***
"Petualangan pertama kita adalah mencari artefak pahlawan. Ah, membayangkannya saja sudah terkagum-kagum."
Mira berceloteh ria memuji dirinya dan teman-teman petualangnya, pasalnya tidak pernah ada petualang yang memulai misi pertama mereka dengan kesulitan tingkat A. Mira dan yang lain sudah mempersiapkan senjata dan keahlian mereka untuk membantu Evan turun hingga ke dasar goa.
Kelompok beserta Evan sudah masuk ke dalam goa pahlawan, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Aletha. Sesuai dengan dugaan, Evan dihadapkan pada labirin denga tujuh terowongan yang terus berputar acak selama tiga puluh menit sekali.
"Di sini tertulis kalau tempat ini akan berputar setelah tiga puluh menit," ungkap Bella, menjadi pemandu jalan bagi Evan dan kelompoknya.
"Kita tidak tahu sudah berjalan berapa menit di tempat ini," balas Hiro.
Mereka semua mengangguk, kecuali Evan. Bagi Hiro, memilih terowongan yang salah justru akan membawa mereka ke bagian goa yang berbahaya. Mereka harus memutar otak berpikir bagaimana mengatasi solusi dari masalah yang muncul.
"Apa kita berpencar? Satu orang mengambil satu terowongan."
"Itu mustahil," jelas Evan, pria itu masih mendengarkan percakapan keempat remaja tersebut dengan seksama.
Ia berbalik badan dan menatap keempat remaja lugu yang terlihat ketakutan di misi pertama mereka. Evan terulas senyum sembari mengusap satu persatu kepala mereka dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan di hati mereka semua.
"Benar apa yang dikatakan Hiro, kita tidak tahu sudah berapa menit berjalan di sini. Bagaimana jika kalian berpencar dan tersesat ketika ketujuh terowongan itu berganti?" tanya Evan.
Julius mengangguk, apa yang dikatakan Evan ada benarnya juga. Ia menarik pendapatnya dan memberikan keleluasaan kepada gurunya untuk memutuskan. Evan mengangguk, ia pasti akan membawa keempat itu masuk ke terowongan paling aman.
Penuturan wanita resepsionis di kantor petualang tidak menjelaskan secara menyeluruh. Ia mengatakan ada ratusan terowongan yang tersambung dengan gerbang tujuh ini, sehingga besar kemungkinan kalau Evan akan berputar-putar di dalam goa tanpa jalan keluar terdekat.
Sistem labirin canggih ini tidak mungkin dibuat oleh manusia zaman ini, pasti pahlawan terdahulu yang menyusun dan membentuknya hingga sulit untuk ditaklukan oleh petualang atau prajurit kerajaan.
Apa yang ditakutkan benar terjadi, tempat itu kembali berputar dengan perlahan, mengganti terowongan satu dengan terowongan lainnya dan menutup terowongan yang terbuka agar tak bisa dilalui. Keempat remaja itu ketakutan dan saling melindungi satu sama lain, terutama Bella yang tidak memiliki kemampuan menyerang non sihir yang baik.
Evan berlutut dengan berpegangan pada lantai goa. Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya getaran itu berakhir dan para remaja petualang itu bisa bernapas lega.
"Tempat ini benar-benar berputar."
"Untung saja kita tidak berpencar, jika pun iya, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari sini," ucap Mira, menghela napas lega.
Bella dan Hiro berjalan mendekati Evan dan menanyakan kemana rute yang akan mereka ambil. Evan tersenyum dan meminta mereka semua untuk tidak berisik selagi ia menggunakan sihir deteksinya.
"Trace Anima!"
Getaran suara mulai menyebar di antara ketujuh terowongan, Evan memperbesar penggunaan energi sihirnya karena dia ingin menjelajah tempat yang aman menurutnya. Tentu menyeleksi masing-masing terowongan membutuhkan waktu lama dan sihir yang tidak sedikit.
Dari ketujuh terowongan, ia mendapatkan dua terowongan yang dihuni oleh goblin berjumlah sepuluh, sedangkan lima terowongan sisanya dihuni oleh makhluk besar seperti wyvern, centaur, hingga minotaur.
