas meja dan melingkari masing-masing kota dengan lingkaran besar, ketiga orang itu kebingungan dengan apa yang diperbuat oleh Evan.
"Aku akan menghilangkan sistem kasta dan menjadikan bangsawan memiliki derajat yang sama dengan rakyat biasa. Tak hanya itu, aku akan mengembangkan apa yang sudah kulakukan di Cassariel dan menerapkannya di sini."
"Apa pandanganmu terhadap Iblis dan Malaikat?" tanya Evelyn, ingin tahu.
Evan terdiam. Ia belum memiliki kenangan buruk apa pun tentan iblis, ia berpikir manusia bisa hidup berdampingan dengan iblis.
"Iblis adalah musuh yang nyata bagi kita, berbeda dengan malaikat. Kita tidak akan bernegosiasi dengan mereka, tidak juga memulai perang melawan mereka."