***
Seluruh mata kini tertuju kepada Evan, semuanya begitu penasaran dengan identitas pemuda tersebut setelah dua orang berbaju hitam datang dan memojokkan posisi Evan.
Terutama Bella, hatinya gusar melihat reaksi dari teman-temannya. Dengan tatapan seriusnya, ia seperti mencoba untuk membujuk Evan untuk berkata yang sebenarnya.
"Aku tanya lagi kepada dirimu dan kalian semua. Jika kuberitahu identitasku, apakah kalian akan tetap menerimaku?" tanya Evan, tegas.
Murid-muridnya sama sekali tidak menjawab, mereka tidak membutuhkan pertanyaan untuk meyakinkan diri, melainkan jawaban akan keraguan yang muncul tentang diri Evan.
Evan terdiam, ia merasa kesal dan marah kepada kelima orang tersebut karena telah mengatakan sesuatu tentang kekuatannya kepada mereka. Umur mereka masih remaja dan belum cukup mampu menerima kenyataan kalau guru mereka sendiri adalah penjahat buronan yang sangat dicari di seluruh kerajaan manusia.
"Baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada kalian semua," ungkap Evan.
"Akulah Evan, si Manusia Utusan Jophiel."
"Kan? Apa yang sudah kukatakan. Dia memang penjahat itu!" ketus Julius.
Dengan cepat, Julius dan Mira langsung berlari kencang melindungi Bella yang terlihat masih syok setelah mendengar pernyataan dari Evan. Ia tidak pernah menyangka kalau dirinya selama ini berguru kepada seorang kriminal buronan kerajaan.
"Hiro! Bantulah aku untuk melindungi Bella dari pria berbahaya itu?" bentak Julius, Hiro masih bergeming duduk di tempatnya berada.
"Entahlah. Aku pikir dia tidak sejahat itu," ungkap Hiro, mendengar temannya terus memuji Evan membuat hati dan pikiran Julius berang.
"Ignis Vulnus!" Julius tak segan menyerang Hiro dengan menggunakan kemampuan sihirnya. Untung bagi Hiro, dia bisa menghindari serangan tersebut dan membalas Julius dengan kemampuan elemen air miliknya.
"Aqua Dis!"
Sihir air yang muncul dari tangan Hiro seketika mendorong tubuh Julius hingga terpental di samping Evan dan membentur dinding goa. Evan hendak membantunya berdiri, tetapi ia menolak dengan kasar seolah jijik.
"Aku juga berpikiran sama dengan Hiro. Guru tidak mungkin sejahat itu," balas Bella, ia tersenyum tipis meski terukir kekecewaan besar dari wajahnya.
"Kau juga! Dia menipu kita, apa itu tidak disebut jahat?" tanya Julius, kesal.
Bella melirik tajam dan memandang Julius dengan kuat, "Dia melindungi identitasnya karena ingin melatih kita. Apa itu salah?"
"Tentu saja! Apa pun yang dimulai dengan suatu kebohongan, pasti berakhir tidak baik. Apa kau melupakan ucapan dari suster di panti, Bella?!" geram Julius, ia mencoba melindungi teman-temannya dari pengaruh Evan karena dialah yang paling tua di antara ketiga teman lainnya.
"Aku masih mengingatnya, tapi itu berbeda dengan—"
"Hentikan, Bella. Kau tidak perlu melanjutkan perdebatanmu lagi," sela Evan seraya mengangkat telapak tangannya sejajar dengan bahu
Evan memandang keempat muridnya dengan seksama. Ia sadar, ia sudah membohongi mereka semua dan itu adalah salahnya. Petualangan ini, ia putuskan untuk melanjutkannya sendiri dan tidak akan mengajak mereka.
Kesedihan mengumpul di hati Evan, pelatihan bersama mereka jauh lebih mengasyikan dibandingkan berpetualang sendiri dengan lawan yang mudah. Memutuskan dan menjaga satu sama lain, mereka sudah beranjak lebih dewasa dari sebelumnya. Entah kenapa Evan merasa bangga sekaligus sedih harus berpisah dengan murid-muridnya.
