Di dalam mobil Fadil, Nindia hanya diam saja menatap ke jalanan. Banyak pertanyaan dalam hati nya. Siapa Fadil? Kenapa dia bersikap seperti ini? Suka memaksa. Nindia jadi teringat kembali akan Ricki. Ricki yang awal mendekatinya pun selalu suka memaksa,walau Nindia tahu Ricki begitu karena menyayanginya.
Dan sejujurnya itu memberikan kebahagiaan tersendiri untuk Nindia karena dari awal mengenal sosok Ricki,Nindia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama walau dia tidak berani berharap. Bisa di cintai Ricki adalah mimpinya yang jadi nyata. Rick,aku sangat merindukanmu! Batin Nindia.
"Heeyy malah ngelamun. Ngelamunin saya yang tampan ini, ya?" goda Fadil.
"Iiihh paan!" sahut Nindia lirih. Tuan Fadil juga orang yang sangat percaya diri. Kok sama juga seperti Ricki. Nindia membatin.
"Hahahhaa. . .Rumah mu di mana? Apa kita muter-muter saja?" tanya Fadil sambil tertawa geli melihat tingkah Nindia.
"Di belakang komplek P, dekat masjid A!" jawab Nindia.
"Hmm, bukankah itu kampung kecil yang tertutup perumahan? Jadi kamu tinggal di sana?" Fadil terlihat kaget.
"Iya. Memangnya masalah kalau saya tinggal di sana? Lagipula orang-orangnya baik."
"Hmm Oke . . ." Fadil pun mengendari mobilnya menuju rumah Nindia dengan santai.
"Kenapa tuan mesti repot mengantarkan saya pulang?" tanya Nindia.
"Entah lah,hanya ingin mengantar saja," jawab Fadil.
"Aneh! Tadi kan si Kety ingin di antar sama tuan,kenapa tidak mau?" tanya Nindia heran.
"Entah lah,"
"Dasar orang aneh," Nindia berkata lirih.
15 menit mereka sampai di simpang jalan menuju daerah tempat Nindia tinggal. Dari simpang jalan butuh waktu kurang lebih 10 menit menuju rumah Nindia di perkampungan yang mulai banyak penduduknya.
Rumah Nindia tidak terlihat dari jalan mobil karena masuk ke gang yang lebih kecil hanya bisa di lalui sepeda motor. Mobil pun hanya bisa sampai depan gang saja. Nindia turun dari mobil memasuki gang. Nindia melihat putrinya Cinta yang sedang bermain bersama anak tetangga. Dia pun langsung berjalan ke arah putrinya itu.
"Sayangnya bunda. . ." Nindia meraih Cinta, menggendong dan menciuminya dengan gemas.
"Bunda, turunin ! Cinta sudah besar malu sama teman Cinta!" wajah Cinta cemberut sambil melirik ke arah teman-temannya.
"Uuhh . .. Sayangnya bunda sudah besar ya! " Nindia segera menurunkan Cinta sambil mencubitnya dengan gemas.
"Iya donk," jawab Cinta.
"Ayo pulang sudah mau maghrib,nanti mak nyariin loh!" Nindia menuntun Cinta agar mengikutinya pulang ke rumah.
"Bunda??" ucap Fadil dengan kening berkerut mendengar kata "bunda" . Dia tiba-tiba sudah ada di belakang Nindia. Nindia pun reflek menoleh.
"Tuan? Kok tidak pulang?" tanya Nindia kaget.
"Kamu asal turun saja! Pamit saja tidak apalagi membayar ongkosmu! " jawab Fadil dengan mimik wajah di bikin galak.
"Apa,bayar?? Tuan yang paksa antar saya kok!" sahut Nindia tak kalah galak.
"Apa maksud kata "bunda" tadi??" tanya Fadil menatap Nindia dan Cinta bergantian.
"Om tampan ini siapa, bunda?" tanya Cinta sambil menatap heran ke arah Fadil.
