"Aku kerja part time di Kafe. Aku anak tunggal Jessy." sahut Angga dengan nada polosnya.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, matahari sudah terbenam di ufuk barat. Setelah Angga mengatakan itu, baru saja Jessy ingin bertanya lebih lanjut, suara seorang wanita memotongnya,
"Jessy, ayo ajak Angga makan malam bersama, semuanya sudah berkumpul di meja makan." ucap Ibu Jessy dengan nada yang sangat ramah kepada tamunya dan tersenyum sumringah.
"Iya ibu, nanti kami datang menyusul." ucap Jessy mengiyakan tawaran ibunya.
"Oke kalau begitu ibu ke meja makan duluan, jangan lama-lama, kami tunggu kalian berdua datang." ucap Ibu Jessy lalu pergi mendahului dan masuk ke dalam rumah.
"Yuk Angga, makan malam disini." ajak Jessy lalu bangun dari duduknya.
"Memangnya tidak apa-apa jika aku ikut makan malam bersama keluargamu? Aku merasa tidak enak dan merasa menjadi orang asing disini." ucap Angga tak enak hati jika ikut makan malam bersama keluarga Jessy. Entah kenapa ia merasa canggung saja.
"Tidak apa-apa, Jangan merasa asing, anggap saja rumah sendiri ya Angga." ucap Jessy dengan senyum ramahnya. Jessy sudah berdiri di posisinya dan menunggu Angga juga berdiri, yang ditunggu langsung ikut berdiri.
Mereka berjalan beriringan dari halaman belakang rumah menuju rumah kakak Jessy dan menyusuri setiap inchi rumah sampai di meja makan. Disana sudah berkumpul semua keluarga Jessy, ternyata benar hanya mereka berdua yang ditunggu, semuanya terlihat sudah siap untuk makan malam.
Angga kaget ketika melihat Bi Ani juga duduk diantara keluarga Jessy, ternyata asisten rumah tangga juga makan bersama keluarga Jessy, Angga jadi merasa kagum melihat pemandangan itu.
Angga duduk di salah satu kursi kosong di samping Jessy dengan penuh rasa canggung. Ia hanya tersenyum ke semua keluarga Jessy dengan senyum kaku.
Semuanya memulai aktivitas makannya dengan hening, tidak ada yang bersuara, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang berdentingan melawan kerasnya piring. Sungguh Angga tak pernah melihat sajian makanan mewah sebanyak ini di meja makan. Keluarga Jessy sangatlah kaya, sekali makan saja sebanyak ini masakannya.
***
Setelah semua menyelesaikan aktivitas makannya, Ayah Jessy membuka suara,
"Nak Angga ingin pulang sekarang?" tanya Ayah Jessy yang melihat gerak-gerik Angga yang tak nyaman di posisinya seperti sedang memikirkan suatu kata-kata untuk berpamitan.
"Iya Om, Angga mau pulang sekarang ya Om?" tanya Angga tersenyum kaku mengatakan itu karena ia merasa canggung sejak tadi sebelum memulai aktivitas makan malam. Sebenarnya ia ingin menolak untuk makan malam di rumah kakak Jessy namun Jessy memaksanya, jadi ia tidak bisa menolak.
"Kenapa buru-buru nak Angga?" tanya Ibu Jessy menatap Angga dengan tidak rela jika tamunya cepat-cepat pulang. Ia belum dapat mengobrol dengan Angga, tetapi Angga sudah ingin pulang saja.
"Iya Tante, besok Angga harus kerja dan sorenya Angga harus kuliah. Jadi Angga pamit pulang dulu ya Tante?" ucap Angga dengan senyum canggung menatap Ibu Jessy, ia merasa tak enak hati pamit pulang setelah makan, apakah Angga termasuk tidak sopan?
"Ya sudah kalau begitu…Bi Ani tolong bungkuskan nak Angga makanan yang masih utuh yang ada di dapur ya? Biar bisa di panaskan dan di makan besok oleh nak Angga." ucap Ibu Jessy meminta tolong pada Bi Ani. Bi Ani yang mendapat perintah dari majikannya langsung berdiri dari duduknya. Namun belum sempat Bi Ani beranjak, Angga sudah membuka suara,
"Tidak usah Tante, Angga tidak usah di bungkuskan makanan ya Tante? Jujur Angga merasa tidak enak jika di bungkuskan makanan." ucap Angga dengan senyum canggungnya.