"Kalian bisa meninggalkanku mulai sekarang. Kemampuan kalian sudah jauh melebihi ekspektasiku. Aku yakin, kalian bisa menjadi petualang yang hebat."
Evan meraih kembali pedang miliknya, berjalan menjauh seraya berpamitan. Ketika ia hendak masuk ke sebuah terowongan menuju lantai tiga belas, langkahnya terhenti ketika kakinya terjerat batang kayu yang cukup erat.
Ia berbalik, terlihat Bella yang mengangkat tangannya seraya merapalkan mantra khusus miliknya. Seketika tidak hanya Evan, tetapi teman-temannya juga ikut terjerat batang kayu tersebut. Julius marah-marah dan membentak Bella, mengatakan kalau dirinya tidak tahu diri.
"Aku akan pergi bersamamu," pinta Bella, Evan tersenyum tipis mendengarnya.
"Jangan. Perjalananku berbahaya, aku tidak ingin kau memiliki catatan buruk ketika bersamaku," balas Evan, ramah.
"Aku tidak peduli."
Baru kali ini Julius, Mira, dan Hiro melihat keteguhan hati dari Bella. Perempuan yang ia kenal selama ini sudah berubah jauh berbeda seperti yang sebelumnya mereka pikirkan. Hiro merasa tergugah dan memutuskan untuk ikut bersama Evan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke lantai dasar.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Mira, khawatir.
"Jangan bertindak bodoh, Bella! Kemarilah," pinta Julius, tegas.
Bella menggeleng seraya berbalik badan, keputusan hatinya sudah bulat untuk mendukung Evan penuh, tak peduli apakah dia seorang penjahat atau bukan.
"Kau bukan kakakku, jadi aku tidak perlu mendengarkanmu lagi."
Bella mencabut sihir miliknya dan bergegas pergi bersama Evan dan Hiro. Evan tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan ajakan mereka, lagi pula menolak keteguhan hati seseorang bukanlah hal yang mudah.
***
Melewati dua lantai cukup sulit bagi Evan, tetapi berkat keberadaan Bella dan Hiro, ia bisa menyelesaikannya dengan mudah. Kini, mereka bertiga berdiri di depan pintu Artefak Pahlawan yang masih tertutup, tidak ada orang yang bisa membuka pintu ini sehingga jalur peta berakhir tepat di gerbang tersebut.
"Tidak ada petunjuk apa pun tentang pintu ini. Bagaimana cara kita membukanya?" tanya Bella.
"Entahlah." Evan memeriksa dengan seksama bentuk pintu tersebut, mencoba mencari tempat sesuatu untuk membuka pintu tersebut. Ia menemukan tulisan kecil yang tertutupi lumut, bertuliskan 'Cahaya suci akan menuntunmu pada kebenaran'.
Awalnya Evan tidak mengerti dengan maksud tersebut, tetapi setelah ditelaah secara cermat, ia menduga kalau elemen cahaya bisa digunakan untuk membuka pintu tersebut.
Pemuda itu meminta Bella dan Hiro untuk mundur, segera ia mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Paradise Lux!"
Cahaya terang mulai muncul dari ujung bilah pedang Evan, membuat Bella dan Hiro memejamkan matanya saking silau. Evan memerhatikan, pintu itu terlihat bereaksi atas cahaya tersebut. Susunan besi mulai bergerak ke kanan dan kiri, seolah membuka cengkeraman pada pintu tersebut.
Derit pintu besar itu terdengar nyaring dan jelas, terlihat pintu mulai terbuka dengan tergeser ke kanan dan kiri. Ketika Evan pertama menginjakkan kakinya di lantai ruangan, seketika api muncul dan membakar obor yang tersusun rapi perbaris, seolah menuntun Evan untuk kembali bergerak.
"Bersembunyilah di belakangku," pinta Evan, Bella dan Hiro mengangguk.
Suasana cukup hening, saking sunyinya suara kayu yang terbakar terdengar jelas di telinga mereka. Di akhir jalan tersebut, terdapat sebuah altar tanpa adanya sesuatu di atasnya. Hal itu semakin membuatnya kebingungan.