Evan membuka kedua matanya dan tubuhnya segera terjatuh berlutut, napasnya terdengar memburu seperti seseorang yang letih akibat lari maraton. Bella dengan sigap memberikan sihir penyembuhan kepadanya, melihat inisiatif itu membuat Evan senang.
"Kita akan lewat sana," tegas Evan, menunjun terowongan paling kiri di antara tujuh terowongan.
"Bersiaplah. Kalian akan menghadapi sepuluh goblin di sana. Gunakan teknik dan kemampuan terbaik kalian," sambung Evan.
Evan bangkit dan berjalan seraya disembuhkan oleh Bella, ia berada di paling belakang menjaga agar mereka tidak tertinggal. Julis memimpin di depan dengan percaya diri, memegang pedang miliknya yang tertenteng di pundaknya.
Apa yang dikatakan Evan itu benar, mereka melihat sekitar delapan sampai sembilan goblin yang tengah terduduk seraya memakan daging buruan mereka. Evan mengeluarkan pedang miliknya dan mengangkat tinggi-tinggi.
"Paradise lux!"
Sihir cahaya mulai menyelimuti bilah pedang Evan hingga membuat para goblin itu buta karena silau. Julius, Hiro, hingga Mira langsung membunuh satu persatu goblin tersebut tanpa tersisa. Bella masih berada di belakang Evan, menyaksikan pertempuran pertama teman-temannya seraya mempersiapkan sihir penyembuhan.
Julius terlihat yang lebih bersenang-senang, ia membunuh setengah dari jumlah goblin di tempat tersebut. Hiro beberapa kali memperingatkan Julius agar tidak terbawa emosi, tetapi Julius tetap melakukannya, bahkan ketika Hiro dan Mira sudah mundur sekali pun.
Dari pintu terowongan lainnya, datang dengan jumlah yang jauh lebih banyak mengejutkan Julius hingga membuatnya berlari tunggang langgang ketakutan. Jumlahnya hampir dua kali lipat lebih banyak dari awal.
"Bella! Perlambat langkah mereka," pinta Evan, Bella mengangguk.
"Ars Nexus: Arbor Manibus!"
Cahaya berwarna hijau langsung menyinari tubuh Bella, seketika dari bawah kakinya menjalar batang-batang pohon berukuran sedang mulai mengikat satu persatu kaki goblin hingga mereka tak sanggup untuk bergerak.
Selagi Bella menahan gerak goblin, Hiro dan Julius langsung menyerang mereka dan melumpuhkannya dengan cepat, Mira membantu dengan menyasar kepala goblin yang jauh dijangkau Hiro dan Julius dengan panahnya.
Enam belas goblin tewas dengan luka gorok di leher dan tusukan panah yang dalam di kepala mereka. Keempat remaja itu langsung melompat kegirangan, tak mampu menahan rasa senangnya karena berhasil melawan goblin yang jumlahnya jauh lebih banyak dari misi tingkat C.
"Aku membunuh lebih banyak darimu!" ledek Julius, Hiro tak terima.
"Kau tidak membunuhnya! Goblin-goblin itu masih hidup sehingga aku yang harus membereskannya," jelas Hiro.
"Sudahlah! Untuk apa kalian bertengkar untuk sesuatu yang sepele?!" bentak Mira, melerai pertikaian kedua teman tersebut.
Evan datang menghampiri dan memuji kerja tim mereka, ia juga menyoroti sikap egois dan ambisius yang ditunjukan Julius. Anak laki-laki itu mengangguk dan mengakui kesalahannya, ia terbawa suasana karena kesenangan yang ia dapatkan.
Mereka segera melanjutkan perjalanan, menuruni goa hingga ke lantai dua. Sejauh ini tidak ada pertempuran yang sulit bagi ketiganya, goblin, capung, hingga kecoak raksasa bukan masalah bagi mereka, meskipun di tantangan terakhir Mira pingsan saking ketakutannya.
Sampailah mereka di lantai lima, posisi mereka sudah cukup jauh dari tempat awal. Jika menilik dari peta yang diberikan, ada sekitar sepuluh lantai lagi untuk sampai di titik terdalam, yaitu Pintu Artefak Pahlawan.
