Zen William hanya terdiam selama tiga hari sesuai pernikahan. Pria itu menolak keluar dari kamar dan akan menyerang siapa pun yang berusaha masuk ke dalam kamar pribadinya.
Bahkan Zen tidak mengizinkan sang permaisuri tidur bersama dirinya dalam satu kamar.
Ingatannya hanya tertuju pada Sofia, istri pertama yang hanya dirinya dan Thruv yang tahu.
Ia ingin sekali keluar menemui Sofia, namun penjagaan istana sedang sangat ketat. Ia tidak bisa sembarangan pergi begitu saja.
Zen takut jika sampai ada orang yang menguntitnya. Karena hal itu akan sangat membahayakan Sofia.
Ia tidak peduli dengan dirinya, yang ia pedulikan adalah Sofia. Dapat Zen ingat bagaimana raut wajah penuh kecewa yang tempo hari pria itu lihat.
Zen berhasil menciptakan aliran air mata di netra cantik istrinya. Bagaimana keadaan Sofia saat ini kira-kira? Apakah wanita itu baik-baik saja? Tidak mungkin, pasti ia sedang menangis saat ini.
"Maafkan saya Sofia, maafkan saya!" lirih sang Pangeran sembari berdiri di dekat jendela tinggi di kamarnya. Ia dapat melihat lalu lalang manusia dari sana.
Dalam hati Zen berjanji, begitu ada kesempatan, ia akan langsung pergi menemui istri dan calon anaknya. Zen melihat dengan jelas jika Sofia tengah mengandung, dan ia yakin jika itu pasti buah hatinya.
Dari atas, Zen dapat melihat Thruv menatapnya dari bawah. Netra keduanya saling berpandangan namun tak sampai membuka mulut untuk mencoba bicara.
Thruv memutus pandangan sepihak, pria berambut silver itu berlalu pergi untuk masuk ke dalam istana. Tak lama kemudian, ada suara ketukan pintu keras, Zen langsung mempersilakan masuk saat mendengar jika Thruv yang ada di sana.
"Masuklah."
Terdengar suara pintu terbuka saat Zen mengizinkannya masuk. Kakak beda ibu berjalan perlahan menghampiri Zen William, ia tidak tahu apa yang tengah dirasakan adiknya saat ini, yang jelas ia hanya ingin memberitahukan tentang keadaan Sofia yang jauh dari kata baik-baik saja.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Thruv seraya berdiri tepat di sebelah Zen William.
"Saya bertemu dengan Sofia, dia melihat saya dan permaisuri saya. Dia tengah hamil besar dan saya yakin itu anak saya," ucap Zen dengan pandangan datar lurus ke depan.
Thruv mengalihkan pandangannya ke arah sang adik, "Setiap malam dia menangis di depan kediamannya. Sering sekali ia tertidur di sana tanpa sengaja. Ia menutupi segala kesedihan yang ia rasa dari kedua orang tuanya."
Zen tampak mulai tertarik mendengarkan cerita dari kakaknya. "Semua karena saya, semua nasib buruk Sofia terjadi karena saya."
"Karenamu, kedua orang tua Sofia sakit parah. Sofia harus merawat keduanya sembari mencari uang dalam keadaan hamil besar."
Ucapan Thruv menghantam telak hatinya. Ngilu sekali hati Zen saat tahu betapa menderitanya Sofia selama ini. Ia bisa makan enak dengan mudah, hidup dilayani tanpa perlu susah payah, sedangkan istrinya harus bekerja membanting tulang bersama dengan bayi yang masih berada dalam kandungan.
"Sofia mengangkat kayu setiap hari untuk ia jual ke pasar besar, ia berjalan jauh bersama dengan bayi yang berada dalam perutnya. Wajah wanita itu sangat pucat dan terlihat tidak baik-baik saja.
Zen semakin merasa bersalah, lelaki macam apa dirinya ini hingga menelantarkan istri yang tengah hamil besar.
"Terakhir saya berjumpa dengannya, adalah saat hari pernikahanmu kemarin. Sekarang saya tidak berani menampakkan wajah di hadapannya," lanjut Thruv.
