"ALFA!!" Deon terkejut bukan main, saat melihat Alfa tergeletak di lantai toilet dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Darah segar mengalir di hidung dan mulut Alfa.
Deon melangkah mendekat dengan kaki yang terasa lemas. Apa yang sebenarnya terjadi pada Alfa? Sampai kondisi Alfa bisa separah ini? Apakah ini juga termasuk gerak-gerik Alfa yang beberapa hari itu terlihat mencurigakan? Deon tidak tahu pasti.
"Fa, bangun lo. Buka mata lo. Lo kenapa? Jangan bikin gue cemas," ujar Deon dengan kedua tangan menggoyang pelan bahu Alfa yang tidak sadarkan diri. Kedua mata cowok itu terpejam dengan peluh membasahi wajah.
"Alfa! Buka mata lo!" Deon menggoyang tubuh Alfa dengan kencang. Ia semakin merasa cemas dengan kondisi Alfa yang sangat lemas seperti ini.
Mendengar suara Deon, perlahan Alfa membuka matanya dengan pelan. Ia gerakkan badan yang terasa sakit dan lemah. Sebelah tangannya terulur menyeka sesuatu yang terasa hangat mengalir di hidung dan membasahi bibirnya. Alfa mengalami mimisan yang cukup hebat. Ia terlalu merasa kelelahan.
"Lo baik-baik aja kan, Fa?" tanya Deon dengan suara bergetar. Ia bantu Alfa untuk duduk dan bersandar dekat dinding wastafel.
"Gue baik-baik aja," jawab Alfa dengan kepala menunduk. Ia merasa sangat pusing dan mual. Semua tenaganya terasa terkuras habis.
Deon tidak percaya jika Alfa baik-baik saja. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alfa. Di saat seperti ini, Alfa masih berbohong padanya. Apakah salah jika berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada Deon?
Alfa mengangkat wajah dan menatap Deon yang mengamatinya dengan tatapan cemas. Ia kembali menunduk dengan punggung terasa sakit.
"Yon, jangan bilang sama Alfi kalo kondisi gue kayak gini. Antar gue ke rumah sakit dan jangan sampe ada yang tau, apalagi Alfi," ujar Alfa dengan lirih. Hembusan napasnya terdengar semakin pelan.
"Kenapa? Alfi harus tau keadaan lo gini, Fa." Deon membuang pandangan ke arah lain. Apa maksud Alfa barusan? Kenapa tidak boleh Alfi tahu tentang ini?
Alfa tidak bisa menahan rasa pusingnya. Perlahan, matanya terpejam dan terjatuh ke samping. Tenaganya benar-benar habis. Tidak ada lagi kekuatan untuk terlihat tegar di mata semua orang. Ia kembali jadi Alfa yang lemah.
Deon tersentak saat mendengar Alfa jatuh ke samping. Ia raih lengan Alfa dan mendekatkan badan. Ia jatuhkan kepala Alfa pada pundaknya. Ia harus bawa Alfa ke rumah sakit.
"Bertahan, Fa. Jangan bikin gue makin cemas." Deon membantu Alfa berdiri dan memapah cowok itu. Deon berdiri sejenak, mencari cara agar Alfa bisa sampai di rumah sakit tanpa ada yang lihat, terutama Alfi.
Deon membuka pintu toilet dengan pelan. Ia celingukan kanan kiri, mencari situasi aman. Aman dari penglihatan Alfi. Cowok itu tidak terlihat, mungkin masih berada di kantor bersama Arvin dan anggota basket yang lain.
Kepala Alfa ditutupi oleh Deon dengan seragam basket yang ia buka. Deon hanya pakai baju kaos hitam. Ia bawa Alfa jalan dengan jantung yang terasa berdetak kencang. Ia serasa seperti ada di uji nyali. Deon gemetaran sambil melihat kiri kanan. Ia takut ketahuan oleh Alfi. Alfa tidak mengizinkan Alfi melihat keadaan cowok itu. Maka dari itu, Deon mengabulkan permintaan Alfa.
Deon berhasil membawa Alfa sampai ke parkiran. Ia bisa sedikit bernapas dengan lega. Deon cepat-cepat membawa Alfa menuju mobil cowok itu yang terparkir di dekat pohon yang ada di parkiran.
"Bertahan, Fa. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit," ujar Deon dengan pelan.
Deon memasukkan Alfa ke mobil. Ia tidurkan Alfa di kursi belakang. Ia beri bantal kecil yang ada di mobil kepala Alfa. Bercak darah yang ada di hidung dan mulut Alfa ia seka dengan pelan. Setelahnya, Deon menutup pintu dekat Alfa. Ia segera masuk ke mobil dan melajukan keluar dari parkiran. Deon harus cepat sampai ke rumah sakit.
"Semoga Alfi enggak liat lo, Fa."
***
Deon menatap Alfa yang terbaring di atas brankar dengan kedua mata cowok itu terpejam. Sejak di sekolah hingga sekarang Alfa belum kunjung sadarkan diri. Cowok itu masih betah menutup mata. Hanya deru napas teratur yang Deon dengar.
Tatapan Deon beralih pada alat yang tertempel di tubuh Alfa, seperti selang infus dan sebagainya. Deon kurang tahu apa nama alat yang tertempel di dada Alfa. Terlihat seperti selang yang banyak.
Sudah setengah jam Alfa ditangani oleh dokter yang bernama Hendri. Deon belum mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Alfa. Saat ini dokter Hendri tidak ada di sana, keluar sebentar karena ada perawat yang memanggil.
"Fa, lo sebenarnya kenapa?" tanya Deon dengan pelan. Ia geser kursi yang ia duduki mendekat pada Alfa. Ia amati wajah damai cowok itu.
"Lo sembunyiin sesuatu dari kita, kan?" tanya Deon lagi dengan suara serak. Entah kenapa, melihat Alfa terbaring lemah seperti ini buat Deon jadi sedih.
Ceklek
Deon menoleh ke arah pintu saat terdengar pintu di buka dari luar. Deon berharap cemas itu bukan Alfi. Saat pintu benar-benar terbuka, Deon bernapas lega. Ternyata itu dokter Hendri. Laki-laki muda itu kembali lagi ke ruangan Alfa.
"Alfa belum sadar?" tanya dokter Hendri seraya berjalan mendekat pada brankar. Ia menghela napas pelan melihat kondisi Alfa saat ini.
Deon menggeleng samar. Ia mendongak menatap wajah dokter Hendri yang menatap wajah Alfa lama. Deon jadi ingin mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Alfa?
"Dok, apa yang sebenarnya terjadi pada teman saya? Kenapa bisa jadi separah ini? Tadi di sekolah Alfa cuma berantem sama temen sebayanya," ujar Deon.
Deon juga merasa bingung. Jika kena pukulan dan terkena sesuatu seperti tadi, kondisi Alfa tidak mungkin akan separah ini. Apakah ada penyebab lain? Alfa juga jatuh pingsan dengan keadaan tubuh yang terasa sangat lemas.
Lagi-lagi dokter Hendri menghela napas panjang. Ia sudah sering mengingatkan Alfa jangan terlalu kelelahan dan banyak aktivitas. Tapi kenapa Alfa selalu bandel dan mengabaikan semua yang ia anjurkan? Dokter Hendri merasa semakin prihatin dengan keadaan Alfa yang semakin lama semakin memburuk. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Tidak terlihat perkembangan. Apakah Alfa tidak minum obat yang ia berikan waktu itu?
Deon menunggu jawaban dari dokter Hendri dengan mata ikut menatap wajah Alfa. Deon jadi yakin jika benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alfa. Ia harus dapat semua jawaban dari dokter Hendri.
"Dok? Bisa beri tau saya apa yang sudah terjadi pada Alfa?" tanya Deon lagi. Ia kembali menatap dokter Hendri yang mulai menegakkan badan.
"Sebenarnya Alfa—"
"Sebenarnya kenapa, Dok? Apa Alfa ada penyakit yang serius?" tanya Deon tidak sabaran. Ia merasa sangat takut sekaligus cemas. Melihat kondisi Alfa yang seperti tadi, ia jadi yakin ada penyebab lain yang membuat kondisi Alfa jadi separah itu.
Dokter Hendri mengangguk samar. Ia menjauh dari brankar dan berdiri di dekat kaki Alfa. Tidak mungkin ia membahas ini di dalam ruangan Alfa.
"Kita bicarakan ini di ruangan saya saja. Tapi kamu harus janji pada saya, tidak akan memberitahu siapa pun," ujar dokter Hendri.
Deon mengangguk cepat. Ia akan berjanji pada dokter Hendri, Alfa dan pada dirinya sendiri. Ia akan merahasiakan ini seperti yang Alfa mau.
"Baik, Dok. Saya akan janji."
"Baik, ke ruangan saya sekarang. Saya akan menjelaskan semua tentang yang di derita oleh Alfa selama ini." Dokter Hendri berbalik badan, ia berjalan duluan menuju pintu dan keluar dari ruangan Alfa.
Setelah kepergian dokter Hendri, Deon segera bangkit berdiri. Sebelum ia keluar dari ruangan, ia sempatkan melihat wajah Alfa yang kedua mata cowok itu masih terpejam.
"Gue janji sama lo, Fa. Gue enggak akan kasih tau siapa pun tentang ini. Lo tenang aja. Cepat bangun dan cepat sembuh." Deon mengulas senyum getir dan mengusap lengan Alfa.
Setelahnya, Deon cepat keluar dari ruangan, menyusul dokter Hendri yang saat ini pasti sudah berada di ruangan pribadi. Deon menyiapkan diri, semoga yang ia dengar nanti tidak terlalu mengejutkan. Semoga Alfa baik-baik saja.
Deon sampai di depan ruangan pribadi dokter Hendri. Ia raih kenop pintu dan ia putar. Pintu ruangan terbuka dan ada Dokter Hendri yang sudah duduk di kursi, di depan meja.
"Silakan masuk."
See you next part.