"Ini tempat apa sebenarnya?" tanya Bella, cemas.
Hiro terus menjulurkan tangannya, memegang pedang melindungi Bella dan sisi belakang Evan, "Aku pun tak tahu."
Terukir tulisan kuno di atas altar tersebut, Evan tak mampu membacanya dan memerintahkan Bella untuk membantunya mengetahui arti tulisan tersebut.
"Ini bahasa kuno, kupikir sudah punah berabad-abad yang lalu," ucap Bella.
Bella tidak mampu menafsirkan kalimat tersebut saking kunonya bahasa yang digunakan. Hal itu membuat mereka bertiga tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan.
Di depan altar tersebut, berdiri tujuh patung yang berbeda-beda, kesamaan mereka hanya satu, yaitu memiliki sayap yang indah. Evan menduga kalau mereka adalah Tujuh Malaikat Agung, lalu apakah altar itu adalah tempat untuk meletakkan pengorbanan kepada mereka.
"Aku pikir ini bukanlah ruang Artefak Pahlawan."
Pintu tiba-tiba tertutup dengan keras, hingga menimbulkan suara nyaring yang membisingkan. Angin juga tiba-tiba muncul memadamkan seluruh obor di tempat tersebut.
Bella dan Hiro berpegangan pada tangan dan tubuh Evan, mereka pasti ketakutan ketika dihadapkan pada situasi yang membahayakan seperti ini.
"Paradise Lux!"
Cahaya terang mulai bersinar, terlihat sesuatu yang mengejutkan berada di depan Evan. Pasukan tengkorak dengan senjata berpedang bersiap menyerang Evan dan kedua murid di sampingnya.
Jumlah pasukan tengkorak itu jauh lebih banyak dari yang bisa dihitung Evan. Ia menduga kalau jumlah mereka lebih dari lima ratus orang dan Evan akan kesulitan melawan mereka.
"Gawat! Aku tidak bisa bertarung dengan keadaan gelap seperti ini."
Mereka mundur dengan teratur dan langkah pelan, mencoba tidak melakukan sesuatu yang mengejutkan yang bisa saja menggerakkan mereka untuk berlari menyerang.
"Jophiel," ucap Evan, lirih.
"Jika kau mendengarku, aku hanya ingin meminta pertolongan padamu. Aku tidak bisa mengatasinya sendiri," sambung Evan.
Apa yang Evan katakan tampaknya sia-sia, tidak muncul siapa pun di tempat itu setelah lima menit menunggu. Ia tak punya pilihan selain melawan mereka dan melindungi Hiro serta Bella.
"Amplifi Elementum!"
Pedang Evan kembali bersinar, ia bersiap melawan setiap tengkorak yang datang untuk membunuhnya. Mereka semua segera berlari, derap langkah khas merek terdengar menakutkan bagi Hiro dan Bella.
Ketika Evan dihadapkan atas keputusasaan, muncul sinar terang dari tengah ruangan, sinar berbentuk lingkaran yang sontak menyemburkan api panas membakar setiap prajurit tengkorak yang ada di tempat tersebut.
"Terra Pila: Pitra Elementum!"
Seketika tubuh Evan, Hiro, dan Bella terperangkap di dalam bola tanah yang sudah dilapisi dengan batu kuat. Evan menahan serangan api itu selama mungkin untuk melindungi mereka dari luka bakar yang hebat.
Setelah dirasa mereda, ia segera mencabut sihir tersebut dan tampak seisi ruangan hangus dan berubah menghitam akibat terbakar. Muncul di tengah-tengah ruangan seorang wanita mengenakkan gaun putih dan bersayap putih lebar, tampak anggun dengan menggenggam setangkai mawar di tangannya. Itulah Jophiel, ia mendengar doa Evan.
Bella dan Hiro terpukau dan kagum dengan kekuatan wanita itu, tetapi mereka masih belum tahu siapa wanita tersebut.
"Guru ... Siapa dia?"
"Dialah salah satu dari Tujuh Malaikat Agung dan juga malaikatku, Jophiel."