Chereads / Triangle Of Love / Chapter 25 - 24. Dibalik Topeng

Chapter 25 - 24. Dibalik Topeng

"Jujur sama gue. Lo cidera karena berantem sama cowok tadi, kan?"

Deg!

Jantung Alfa berdegup kencang karena perkataan Alfi. Ia melirik Deon sekilas dengan ujung mata. Cowok itu juga terdiam. Alfa segera berdeham pelan dan memaksakan wajah seperti biasa saja.

Deon yang tersadar karena suasana jadi canggung segera menggeleng cepat. Ia paksakan terkekeh dengan pelan, seakan merasa lucu dengan perkataan Alfi barusan.

"Cidera sama siapa? Ngawur lo. Lo gak liat cowok tadi babak belum karena pukulan Alfa?" ujar Deon dan membuat Alfi menoleh ke arahnya.

Alfa menghela napas sangat lega. Deon sangat bisa diandalkan. Ia juga mengangguk dengan cepat dan memaksakan senyum seceria mungkin.

"Yakin? Gue denger anak sekolah banyak yang bilang waktu di parkiran. Gue buru-buru nyari lo pada, taunya udah gak ada," jawab Alfi dan kembali mengamati Alfa yang ada di depannya.

Lagi-lagi jantung Alfa jadi berdisko kencang. Apa yang sudah orang bahas tentang dirinya di sekolah sehingga Alfi mengintrogasinya seperti ini? Jangan sampai ada yang curiga kepadanya. Termasuk Alfi dan Zalfa, bundanya.

"Anak yang mana? Lo salah denger kali." Alfa segera menjawab dan merangkul pundak Alfi dengan cepat. Ia bawa berjalan menuju ke arah sofa tempat Alfi duduk tadi.

"Iya, Fi. Mungkin bukan Alfa yang ini. Bisa jadi Alfa di sekolah lain. Lo kan tau kalo murid di SMA kita itu suka ghibah." Deon menyahut dan ikut jalan, mengikuti Alfa yang bawa Alfi menuju sofa.

Alfi mengangguk membenarkan. Saat di sekolah, Alfi sangat merasa cemas mendengar cerita orang-orang di parkiran. Setelah mendapati Alfa baik-baik saja saat pulang ke rumah. Alfi jadi lega.

"Sorry ya, Fa. Karena gue, lo harus jadi berurusan sama cowok itu. Gue selalu nyusahin lo mulu. Andai gue gak gini, gue gak akan pernah nyusahin lo." Alfi berujar dengan wajah murung. Ia sangat merasa bersalah karena harus merepotkan Alfa setiap waktu.

Alfa berdecak pelan. Ia tidak suka lihat Alfi jadi murung dan sedih begini. Ia tahu Alfi sangat ingin jadi diri sendiri tanpa ia harus campur tangan. Tapi apa boleh buat. Alfi belum sembuh dari trauma. Alfa tidak ingin Alfi seperti dulu lagi. Sebelum Alfi benar-benar sembuh, ia akan terus jadi tameng pelindung untuk saudara kembarnya itu.

"Santai aja. Anggap aja itu pembelaan dari gue, secara lo adik gue. Pada dasarnya, tugas seorang kakak emang melindungi adiknya dari orang yang jahat," jawab Alfa dengan tulus.

"Alfa bener. Kalo gue punya adek, gue bakal lakuin kayak apa yang Alfa bilang. Lo jangan ngerasa bersalah. Tugas adik itu emang buat nyusahin sang kakak." Deon yang berjalan di sebelah Alfa juga mengangguk cepat dan tertawa pelan.

Alfi manggut-manggut. Ia duduk di sofa setelah Alfa melepaskan rangkulan. Alfa dan Deon duduk di sofa, di depannya.

"Udah dapet hadiah?" ujar Deon pada Alfi. Ia jadi teringat dengan hasil pertandingan yang telah mereka menangkan bersama-sama.

"Udah. Dapet piala satu, bukan buat kita. Tapi buat sekolah. Mungkin besok bakal ada hadiah buat kita. Kata kepsek gitu." Alfi meraih botol camilan coklat yang ada di atas meja. Ia bawa ke dalam pangkuan.

Alfa dan Deon manggut-manggut. Setelahnya, Alfa melirik Alfi sekilas. Cowok itu sudah sibuk dengan camilan. Dengan begitu, berarti Alfi tidak menaruh rasa curiga lagi padanya.

Alfa menghembuskan napas pelan. Ia segera bangkit berdiri. Seharusnya ia ganti seragam, malah duduk anteng di dekat Alfi. Bisa-bisanya ia lupa dengan tas dan sepatu yang masih melekat.

"Gue ganti baju dulu. Lo gak mau ganti, Yon? Lo bisa pake baju gue." Alfa melepas tas yang tersampir di baju dan ia letakkan di sebelah tangan.

"Enggak, Fa. Gue bentar lagi juga pulang. Cuma mampir makan kue coklat ke sini." Deon terbahak dan ia perlihatkan botol camilan cokelat yang sama seperti yang di makan oleh Alfi.

