***
Malam itu, anggota kelompok pendukung pahlawan berkumpul. Satu persatu mereka membawa perwakilan orang berjumlah tiga orang yang berasal dari desa yang telah dikunjungi. Tak satu pun yang Evan kenali meskipun mayoritas yang datang adalah pria-pria berusia muda, kurang dari 40 tahun.
Masing-masing utusan berlutut di hadapan Evan seraya melaporkan tugasnya dengan gamblang, semuanya berhasil mendatangi 100 desa terpencil yang terdampak akibat perang berkepanjangan yang dilakukan oleh istana.
Terlihat para perwakilan desa ikut berjongkok tanpa tahu identitas Evan yang sebenarnya, mereka melakukan itu hanya karena utusan yang mendatangi melakukan demikian. Dengan berani, salah seorang perwakilan desa berdiri dan bertanya langsung kepada pemuda tersebut.
"Kami dibawa kemari karena utusan yang kau kirim mengatakan kalau seseorang akan membantu kami. Apakah itu adalah kau?" tanya pria tersebut, polos.
Evan terdiam sejenak, berbalas memandang tatapan yang serupa seperti yang dilakukan orang itu padanya sebelum ia mulai berbicara dan menjelaskan semuanya.
"Bagaimana keadaan di desamu?" tanya Evan.
"Desa kami baik-baik saja, kenapa kau sangat ingin tahu tentang itu?" tanya pria tersebut.
Evan tidak memungkiri kalau apa yang diucapkan pria tersebut adalah suatu kebohongan. Matanya terus menghindari kontak langsung dengan Evan, jari-jari tangannya menyibukkan diri sendiri di tengah perbincangan mereka.
"Apa desa kalian semua juga baik-baik saja?" tanya Evan, memastikan apakah ada seseorang yang berniat menyembunyikan fakta yang terjadi.
Hening, tak satu pun dari para perwakilan tersebut ingin berbicara. Mereka takut setelah menyaksikan dengan kedua mata mereka, Evan memiliki dua pedang legendaris milik pahlawan.
"Laurentia," panggil Evan, wanita itu segera menghadap, cepat.
"Iya. Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya wanita tersebut.
"Aku sudah menyiapkan dokumen analisisku di atas meja, bisa kau bawa kemari?" pinta Evan, Laurentia mengangguk dan pergi begitu saja meninggalkan Evan.
Mereka terdiam mematung, tetap memandang Evan dengan raut wajah kebingungan. Tempat yang asing, daerah tak dikenal membuat perasaan mereka yang datang perlahan berubah menjadi ketidaknyamanan.
Apa yang Evan tunggu akhirnya tiba. Laurentia datang seraya memberikan berkas yang tergulung tersebut kepada pimpinannya. Segera Evan buka kertas tersebut dan membacakan poin demi poin hasil analisis dari dampak perang yang dilakukan kerajaan terhadap masyarakat.
"... Kelaparan, kemiskinan, sumber daya alam yang habis. Itu semua dilakukan untuk membantu memenangkan perang," jelas Evan, mereka melongo tak pernah mengira kalau pemuda di hadapan mereka sampai sebegitu detailnya memerhatikan hidup warga di desa terpencil.
"Aku tahu. Kalian menyembunyikan sesuatu yang buruk agar terlihat baik-baik saja, itu bagus. Namun, bukan itu tujuan kalian datang kemari."
Evan menarik satu pedang miliknya dan menancapkan ujung bilahnya ke atas lantai hingga terbelah, mereka serentak terkejut dan terpukau, beberapa dari mereka terpana melihat lambang pahlawan yang dulu pernah diagung-agungkan bisa tersaksikan di hadapan mereka.
Pria yang masih berdiri kemudian berpendapat lain tentang analisis yang dilakukan Evan, "Kami rela melakukan itu karena bentuk nasionalisme dan kesetiaan kami terhadap kerajaan."
Sorot mata Evan segera teralihkan ke ucapan pria tersebut, ia tak habis pikir masih ada orang yang berpikir idealis di tengah kecambuk perang yang tak menentu. Evan hanya tersenyum dibuatnya, ia pun mengajukan pertanyaan yang sederhana untuk membungkam pria tersebut.
"Apa Anak dan istrimu kau beri ucapan seperti itu? Apa istana pernah berpikir kalau usaha yang kau lakukan adalah suatu bentuk nasionalisme dan kesetiaan kepada mereka?" tanya Evan, ia sungguh terdiam, pria itu tak memikirkan lebih jauh dari segala tindak yang ia lakukan selama ini.
"Dengar. Sikap realistis sangat kalian butuhkan saat ini, kalian butuh makan, butuh pakaian, butuh uang. Berhentilah bersikap pahlawan bagi kerajaan jika mereka tidak menganggap kalian demikian," sambung Evan.
Perkataan pemuda itu tampak masuk ke hati para pendengarnya, mulai dari perwakilan desa hingga utusan kelompok. Ia mengatakan yang sebenarnya dan berencana untuk merubah pola pikir yang selama ini ditanamkan kerajaan kepada mereka.
"Lalu solusi apa yang ingin kau berikan kepada kami? Memberi kami uang?" tanya pria tadi.
Evan menggeleng seraya memandang pria tadi, rasanya seperti ia tengah berdiskusi dengan rekan sebaya jika seperti ini.
"Kita akan mengkudeta posisi Raja saat ini."
Mendengar usaha makar yang hendak dilakukan Evan membuat mereka semua terpelongo kaget, tak satu pun suara menyambut rencana gila dari Evan, cukup gila hingga membuat beberapa orang tertawa kecil mendengarnya.
