"D-Dewa?" tanya Julius.
"Aku adalah penguasa seluruh bumi dan langit, bertanggung jawab atas kehidupan dan kematian, akulah pengadil yang seadil-adilnya."
Ucapannya terdengar meyakinkan, tangannya terbentang seolah dia tengah memberikan wahyu kepada para remaja polos tersebut. Jika didasarkan atas alasan tersebut, mereka bertiga bisa saja percaya kepada Evan berkat kekuatan yang dimilikinya.
Evan terus berceloteh ria, mengatakan sesuatu bohong tentang kekuasaan dan kemampuannya. Bella, Julius, dan Hiro terus memandang guru mereka dengan serius, tidak sedetik pun mereka berpikir kalau Evan sedang bercanda.
"Tunduklah pada keagunganku dan sembahlah namaku sepanjang hari. Maka kalian akan—"
Mata Evan terbuka lebar dan langsung tertunduk cepat, menghindar dari ancaman yang ia rasakan berasal dari busur milik Mira.
Perempuan itu menatap Evan dengan ekspresi kesal, sudut matanya menajam mengintimidasi Evan tentang ucapannya barusan. Ia tidak menyukainya, mengaku sebagai dewa dan merasa lebih agung dari manusia lainnya.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Bella, marah.
"Aku hanya mencoba menyingkirkan pendusta itu! Tidak boleh ada seorang pun yang mengaku-ngaku dirinya seorang dewa," ketus Mira, geram.
"Tapi dia benar-benar dewa. Apa kau tidak pernah terpikirkan hal demikian?" tanya Julius.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Mira dan merampas busur serta panah yang dimiliki oleh wanita tersebut. Kekesalannya semakin menjadi-jadi setelah dua temannya terhasut oleh omongan palsu Evan.
"Kau sebaiknya jelaskan kepada mereka sebelum terlambat!" erang Mira, tak segan membentak gurunya secara langsung.
"Hehe!"
"Apa yang dia katakan itu benar, aku bukanlah dewa. Aku hanya manusia biasa seperti kalian," timpal Evan.
Mereka melongo kaget, tak percaya kalau mereka sudah dijadikan objek lelucon Evan. Bella yang sangat kesal, karena selain dia menyukai Evan, perempuan itulah yang paling penasaran dengan identitas darinya.
"Ars Nexus: Mors Folium!"
Tiba-tiba dari bawah tubuh Bella, muncul duri-duri tajam berukuran kecil yang melesat kencang menyasar tubuh Evan. Pemuda itu menghindar sebisa mungkin. Namun, tetap saja duri-duri berukuran kecil itu terkena tubuh Evan.
"Akh ... kau terlalu kejam padaku."
"Kau pun begitu. Aku sudah mendengar ceritamu dengan serius tetapi kau malah bergurau!" kecam Bella, ekspresi marah yang tidak pernah dilihat Evan sebelumnya.
"Sudahlah, Bella. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya," ucap Hiro, menenangkan Bella, tetapi ia tak bisa.
"Apa duri itu beracun?" tanya Julius, khawatir.
Bella mengangguk, sontak hal itu membuat Evan kaget. Ia tidak pernah mengetahui kalau Bella mempunyai kemampuan demikian.
Duri yang menancap di tubuh Evan cukup banyak sehingga pemuda itu tidak kuat menahan racun yang mengalir di tubuhnya. Alhasil, ia terjatuh lemas dan tak sadarkan diri.
Racun di duri itu ternyata obat bius yang mampu melumpuhkan kesadaran orang dalam dua jam. Julius, Hiro, dan Mira menarik napas lega, setidaknya itu bukan sesuatu yang berbahaya bagi Evan.
***
Evan terbangun, tubuhnya terasa begitu pegal dan linu. Racun dari duri-duri itu tampaknya masih bersarang di tubuh Evan, meskipun tidak begitu banyak seperti di awal.
Ia melihat lantai sepuluh terasa begitu sepi, tidak ada keberadaan keempat muridnya. Evan mulai khawatir jika terjadi apa-apa dengan mereka.
Dengan kedua kakinya, Evan segera bangkit dan pergi ke segala penjuru tempat untuk mencari keberadaan mereka. Namun, ia tidak menemukan keberadaan mereka bahkan tidak merasakan sihir mereka.
Sigap, Evan langsung membentangkan kedua tangannya lebar, mencoba cara lain untuk menemukan mereka dengan kemampuan deteksi miliknya.
"Trace Anima!"
Gelombang suara mulai menjalar dan menyelusup masuk ke setiap ruangan yang ada di goa tersebut. Pencarian yang dilakukan begitu luas hingga masuk ke lantai ketiga dari atas, untungnya ia berdiri di lokasi kaya sihir, sehingga ia tidak ketakutan jika sewaktu-waktu energinya habis.