"Kenapa tidak enak nak Angga? Tidak apa-apa, anggap saja kami ini seperti orang tuamu juga." ucap Ibu Jessy tersenyum seramah mungkin pada Angga.
"Terima kasih tante atas kebaikannya, tetapi Angga tidak usah di bungkuskan makanan ya tante? Angga masih ada makanan kok di kost tante." ucap Angga menolak secara halus tawaran Ibu Jessy, sebenarnya ia tak enak menolaknya, namun ia merasa lebih tak enak lagi jika menerimanya. Keluarga Jessy terlalu baik padanya.
"Ya sudah jika nak Angga tidak mau, tante tidak memaksa. Hati-hati ya nak Angga pulangnya." ucap Ibu Jessy berpesan pada Angga untuk selalu hati-hati dan waspada saat kemana pun.
"Iya tante, Angga pamit pulang ya Tante, Om, Kak." ucap Angga pada semua keluarga Jessy dengan senyum penuh bahagianya. Entah kenapa ia merasa lega ketika ia akan pulang sekarang. Rasa canggungnya mendadak menghilang dari benaknya, segugup itukah dirinya sejak tadi?
"Iya nak Angga, hati-hati di jalannya ya." kini giliran Ayah Jessy yang berpesan sambil tersenyum.
Angga hanya menganggukkan wajahnya dan tersenyum lalu bangun dari duduknya dan berbalik menuju pintu depan rumah Jessy. Jessy ikut mengantarnya sampai depan gerbang rumahnya. Angga yang sudah siap berangkat dan menaiki motornya langsung membuka kaca helmnya ketika ia lihat gerak-gerik Jessy ingin membuka suara,
"Kenapa Jessy?" Tanya Angga mengerutkan sebelah alisnya dengan tatapan bertanya.
"Ehm… Nanti kalau sudah sampai kost kabarin boleh?" tanya Jessy merasa canggung dan tidak enak mengatakan itu. Tapi ia merasa khawatir dengan Angga. Ia ingin tahu kabar Angga, apakah ia salah?
"Apa?" tanya Angga sekali lagi karena ia tidak mendengar suara Jessy yang sangat kecil itu. Jessy mengatakannya dengan suara setengah berbisik. Bagaimana ia bisa mendengarnya?
Jessy tersenyum kaku ketika Angga meminta ia mengulangi perkataannya. Kenapa Angga tidak mendengarnya? Apakah suaranya sangat kecil?
Jessy menarik nafasnya pelan, dan tersenyum kaku "Kalau sudah smapai kost boleh kabarin aku tidak Angga?" tanya Jessy dengan nada canggung dan berusaha mengembangkan senyumnya.
Angga terdiam sejenak mencerna perkataan Jessy. "Bo—Boleh." ucap Angga dengan gugup dan salah tingkah mengatakannya.
"Terima kasih Angga." ucap Jessy langsung tersenyum sumringah setelah mendengar jawaban Angga.
"Iya Jessy, aku pulang ya." ucap Angga berpamitan untuk terakhir kalinya. Jessy hanya mengangguk sebagai jawaban.
Angga melajukan motornya menyusuri jalan raya, tak butuh waktu lama hanya 15 menit Angga sampai di kostnya.
Angga celingukan ke kanan dan ke kiri mencari sosok Radit yang tak terlihat sejak ia memasuki pekarangan kostnya. Ia melihat ke arah kamar Radit, lampunya mati. Apakah Radit belum datang dari urusannya? Mungkin saja belum, buktinya lampu kamarnya mati. Tetapi apa mungkin Radit sudah tidur maka dari itu lampunya sudah mati? Tidak, tapi tidak mungkin Radit tidur secepat itu.
Angga memilih masuk ke kamarnya dan langsung mandi agar badannya terasa segar. Selepas Angga selesai mandi yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit, Angga membaringkan tubuhnya di Kasur King Sizenya sambil memainkan ponselnya.
Seketika ia teringat sesuatu, ia teringat dengan cerita Jessy tadi sore. Ia langsung memeriksa ke bawah kolong tempat tidurnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana, ia tersenyum kecil ketika melihat apa yang ada di bawah kolong tempat tidurnya.