"KE-LU-AR-GA MEL-MELDEN A-AKAN HA- HAN-HANCUR." Ucap Cleo mengeja tulisan itu satu persatu.
Cleo langsung menatap Steven dengan tatapan takut.
"Maksud tulisan ini apa kak? Keluarga Melden maksudnya kita?" Tanya Cleo pada Steven.
"Ngak kok, itu cuman main main doang. Mungkin ada orang iseng yang mau ganggu kita. Cleo ngak usah pikirin itu lagi ya." Ucap Steven.
Saat Cleo dan Steven masih sibuk memikirkan tentang surat itu, tiba tiba sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang datang dari arah belakang Cleo dan hendak menghantam tubuh gadis kecil itu.
"CLE AWAS!!!!!!!!!!" Teriak Steven dengan suara kerasnya.
Steven langsung terbangun dari tidurnya.
Kini tubuh lelaki itu sudah dipenuhi oleh keringat yang bercucuran hingga membuat tubuh laki laki itu.
Steven langsung menatap sekitarnya.
Kini ia berada di kamarnya dan tidak menemukan Cleo sama sekali.
Saat Steven masih belum sadar akan apa yang terjadi, tiba tiba ia dikagetkan dengan seseorang yang membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya.
"Ayah!!!" Ucap Steven begitu ia melihat Melden yang masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di sudut ranjangnya.
"Kamu kenapa? Kok tadi teriak?" Tanya Melden sambil menenangkan putranya itu dengan menepuk pelan di pundaknya.
""Emmm Steven ngak papa kok yah. Steven tadi cuman kaget aja." Ucap Steven.
Dia tidak ingin menambah pikiran ayahnya.
Steven tau, jika ia menceritakan apa yang sudah ia mimpikan tadi, itu bisa membuat ayahnya semakin terbebani.
"Kaget kenapa? Kamu liat setan?" Tanya Melden yang masih berusaha membuat lelucon agar suasana tidak semakin akward.
"Hehehhehhe ayah bisa aja, ngak mungkin ahhhh."
"Atau jangan jangan cewe kamu baru nelpon kamu dan minta putus sama kamu, makanya kamu kaget kayak tadi?" Tebak Melden lagi.
"Hhahhahahah ngak lah Yah. Lagian Steven juga belum punya cewek kok, masih deket doang hehehhehe."
"Kamu mimpi ya?' Tanya Melden dengan penuh kelembutan.
Steven menatap nanar ke arah sang ayah lalu perlahan menundukkan kepalanya.
"I.... iya yah." Ucap Steven perlahan.
"Kamu mimpi apa sampai teriak begitu? Apalagi badan kamu sampai keringat dingin kayak gini." Tanya Melden pada Steven yang masih menundukkan kepalanya.
"Emmmmm ngak ada kok yah. Tadi Steven cuman mimpi biasa doang. Ayah ngak perlu khawatir, mending sekarang ayah balik ke kamar ayah trus abis itu tidur. Steven ngak papa kok." Ucap Steven yang tidak mau ayahnya semakin khawatir tentang dirinya.
Melden menarik nafas dalam dalam, lalu meraih tangan Steven dan menggenggam tangan laki laki itu dengan penuh kelembutan.
Steven perlahan mulai mengangkat kepalanya lalu menatap ayahnya dengan sendu lalu menundukkan kepalanya kembali seperti semula.
"Stev... ayah tau kamu tadi mimpi aneh kan? Itu sebabnya tangan kamu sampai gemetaran kayak gini, apalagi tadi ayah denger waktu kamu manggil nama Cleo dengan lantang."
Mendengar ucapan Melden, Steven dengan cepat langsung mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya pada Melden.
"A... ayah tahu?" Tanya Steven panik.
Melden mengangukkan kepalanya beberapa kali, sambil menunjukkan senyum kecilnya pada Steven.
"Jadi tadi kamu mimpi apa hem? Cerita sama ayah."
"Tapi...."
"Kamu ngak perlu khawatir, kamu cerita aja sama ayah. Nanti pikiran kamu juga akan lebih tenang kalau kamu udah cerita sama ayah." Ucap Melden yang memajukan tubuhnya agar semakin dekat dengan Steven.
Steven menarik nafas dalam, bersiap untuk memulai menceritakan apa yang ia mimpikan beberapa waktu yang lalu.
"Tadi Steven mimpi tentang Cleo yah." Ucap Steven dengan suara pelan.
Melden mengernyitkan keningnya.
Laki laki itu bingung dengan apa yang di maksud oleh putranya itu.
