Amora, Ochi dan Liora duduk di tengah taman dekat lapangan basket. Ketiganya tengah menikmati bakso tusuk yang mereka beli beberapa menit lalu di luar gerbang sekolah. Tepatnya di kedai Mang Ucup. Tempat yang paling sering dikunjungi oleh murid-murid perempuan untuk membeli jajanan.
Amora melahap bakso dan sebelah tangan terus mengibas wajah. Ia merasa kepedasan, begitu juga dengan Liora yang ada di sebelahnya.
"Enak banget. Gue jadi pengen nambah. Kayaknya enak kalo lebih pedes lagi." Liora mengibaskan tangan ke mulut yang penuh dengan bakso.
"Gila lo. Ini aja udah pedes banget. Gue gak tahan makan pedes. Air mata gue mau jadi mau keluar." Ochi menyahut seraya menyeruput jus lemon yang ia pesan bersama bakso tusuk.
"Tapi gue setuju sama Liora. Gue suka banget makanan yang pedes gini, secara gue udah lama gak makan pedes. Nanti kita beli lagi ya, Ra," jawab Amora melirik Liora dengan mulut yang terus melahap bakso tusuk super pedas itu.
Ochi jadi berdecak pelan. "Lo berdua sama aja. Nanti kalo sakit perut, baru tau rasa. Gue gak bakal nungguin lo lo pada ngantri di toilet."
"Lo doain kita sakit perut? Bener-bener lo, Chi. Sahabat kurang asem." Liora menatap Ochi dengan sebelah tangan meraih es teh dingin yang ada dekat jus lemon milik Ochi.
"Gue gak kurang asem. Lo kata gue ikan yang mau di goreng? Pake asem-asem segala," jawab Ochi dengan asal. Ia lanjut makan bakso tusuk yang pedas itu dengan wajah sedikit memerah.
Amora terbahak mendengar celotehan Ochi. Ia berhenti mengunyah bakso dan fokus pada wajah Ochi yang sudah memerah. Gadis itu memang begitu kalau sudah makan pedas.
"Tapi serius, deh, Chi. Mulut lo kek mulut ikan kalo lagi ngunyah bakso gitu. Mangap-mangap." Amora kembali tertawa dengan sebelah tangan memegang perut.
"Amora! Gue bukan kayak ikan. Tega lo. Mulut gue yang estetik gini lo bilang ke ikan? Fiks, bersoda banget lo." Ochi menyeka air yang keluar dari sudut matanya karena pedas.
Liora geleng kepala pelan lihat Ochi yang menyeka air mata. Padahal gadis itu tidak menangis, tapi bisa jadi begitu. Bakso bakar memang bisa berbakat buat Ochi jadi menangis.
"Serah lo. Gue ke toilet bentar, ya. Gue kebelet. Lo pegangin bakso gue. Jangan lo makan, Ra. Awass." Amora memberikan bakso tusuk yang ia pegang ke tangan Liora. Ia mau buang air kecil ke toilet.
Liora meletakkan bakso tusuk milik Amora ke atas tempat teh es nya yang ada dalam kotak. Ia lihat Amora sudah menjauh. Cepat sekali jalan gadis itu.
Ochi dan Liora lanjut menikmati bakso tusuk yang tersisa. Ochi menatap Liora yang ada di sebelahnya dengan mata menyipit. Bisa ia pastikan jika gadis itu tengah menahan tawa karena ia dibilang seperti ikan oleh Amora.
"Kenapa lo?" tanya Liora menahan tawa. Ochi sangat lucu jika seperti itu. Wajah merah dengan mata menyipit.
"Lo mau ketawain gue, kan? Gue enggak kayak ikan, ya," delik Ochi dan menyeruput jus lemon sampai setengah. Ia kepedasan.
"Yakali. Enggak ya. Amora aja yang ketawa tadi. Gue gak ikutan."
***
Amora keluar dari bilik kecil yang ada di sana. Ia berjalan mendekat pada wastafel dan membasuh wajahnya dengan air. Lalu ia keringkan dengan tissu yang tersedia di toilet itu.
Amora merapikan rambut dan seragam di depan cermin yang ada di depannya. Setelah puas mematut diri, Amora keluar dari toilet dan memilih jalan yang teduh. Ia tidak ingin panas-panasan lagi saat lewat di tengah lapangan. Ia sudah cuci muka.