Tak terduga, keempatnya disekap di sebuah ruangan yang berada di lantai dua belas. Terlihat segerombol monster berukuran sedang tengah menahan mereka, mereka terlihat lebih mirip seperti manusia dibandingkan monster.
"Mereka pasti diculik ketika aku sedang tak sadarkan diri," gumam Evan.
Tas miliknya pun ikut raib dibawa mereka, mungkin keempat remaja itu lebih menarik dibandingkan Evan sehingga par monster itu tidak menangkap Evan juga.
Tanpa buang waktu, pemuda itu segera berlari sekencang angin melewati terowongan yang menghubungkan antar ruangan. Ia terkendala di lantai sebelas, seekor wyvern muncul dan terbang seraya menyemburkan napas api ke arah Evan.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghalangiku."
"Acri Vento!"
Evan menjulurkan tangannya, mendorong sekuat tenaga seolah-olah dia sedang mendorong sesuatu. Alhasil, muncul angin kencang dan kuat yang membuat tubuh Wyvern tersebut goyah dan terluka di berbagai sisi.
Monster itu terjatuh, bergerak dan mencoba berdiri meski sayap-sayapnya cukup terluka. Melihat kesempatan tersebut, Evan tidak ingin menyia-nyiakannya. Ia mencabut pedangnya dan melemparkan ujung bilahnya hingga terkena tubuh Wyvern tersebut.
"Ignis Urit!"
Dari pedang Evan, muncul bara api yang mulai menyebar masuk ke tubuh monster tersebut hingga membuatnya meraung kesakitan, berjingkrak menderita hingga dadanya menghitam karena luka bakar tersebut.
Pedang Evan terlepas dari tubuh monster tersebut, tetapi api yang berkobar tidaklah padam, justru merambat cepat seperti halnya bensin yang terkena percikan api.
Pemuda itu menunggu hingga Wyvern tersebut jatuh tak berdaya dengan keadaan kulit bagian dadanya menghitam dan organ dalamnya terbakar habis menjadi abu.
"Aku harus bergegas!" tegas Evan, mengambil kembali pedang miliknya dan berlari memutari monster tersebut.
Ia turun melalui tangga yang terhubung dengan ruangan dua belas. Ia yakin, keempat muridnya sudah sampai di ruangan tersebut.
Ketika sampai, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga, sesuatu yang benar-benar janggal terjadi di dalam goa tersebut.
"T-Tunggu dulu, kalian tidak diculik?" tanya Evan, bingung.
"Guru," sapa Bella, senang hati.
Keempatnya tengah terduduk di atas sofa panjang yang terbuat dari tanah, sedangkan di depan mereka ada lima orang berpakaian serba hitam yang sungguh mencurigakan. Evan bersiaga dengan tetap mengacungkan pedangnya ke hadapan orang-orang tersebut.
"Bella! Jangan mendekatinya," teriak Julius.
Bella berhenti melangkah, ia langsung berbalik badan dan memandang Julius dengan tajam, "Bagaimana pun juga, dia tetaplah guru kita!"
"Tidak, Bella! Kau tidak mengerti, dia itu orang jahat," jelas Mira, tegas.
"Orang jahat?" tanya Evan, bingung.
Hanya Hiro yang tidak ikut menjawab, dia berpikir kalau Evan melakukannya demi keselamatannya sehingga ia tidak punya hak untuk mencaci perbuatan Evan.
"Apa sebenarnya yang sedang kalian bicarakan ini?" tanya Evan, penasaran.
"Kau! Teganya kau berbohong kepada kami, Tuan!" bentak Mira, kecewa.
"Apa itu? Apa ada sesuatu yang kusembunyikan dari kalian?" tanya Evan, memastikan.
Salah satu orang berpakaian serba hitam berjalan menghampiri Evan, terlihat aura di belakangnya terus melayang layaknya asap. Evan menatap kedua mata pria itu dengan seksama dan memerhatikan sesuatu yang mengerikan, kedua mata mereka terlihat bolong penuh dengan kegelapan.
"Siapa kalian? Apa yang kalian beritahukan kepada mereka?" tanya Evan, tegas.
"Kami adalah penjaga tempat ini. Kami hanya memberitahu sesuatu sesuai dengan kebenaran dan kebajikan."
Datang seorang lagi, berpakaian sama seperti temannya hanya saja dia berpostur tubuh lebih pendek darinya. Ia menjelaskan kalau dia memiliki kemampuan pendeteksi sihir dan memberitahu keempat remaja tersebut kalau Evan memiliki sihir yang serupa dengan malaikat.
Mereka pun mulai teringat kembali dengan edaran dari kerajaan tentang Evan yang sempat menjadi buronan. Mereka baru teringat ketika mendengar kalau kekuatan Evan mirip seperti kekuatan malaikat.
"Apa? Bagaimana kau bisa...?" tanya Evan, terkejut.
Bella melongo mendengarnya, ia segera berbalik badan dan memandang Evan dengan penuh keseriusan, "Apakah yang dikatakan olehnya itu benar?"