"Aw!"
"Aku sedang mengobatimu! Jadi, jangan banyak mengeluh," pinta Bella, kasar.
Ia mengikat luka di tangan kanan Julius dengan perban putih, ia terluka karena tusukan dari capung raksasa akibat ia tak memerhatikan sekeliling dan hanya fokus pada musuhnya.
Hiro menghampiri dan memberikan Evan sepotong sandwich buatan Bella. Evan tersenyum dan menerima sandwich itu dengan senang hati. Keduanya mengobrol hangat dan kebanyakan obrolan mereka seputar kekaguman Hiro setelah melihat kemampuan Evan.
"Aku tidak tahu ada orang yang mampu menggunakan tiga elemen sihir," puji Hiro, Evan tertawa kecil.
"Sebenarnya aku bisa semua."
"Benarkah? Dari mana kau mempelajarinya?" kaget Hiro dengan kedua mata membulat tajam.
"Dari guruku, yang mungkin tidak pernah kau duga sebelumnya."
"Ah, menyenangkan sekali yah. Kau bisa menjadi Ksatria Agung atau bahkan melampauinya," ungkap Hiro.
Wajah Hiro termenung, menunduk lesu setelah mendengar kemampuan dari Evan. Ia merasa minder dengan kekuatannya, pasalnya impiannya adalah menjadi seorang pahlawan. Jika ia boleh jujur, Evan adalah sosok yang paling pantas menjadi pahlawan baru di negeri ini.
"Aku sama sekali tidak tertarik," jelas Evan.
"Lalu kenapa kau—"
Bella tiba-tiba datang dan menginterupsi ucapan Hiro, ia bertanya bagaimana rasa dari sandwich yang ia buat. Evan memujinya sebagai chef handak, ia menghabiskan sandwich itu dalam tiga kali gigitan.
"Aku senang kalau itu memuaskanmu," ucap Bella, wajahnya tersipu malu dan rona pipinya memerah semu.
Ah, tidak mungkin jika ia jatuh cinta pada Evan.
"Apa kita akan melanjutkan perjalanan lagi?" tanya Julius, berdiri menghampiri Evan dengan percaya diri.
"Apa kau masih bisa mengayunkan pedangmu?" tanya Evan, memastikan.
Julis mengangguk dan menarik pedangnya dari sarung pedang di pinggangnya. Ketika ia hendak mengayunkan ke atas, ia mengerang kesakitan dan secara tiba-tiba melepaskan genggaman pedang itu hingga terjatuh di lantai.
"Kau akan menggantikanku menjaga Bella di belakang, selagi menunggu kau sembuhkan dia," ungkap Evan, menyuruh kepada Julius dan Bella.
Dengan kesal, Julius mengiyakan dan berjalan dengan kecewa ke belakang menghampiri Mira. Hiro dan Evan akan bertarung di depan, melindungi ketiga orang di belakang punggungnya.
Setelah berkemas, mereka segera membentuk formasi seperti latihan mereka dan pergi menyusuri terowongan lainnya. Hiro merasa percaya diri karena ada Evan yang berdiri bertarung di sampingnya. Namun, setelah mencapai lantai enam. Sesuatu mengejutkan keempat orang tersebut.
Mereka terpaku melongo melihat sesosok monster berukuran tiga meter berjumlah dua berjaga di tempat tersebut. Tubuh mereka berbentuk serigala dengan tiga kepala dalam satu tubuh, dengan kata lain, mereka adalah Cerberus.
"A-Apa kita sebaiknya mundur, Kak Evan?" tanya Mira, cemas.
"Tidak. Kita bisa mengatasinya," jawab Evan, menenangkan.
"Hiro! Kau dan Mira atasi monster di sebelah sana, biar yang satu ini aku yang melawannya."
Hiro dengan sediki ragu mengiyakan ucapan Evan, berjalan bersama Mira dan Bella untuk menghampiri cerberus yang kedua. Evan yakin, mereka bisa melawannya meski Julius masih dalam masa penyembuhan.
"Amplifi Elementum!"