Zen melirik sang kakak sedikit, "Kenapa seperti itu? Kau membuat kesalahan?"
Thruv mengangguk, "Iya. Saya membuat kesalahan fatal. Ia salah paham."
"Saya menawarkan sebuah pernikahan untuk Sofia. Saya ingin menjadikan ayah untuk a–"
Bugh!
Belum selesai Thruv berbicara, Zen sudah terlebih dahulu melayangkan pukulan tangan kanan pada rahang sang kakak.
"Apa yang ingin coba kau katakan? Apa yang kau maksud dengan menikahi istriku?" teriak Zen dengan emosi yang menggebu.
Pangeran Mahkota terus melayangkan pukulan dan teriakan kepada kakaknya yang tak melawan sama sekali.
"Apa yang kau pikirkan hingga memiliki rencana seperti itu? Kau ingin menghianatiku?" Pukulan demi pukulan Zen layangkan, namun Thruv terlihat sama sekali tak keberatan.
"Saya mencintai Sofia!" balas Thruv dengan tenang. Namun hal itu tentu saja menyulut api amarah yang ada pada diri Zen semakin berkobar.
Bugh!
"Sofia milik saya! Jangan pernah mencoba untuk mendekatinya!"
Thruv tertawa terbahak-bahak. "Lebih baik kau berkaca terlebih dahulu. Kau suami macam apa? Kau sanggup membahagiakan Sofia? Tidak Zen, kau kesulitan untuk itu."
Zen menggeleng, dia tidak terima mendengar tuduhan kakaknya. "Saya mencintai dia, Kak! Saya akan memperjuangkan Sofia."
Tubuh Zen terbalik saat tiba-tiba Thruv tiba-tiba menyentaknya keras. "Kau tidak bisa Zen! Kau tidak bisa. Kau hanya akan membuat Sofia semakin menderita, kehidupanmu berbanding terbalik dengannya!"
"Tidak Kak, saya bisa membahagiakan Sofia. Ini hanya tentang waktu, saya akan menjemputnya!" jawab Zen yakin.
Thruv mencengkeram rahang adiknya, ia sudah tidak peduli akan status mereka. Ia tidak peduli jika apa yang dilakukannya bisa mendapatkan hukuman jika diketahui oleh Baginda Raja.
"Kau akan menjadikan Sofia selirmu? Begitu yang kau maksud?" Thruv melempar tubuh Zen hingga pria itu terduduk di lantai.
Zen hanya diam, ia tidak mampu memberikan jawaban dari seluruh perkataan kakaknya. Ia tidak berpikir sejauh itu, ia tidak pernah memikirkan posisi Sofia jika berhasil membawa wanita itu masuk ke dalam istananya.
"Kenapa diam? Kau tidak bisa menjawabnya? Pikirkan lagi semua rencanamu untuk Sofia. Jangan menambah lagi penderitaannya."
Zen total diam, dia kalah telak. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Tapi, walau bagaimana pun ia harus tetap menemui wanitanya. Zen harus menjelaskan semuanya yang tengah terjadi saat ia pergi begitu saja meninggalkan istrinya yang baru ia tahu jika tengah mengandung.
"Tapi saya akan tetap menemuinya Kak, saya harus tetap bertanggung jawab. Dia tengah mengandung darah daging saya."
Thruv menggeram tak suka, adiknya ini keras kepala sekali, persis seperti sang ayah. "Terserah apa maumu, kau memiliki kekuasaan. Kau bebas melakukan apa pun."
Pria berambut perak itu bangkit dan keluar begitu saja tanpa berpamitan. Ia kesal dengan sikap Zen. Harusnya pria itu tahu dan mengerti betapa menderita Sofia karena ulahnya.
Sedangkan Zen sendiri masih setia terduduk di lantai, menyeka darah di sudut bibirnya. Ia tahu dirinya salah, tapi rasa cinta yang ia miliki untuk Sofia tidak bisa ia biarkan begitu saja. Nanti, ia akan mencari cara untuk membawa Sofia masuk ke dalam instananya.
"Maafkan saya Sofia, karena saya kau menderita seperti saat ini. Saya sama sekali tidak berpikir panjang tentang segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan."