Setelah berbicara dengan dokter, Deon kembali ke dalam ruang rawat Alfa dengan kaki yang terasa lemas. Semua sudah ia dengar dengan jelas. Dokter Hendri memberitahu tentang apa yang sudah terjadi dan di alami oleh Alfa selama belakangan ini.
Hati Deon terasa begitu mencelos mendengar penjelasan dari dokter Hendri. Alfa begitu keras kepala dan hanya mau membuat orang menganggap cowok itu baik-baik saja, padahal jauh dari kata baik. Alfa butuh pengobatan yang lebih. Tapi Alfa malah menolak dengan berbagai alasan.
Apa salahnya memberitahu keluarga? Apa salahnya jika Alfi tahu tentang ini? Takut mereka sedih? Orang tua dan saudara mana yang tidak sedih jika mengetahui anaknya tengah sakit. Alfa terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Harusnya Alfa mengatakan jika cowok itu sakit, bukan terlihat tegar di depan keluarga, saudara dan teman. Apakah ada untungnya?
Deon mendudukkan diri di kursi. Ia menopang dagu dengan sebelah tangan yang ia letakkan di tepi brankar. Helaan napas Deon terdengar begitu berat.
"Kenapa harus sok jagoan gini? Lo keras kepala, tau gak! Kenapa lo enggak bilang kalo lo itu sakit?" tanya Deon dengan suara serak. Matanya jadi memerah dan berkaca-kaca.
Deon menengadah dan mengerjapkan mata berkali-kali. Ia tidak bisa mempungkiri jika ia benar-benar sedih dan takut. Baru kali ini ia dapat teman sebaik Alfa. Tapi ia malah mendengar kabar jika Alfa mengidap penyakit yang bisa mengakibatkan kematian. Deon benar-benar takut akan hal itu.
Deon tersentak kala Alfa menyenggol tangannya. Ia terlalu melamun dan tanpa ia tahu Alfa sudah sadarkan diri. Mata Deon fokus pada pergerakan tangan Alfa dan terakhir pada mata cowok itu, mulai terbuka.
"Fa, lo udah sadar?" tanya Deon dengan pelan. Saat Alfa tatapan Alfa tertuju ke arahnya, Deon jadi sedikit lega. Alfa benar-benar sudah bangun.
Alfa mengangguk pelan. Ia meraba selang yang ada di tangan dan di badan. Sudah lama ia berteman dengan benda itu. Jika dirinya tengah kambuh, maka benda itu akan setia menempel di tubuhnya. Sampai kapan ini akan terjadi? Terkadang, Alfa sangat merasa bosan berada di rumah sakit.
"Yon, jangan kasih tau Alfi kalo gue ada di sini." Alfa menatap Deon yang tengah terdiam dengan suara lirih. Ia masih belum banyak tenaga untuk bersuara seperti biasa.
"Kenapa? Lo takut kalo saudara kembar lo itu sedih sama keluarga lo? Lo gak mau bikin keluarga lo jadi gelisah sama keadaan lo ini?" tanya Deon menatap wajah Alfa dengan datar.
Alfa mengangguk pelan. Ia menghela napas pelan dan kembali menatap Deon. "Lo udah tau? Tau dari mana?"
Deon menatap Alfa dengan sinis. Dugaannya benar. Ini yang tengah disembunyikan oleh Alfa dari dirinya.
"Kenapa kalo gue udah tau? Gue udah tau semuanya. Gue temen lo, tapi kenapa lo rahasiain ini dari gue? Apa lo enggak anggap gue temen? Apa gue orang lain bagi lo?" tanya Deon dengan raut wajah kecewa.
Alfa menunduk mendengar perkataan Deon. "Sorry," lirihnya pelan.
"Sejak kapan?" tanya Deon dengan kepala mendongak ke atas. Ia kerjapkan mata, jangan sampai air matanya jatuh di depan Alfa. Ia cowok yang kuat.
"Sejak kelas dua SMP," jawab Alfa pelan. Kepalanya semakin tertunduk dalam. Sudah bertahun ia berteman dengan penyakit mematikan itu dan menyebunyikannya dari semua orang.
"Tapi kenapa lo enggak bilang sama bokap nyokap lo? Lo harus berobat lebih lanjut. Penyakit yang lo derita ini enggak main-main, Fa. Lo bisa mati," ujar Deon dengan tenggorokan terasa tercekat.
"Gue bisa apa, Yon?! Gue enggak mau nambah beban nyokap sama bokap. Asal lo tau, kejadian yang nimpa Alfi dulu udah buat Ayah sama Bunda tertekan dan takut. Mental Bunda jadi terguncang. Gue enggak mau bikin itu terjadi lagi." Alfa menatap wajah Deon dengan air menggenang di pelupuk mata.
"Gue mau, lo janji sama gue. Jangan bilang semua ini sama Alfi. Cukup lo yang tau." Alfa membuang pandangan ke arah lain. Ia seka kasar ia yang jatuh membasahi pipi.