Alfa ikut tertawa. "Habisin aja. Di dapur dalam lemari masih banyak. Punya Alfi. Dia maniac cokelat."

"Boleh bungkus pulang nih." Deon tertawa dan setelahnya ia sumpal mulut dengan camilan cokelat itu. Rasanya sangat enak. Buat Deon ketagihan makannya.

"Boleh. Ntar gue bungkusin." Alfi meletakkan botol camilan ke meja. Ia tidurkan badan dan memeluk bantal. Ia ingin melepas penat karena seharian tadi ada di sekolah.

"Arvin gak mampir ke sini?" tanya Deon yang masih anteng duduk di sofa. Ia melirik ke atas, ke arah kamar Alfa. Cowok itu tidak ada di sana. Mungkin sudah masuk ke dalam kamar.

"Enggak. Arvin langsung pulang. Mungkin ada kesibukan lain," jawab Alfi dengan kedua mata yang sudah ia pejamkan.

"Mungkin." Deon mengangguk singkat. Kembali ia makan camilan dan ia sandarkan punggung ke sofa.

***

Alfa sudah ganti seragam dengan baju kaos yang berwarna hitam putih. Ia mendudukkan diri di kasur dengan pelan. Punggungnya masih terasa sakit.

Alfa meraih bantal dan ia masukkan tangan ke dalam bantal yang terbungkus dengan rapi itu. Setelah mendapati sesuatu di sana. Ia bawa keluar dan menatapnya dengan sendu. Sampai kapan ia akan bertahan dengan obat itu? Alfa merasa bosan minum obat tiap hari.

"Gue minta maaf udah bohong sama lo, Fi. Gue cuma gak mau lo jadi kepikiran tentang gue. Yang gue mau, lo harus fokus sama kesembuhan lo."

Alfa menampilkan senyum tipis. Ia hanya ingin kembarannya itu sembuh dan kembali bersikap seperti Alfi yang dulu. Alfi yang selalu ceria, semangat dan suka banyak teman. Ia tidak ingin orang merasa sedih dan kasihan kepadanya. Alfa yakin, ia pasti akan sembuh suatu saat nanti.

Alfa membuka tutup botol dan ia keluarkan dua buah obat dari sana. Setelah ia ambil, kembali ia masukkan botol obat ke dalam bantal. Hanya itu tempat yang aman saat ini untuk menyimpan barang rahasia. Alfa juga sering mengunci pintu kamar, agar tidak ada yang masuk ke dalam.

"Gue cuma bisa bertahan karena ini." Alfi tersenyum hambar. Ia tatap obat yang ada di telapak tangan tanpa minat. Ia sangat bosan menelan benda itu setiap hari.

Alfi bangkit berdiri. Ia berjalan menuju meja kecil. Ada air di sana. Ia masukkan air dalam gelas dan segera ia minum obat dengan cepat. Tidak ada tersisa satu obat pun. Setelahnya, Alfa meletakkan gelas pada tempatnya.

"Gak ada yang berubah. Tiap hari hidup gue gini-gini aja. Gue harus nelen obat tiap hari. Gue muak," lirih Alfa dengan sangat pelan.

Alfa berbalik badan dan menuju ke kasur. Ia naik ke atas dengan badan yang kembali terasa lemas. Memang, pura-pura kuat selalu butuh banyak tenaga. Saat ini, tenaga Alfa terasa terkuras habis. Ia harus istirahat agar bisa kembali merasa baikan.

Kedua bola mata Alfa menatap langit-langit kamar. Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benak kepalanya. Salah satunya, apakah yang akan terjadi jika ia sudah tidak ada lagi di dunia ini?

Air mata menetes begitu saja dari pelupuk mata Alfa dan membasahi bantal yang tengah ia tiduri. Apakah Alfi dan kedua orang tuanya masih bisa bahagia jika ia suatu saat nanti benar-benar pergi jauh? Apakah Alfi akan bisa terbiasa tanpanya? Apakah semua akan berjalan baik-baik saja?

"Sampai kapan pun gue gak akan pernah siap pergi jauh dari mereka." Alfa menyeka air matanya dengan tangan yang bergetar. Ia teramat takut jika harus berjauhan dengan saudara dan kedua orang tuanya.

Alfa membiarkan air matanya mengalir semakin deras. Inilah Alfa yang sebenarnya. Ia hanya cowok lemah yang pura-pura kuat. Cowok rapuh yang pura-pura tegar, hanya untuk membuat kembarannya merasa terlindungi. Ia harus jadi jagoan di mata Alfi yang tengah mengalami trauma. Ia harus selalu ada untuk Alfi. Dan ia harus terlihat kuat di kedua mata orang tuanya. Hanya ia yang di harapkan oleh mereka.

"Gue cuma manusia biasa yang sedang berpura-pura tegar. Topeng yang gue kenakan berhasil nipu mereka dan menganggap gue selama ini baik-baik aja." Alfa mengulas senyum getir dan kembali menyeka matanya yang basah.

"Ini lah Alfa yang Ada di balik topeng."

See you next part.