"Haha! Bocah ini sudah tak waras."
"Sungguh buang-buang waktuku untuk datang kemari mendengar celotehan bocah sepertinya."
Beberapa pria berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut, mencaci Evan dengan sebutan yang tak pantas dilontarkan. Mereka merasa pesimistis dengan rencana yang pemuda itu katakan, pasalnya kekuatan kerajaan jauh lebih kuat dan besar dibandingkan pemberontak sepertinya.
"Hampir setengah dari mereka pergi, apa yang akan kau lakukan?" tanya Laurentia.
Evan mengangguk tanpa menjawab, saat ini mungkin saat yang tepat untuk menunjukan kekuatan yang dimiliki Evan kepada mereka. Tak hanya kepada warga desa, tetapi utusan dan anggota kelompok yang masih tak mau percaya pada Evan.
Segera pemuda itu berlari melewati orang-orang yang pergi keluar dan memblokade jalan mereka. Evan bertanya kepada salah satu warga yang menolak dan pria tua itu hanya menjawab tidak mungkin.
"Dengan kekuatan ini. Kita bisa mati sebelum mencapai ibukota."
"Jadi, kalian semua meragukan kekuatan kita? Bagaimana jika kutunjukan sesuatu kepada kalian?" tawar Evan, beberapa warga desa sepakat untuk memperbolehkan Evan menunjukan kekuatannya.
Pemuda itu senang, ia segera membawa seluruh perwakilan desa, utusan, hingga anggota kelompok ke bibir pantai. Mereka menyaksikan sendiri Evan terlihat tengah duduk dengan membelakangi tubuh mereka.
Evan menarik napas panjang seraya memejamkan kedua matanya, "Ars Nexus: Elementum Set!"
Segera dari segala penjuru arah mata angin, elemen-elemen sihir berkumpul mengelilingi Evan. Hembusan angin mulai menaikan tubuh Evan ke langit, menampakkan seolah-olah dirinya bisa melayang terbang di udara.
Api, angin, tanah, air. Empat elemen utama bumi ditambah satu elemen khusus pecahan elemen angin dan satu elemen khusus pecahan elemen api, suara, dan cahaya. Total ada enam elemen yang dikuasai oleh Evan, terlalu banyak untuk ukuran manusia biasa.
Kedua mata Evan bercahaya terang, menunjukan sihir cahaya yang berkumpul dan menunjukan kuasanya di hadapan mereka semua.
"Apa pembuktian ini cukup bagi kalian?" tanya Evan, suara yang timbul begitu bergema hingga terasa getaran di bawah kaki-kaki mereka.
Laurentia mengangguk pelan, ia berjalan paling depan untuk meyakinkan Evan kalau usahanya sudah cukup untuk menyadarkan mereka bahwa ia memang reinkarnasi pahlawan. Usaha tersebut berhasil, mereka segera berlutut dan tunduk patuh terhadap Evan.
Hati pemuda itu merasa lega, setidaknya ia tidak perlu menggunakan cara kekerasan untuk membuat mereka takut dan beralih mendukungnya. Dengan menunjukan kekuatan yang ia miliki, mereka bisa berpikir panjang jika sewaktu-waktu hendak melakukan pengkhianatan terhadap Evan.
Evan turun dari udara dan terjatuh dengan bertumpu pada kedua tangannya. Pertunjukan tadi membutuhkan sihir yang tak sedikit, itulah yang menyebabkan tubuh Evan cukup lemas bahkan untuk berdiri sekali pun.
"Kami tunduk dan sumpah setia kepadamu, Tuan Evan."
Serentak mereka melakukan hal yang sama, tak ada satu orang pun yang berniat membangkang dan pergi setelah melihat sesuatu yang menakjubkan tadi. Evan berterima kasih karena sudah memercayainya, ia memegang erat harapan mereka akan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan yang selama ini direnggut oleh istana.
"Pergilah dan sebarkan isu kalau kelompok kuda putih sudah tiba."
"Kuda putih?" tanya Laurentia, kaget.
"Iya, kau pasti tidak asing dengan nama itu, kan? Aku akan menggunakannya seperti halnya pahlawan terdahulu menggunakan itu untuk menggerakan hati rakyat," jelas Evan
Laurentia mengangguk dan segera memerintahkan lebih banyak anggotanya menyebar ke setiap desa, mereka tidak pernah melihat Laurentia sesemangat ini sebelumnya. Anggota pasukan mulai berdiri dan pergi meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke desa-desa terjauh di kerajaan.
Wanita itu masih berada di samping Evan, menemani pemuda tersebut untuk melindunginya jika sewaktu-waktu tubuhnya yang lemas membuat nyawanya terancam.
"Aku berencana mengunjungi Bangsawan Endeavour. Aku ingin memastikan apakah mereka bisa berpihak kepada kita atau tidak, karena menurutku, penerus satu-satunya mereka dipaksa kerajaan untuk mengabdi di medan perang," ucap Evan.
"Bukan tidak mungkin mereka memiliki dendam atau kekesalan kepada kerajaan, bukan?" tanya Evan, menyambung ucapannya barusan.
Laurentia mengangguk, ia kenal beberapa bangsawan dan Keluarga Endeavour adalah salah satu bangsawan yang terkenal akan rasionalitasnya dan beberapa omongan mengatakan kalau mereka memiliki hubungan buruk dengan Raja saat ini.
"Aku akan mempersiapkan keberangkatanmu."