"Tentang Cleo? Maksud kamu apa?"
"Tadi Steven mimpi Cleo hampir di tabrak sama mobil, dan dari yang Steven liat mobil itu emang sengaja mau celakain Cleo."
"Hemmmm, ngak usah khawatir Stev. Itu kan cuman mimpi aja. Itu ngak akan mungkin terajadi kok."
"Tapi yah... bukan cuman itu aja."
Lagi lagi, Melden di buat bingung oleh ucapan setengah setengah dari Steven.
"Bukan cuman itu? Maksud kamu masih ada yang lain?"
Steven menganggukkan kepalanya.
"Tadi, di mimpi Steven juga ada orang yang teror keluarga kita yah."
"Teror gimana maksud kamu Stev?"
"Di mimpi Stev, ada orang yang melemparkan batu yang di balut sama kertas buram." Ucap Steven sambil berusaha mengingat semua kejadian yang ada di dalam mimpinya tadi.
Melden masih mendengar dengan penuh hikmat cerita Steven.
"Trus terornya gimana?" Tanya Melden penasaran.
"Di kertas itu ada tulisan tentang yang mau teror keluarga kita yah."
"Apa isinya?"
"Di sana di tulis, kalau Stev ngak salah. keluarga Melden akan hancur. Kurang lebih seperti itu." Ucap Steven lalu menatap ayahnya.
"Hemmmmm kita berdoa yang terbaik aja. Semoga keluarga kita selalu baik baik saja."
"Tapi yah, apa yang Stev mimpiin tadi kayak emang bener bener kenyataan. Itu kayak bukan mimpi yah. Stev takut kalau nanti terjadi apa apa sama keluarga kita terutama sama Cleo yah."
"Kita hanya bisa berdoa Stev, dan selalu melindungi satu sama lain. Terutama adik kamu Cleo, berikan dia kenyamanan yang sama seperti waktu bunda kamu masih ada. Jangan sampai dia merasa kesepian setelah kehilangan bunda kamu."
Steven menatap sang ayah lalu memeluk ayahnya dengan erat.
Melden hanya tersenyum saat steven yang tiba tiba memeluknya.
Melden membalas pelukan Steven sambil mengelus pundak Steven untuk memberi laki laki itu kenyamanan.
"Sekarang lebih baik kamu tidur lagi. Besok kamu harus anter Cleo ke sekolah kan?" Ucap Melden sambil melepas kan pelukannya pada Steven dengan perlahan.
Steven mengangguk pelan sambil menunjukkan senyumnya pada Melden.
Steven mulai mengambil posisi untuk kembali pada posisi tidurnya.
Setelah memastikan Steven sudah menutup matanya, Melden mulai beranjak dari kasur milik Steven dan berniat untuk meninggalkan Steven yang tertidur di kamar itu.
Baru beberapa langkah Melden berjalan, tiba tiba Melden langsung di hentikan oleh Steven yang memanggilnya dari belakang.
"Ayah!!!" Panggil Steven.
Melden berbalik dan menatap ke arah Steven.
"Kenapa Stev?"
"Selamat malam!!!!" Ucap Steven.
Entah mengapa Steven merasa ada yang aneh saat ia mengucapkan kata kata selamat malam itu pada Melden, padahal Melden adalah ayahnya sendiri.
Steven dan Melden selalu ini memiliki hubungan yang sangat dekat dan biasanya lebih seperti hubungan teman dari pada anak dan ayah.
Sehingga ketika Steven menyebutkan kata kata itu, ia merasa ada yang beda.
Melihat anaknya yang terlihat malu malu setelah mengatakan kata selamat malam untuk dirinya, Melden hanya bisa tersenyum kecil.
"Selamat malam anak ayah." Ucap Melden.
Steven yang merasa tersipu ketika dipanggil denga sebutan anak ayah, langsung salah tingkah sendiri.
Untuk menutupi rasa malu pada dirinya. Ia memilih untuk menutupi wajahnya dengan menggunakan selimut tebal yang tadi menutupi tubuhnya.
"Kamu tidur ya Stev. Ayah balik ke kamar lagi." Ucap Melden dan kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari kamar Steven.
klekkkkk
Setelah memastikan ayahnya yang sudah keluar dari dalam kamar miliknya, Stev mulai menurunkan selimutnya dan menatap ke arah pintu.
"Selamat malam ayah. Stev selalu berdoa untuk ayah dan Cleo. Stev sayang ayah dan Cleo." Ucap Steven lalu kembali ke dalam tidurnya.