"Oke. Gue turutin semua kemauan lo. Asal lo janji sama gue, apapun yang terjadi sama lo, lo harus kabarin gue dan jangan pernah lo sembunyiin ini lagi dari gue." Deon menatap Alfa yang mengangguk pelan.
"Dari awal, gue udah curiga sama lo. Waktu lo bilang cari sesuatu yang ketinggalan di rumah dan lo bilang enggak ketemu. Padahal gue tau kalo yang lo cari itu udah ketemu," ujar Deon lagi.
"Dan yang kedua waktu photoshoot di kantor kemaren. Lo jerit kesakitan dan lo bilang kaki lo kepentok meja. Gue liat, jarak kaki lo sama kaki meja itu jauh banget. Kalo lo ngerasa sakit? Apa salahnya kasih tau gue? Gue bakal dengan cepat bantu lo dan bawa lo ke rumah sakit. Gue bukan orang asing lagi buat lo, Fa. Gue temen lo. Dari awal, gue udah terbuka sama lo. Tapi lo sendiri? Nutup diri dari kita semua," tutur Deon dengan suara serak. Ia merasa sedih dan kecewa dengan sikap Alfa yang seperti ini.
"Sorry, Yon. Gue emang salah. Gak seharusnya gue sembunyiin ini dari lo. Gue cuma gak mau aja kalo lo tau gue gini, lo bakal nyesel temenan sama gue. Gue gak mau lo naruh rasa kasihan pada gue. Gue gak sekuat yang lo liat. Gue juga enggak setangguh yang lo pikir." Alfa menunduk dengan tenggorokan terasa tercekat.
"Gue temenan sama lo tulus, Fa. Walaupun lo penyakitan, gue enggak bakal kepikiran buat nyesel atau pun mikir yang macem-macem tentang lo. Gue suka temen sama lo karena lo keliatan asik, meski lo kadang cuek. Gue bukan orang yang suka pilih temen," ujar Deon. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Alfa barusan tentang dirinya.
"Sorry, Yon. Gue enggak bakal ulangin ini lagi. Gue akan terbuka sama lo. Tapi lo jangan ingkar janji, tetap rahasiain ini dari Alfi." Alfa menatap Deon dengan tatapan memohon.
Deon mengangguk pelan. Ia bergeser ke belakang dan menekuk kepala ke bawah. Ia harus bisa janji pada Alfa. Ia akan tutup mulut dan tidak memberitahu Alfi tentang ini.
"Bentar lagi dokter Hendri ke sini. Katanya lo boleh pulang kalo udah ngerasa enakan. Kalo lo kenapa-kenapa atau ngerasa sakit saat di rumah, hubungi gue." Deon menengakkan kepala.
"Iya, gue akan kabarin lo."
***
Alfa sampai di rumah dan ditemani oleh Deon. Ia sudah boleh pulang karena merasa mendingan. Alfa tidak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ia tidak ingin ada yang curiga jika ia pulang ke rumah sampai telat.
Alfi yang duduk di sofa melihat kedatangan Alfa dan Deon. Ia tidak menemukan Alfa di sekolah. Ia amati Alfa yang berjalan menuju tangga kamar dengan lekat. Cowok itu terlihat baik-baik saja. Tidak seperti yang di katakan oleh temannya waktu di parkiran.
"Dari mana aja, Fa? Tumben lo telat pulang?" tanya Alfi dan meletakkan botol camilan coklat yang ada di pangkuan ke atas meja.
"Gue habis dari rumah Deon. Ngerjain tugas kelompok. Iya, kan, Yon?" ujar Alfa dan melirik Deon yang ada di sebelahnya.
"Yoi. Alfa dari rumah gue. Lo balik sama siapa tadi? Alfa keburu sama gue," ujar Deon dan memaksakan bersikap seperti biasa, seperti yang di lakukan oleh Alfa.
"Gue sama Arvin. Pantes lo berdua gak ada di parkiran. Nyatanya ninggalin gue lo pada." Alfi bangkit berdiri, berjalan mendekat pada Alfa dan Deon. Ia ingin memastikan sesuatu.
"Lo ngapa liatin gue gini?" tanya Alfa dengan tegang. Ia takut jika Alfi merasa curiga padanya. Baju basket yang ia kenakan sudah ia ganti dengan seragam putih.
"Tadi di sekolah banyak yang bilang kalo lo..." Alfi terus berjalan mengelilingi Alfa, ia pastikan jika perkataan orang itu bohong.
Alfa jadi panas dingin. Ia melirik Deon dengan rasa cemas. Jangan sampai Alfi tahu yang ia sembunyikan.
"Stop! Lo bikin gue pusing. Nyari apa lo di badan gue? Apa yang di bilang sama orang di sekolah?" Alfa menghentikan pergerakan Alfi dengan cepat. Badannya terasa panas dingin di perhatikan seperti itu.
"Jujur sama gue. Lo cidera karena berantem sama cowok tadi, kan?"
Deg!
See you next part.