Amora bersenandung pelan saat ia melewati gudang sekolah. Tempat itu sangat sepi, jangan murid yang datang ke sana kecuali di suruh guru untuk membersihkan atau sekedar meletakkan meja dan kursi yang sudah rusak.
"Emangnya lo siapa, hah? Oh, atau jangan-jangan lo suka sama Amora?"
Langkah kaki Amora terhenti kala mendengar suara dari dalam sana. Apakah ada orang di dalam? Amora merasa merinding. Apa ia cuma salah dengar? Amora perlahan melangkahkan kaki mendekat ke ruangan itu.
"Kalo iya kenapa? Gue bisa bahagiain Amora! Bukan kayak lo yang bisanya cuma nyakitin!"
Tubuh Amora jad menegang. Ia membekap mulut dengan sebelah telapak tangan. Ia tahu itu suara siapa. Amora semakin mendekatkan wajah ke dinding ruangan itu. Suara terus terdengar dengan kencang. Dua orang itu tengah bertengkar.
"Gue gak akan biarin lo rebut Amora dari gue!"
Suara cowok itu kembali terdengar membuat tenggorokan Amora jadi merinding. Itu suara Andika. Kenapa Andika ada di sekolahnya?
Amora meremas jemarinya dengan rasa takut. Apa yang harus ia lakukan? Dengan memberanikan diri, Amora melangkah pelan ke dalam. Ia harus melerai dua orang yang sedang bertengkar itu. Apalagi itu karena dirinya. Ia tahu seperti apa kerasnya Andika dan kelakuan cowok itu.
"Apa Andika berantem sama Alfa lagi? Tuh cowok emang selalu bikin masalah," gumam Amora dengan langkah kaki terus melangkah masuk ke dalam gudang.
Tanpa sepengetahuan Amora, di belakangnya ada satu cowok yang ikut mengikutinya masuk ke dalam gudang dengan langkah kaki yang lambat.
Amora berdiri tak jauh dari sana. Dengan jelas Amora melihat Andika memukul wajah Alfa berkali-kali. Andika memang keterlaluan. Kedua tangan Alfa di pegang oleh teman Andika, sehingga Alfa tidak bisa membalas.
Dengan kedua tangan terkepal. Amora kembali melanjutkan langkah. Tidak akan ia biarkan Andika bersikap semena-mena pada Alfa.
Mata Amora membulat ketika melihat tangan Andika berpindah ke leher Alfa. Amora berlari cepat menghampiri Andika dengan tangan semakin terkepal.
"Andika! Stop it!" Amora menarik kasar tangan Andika dan menghempasnya dengan kasar. Andika sangat keterlaluan. Alfa terlihat kesakitan karena ulah cowok itu.
Plak!
"Lo keterlaluan banget, ya! Lo gak punya otak? Kenapa lo nyiksa Alfa di sini? Dasar iblis lo!" Mata Amora memerah menatap Andika dengan kecewa dan perasaan marah.
"Dia yang mulai, Amora. Gu—"
Plak!
Lagi-lagi Amora melayangkan tangan dan menampar pipi Andika. Wajah cowok itu jadi tertoleh ke samping karena tamparannya sangat kencang.
"Gue kecewa sama lo! Gue nyesel pernah kenal sama cowok kayak lo! Kenapa lo nyakitin Alfa gini?!" teriak Amora dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Ia sangat merasa bersalah. Karena ia, Alfa jadi kena masalah.
"Cukup lo bentak dan nampar gue, Amora! Udah berani lo sekarang sama gue, huh? Udah punya nyali lo?" Mata Andika memerah. Ia sangat marah. Amora menjatuhkan harga dirinya di depan Alfa. Ia cekal lengan Amora dengan kasar.
"Gue berani karena lo salah!" Amora meringis dan menarik lengannya dari Andika. Namun cekalan cowok itu sangat kuat.
"Shit! Lo nyakitin dia, sialan!" ujar Alfa marah. Ia mencoba melepaskan diri dari kedua cowok itu, namun terasa sangat susah. Alfa terus memberontak.
"Lo berdua lepasin gue! Gue mau hajar temen lo yang gak punya otak itu!" maki Alfa dengan marah. Ia tidak terima Amora di perlakukan seperti itu.
Cowok yang mengikuti Amora masuk ke dalam gudang tadi keluar dari tempat persembunyian. Sebelah tangannya memegang balok kayu dan berjalan mengendap mendekat pada Alfa, Andika dan dua orang cowok itu. Dengan cepat, ia layangkan balok kayu itu.
Bugh!
"Lo berdua mau ini?"
See you next part.