"Ooh iya tuan, kenalin ini Cinta putri saya. Cinta, kenalin ini om yang antar bunda pulang."
"Putri? Maksud kamu?" Fadil seakan tak percaya dengan pendengarannya.
'Iya ini Cinta putri saya, tuan!"
"Jadi kamu sudah menikah?" Fadil mengernyitkan dahinya.
"Sayang, kamu masuk dulu, ya! Bunda mau bicara dulu sama om! " perintah Nindia ke Cinta,sambil mengusap kepalanya dan menuntunnya masuk ke rumah.
"Baik, bunda," Cinta pun masuk ke rumah
"Maaf tuan, sebaiknya tidak bicara soal itu di depan putri saya!" ucap Nindia sambil menundukkan kepalanya.
"Saya tanya, kamu sudah menikah?" Fadil menatap lekat ke arah Nindia.
"Pentingkah tuan tahu kehidupan pribadi saya?" tanya Nindia.
"Tentu saja kalau kamu masih mau bekerja di restoran!" Fadil menggertak Nindia.
"Jadi kalau saya tidak beritahu, saya akan di pecat begitu, tuan??" Nindia pun balas menatap Fadil.
"Tentu saja."
"Tuan bisanya mengancam saja!" sahut Nindia kesal.
"Ayo katakan!"
"Saya tidak mau!"
"Ya sudah saya tidak akan pulang! Saya akan tetap di sini sampai kamu mau mengatakannya!" Fadil pun duduk di teras di samping Nindia.
"Ya sudah terserah tuan saja sampai kapan mau tetap di sini! Saya mau masuk!" Nindia bangkit dari duduknya tapi dengan cepat tangannya di tahan oleh Fadil. "Lepas tuan, saya mau mandi sebentar lagi maghrib!" Nindia berusaha melepaskan pegangan tangan Fadil. Tapi Fadil tak mau kalah.
"Katakan dulu!" Fadil masih memaksa.
"Dasar tukang maksa!" Nindia menatap tajam ke
arah Fadil yang di balas senyuman oleh Fadil.
"Ayo katakan sekarang nanti suami kamu keburu pulang, loh!"
"Hmm . . .Sa-saya tidak punya suami. Saya belum pernah menikah," Nindia menjawab lirih sambil menepiskan pegangan tangan Fadil saat Fadil mulai melonggarkan pegangannya setelah mendengar penjelasan Nindia.
Mereka saling menatap beberapa detik sampai tidak terasa ada bulir hangat mengalir di pipi Nindia. Nindia pun langsung masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
Fadil masih menatap tanpa berkedip sampai Nindia hilang di balik pintu. Jadi kamu belum pernah menikah. Fadil membatin sambil menyunggingkan senyum tipis. Fadil pun segera meninggalkan rumah Nindia.
Nindia segera ke kamar mandi, dia ingin menangis mengingat semua hal dalam hidupnya tanpa seorang pun tahu termasuk nek Wati dan juga putrinya.
Seperti biasa selepas shalat maghrib berjamaah, Nindia, nek Wati dan juga Cinta akan lesehan di ruang tamu untuk makan bersama. Memang ruang tamu mereka tidak memiliki kursi, kursi di dapur pun tidak cukup untuk bertiga. Tapi mereka tetap menikmati makan malam mereka dengan lahap.
Selesai makan malam, Nindia akan mengajari Cinta belajar sedangkan nek Wati sesekali ikut menyimak sambil bercanda bertiga. Mereka terlihat bahagia walau hidup dalam kesederhanaan.
Tok tok tok . . .
Saat sedang asik bercanda, terdengar suara ketukan dari luar rumah. Nindia pun bergegas membuka pintu.
"Tu. .an?" teriak Nindia kaget.
"Haayy. . .!" sapa Fadil sambil tersenyum.
"Ada apa malam-malam tuan ke rumah saya?" tanya Nindia dengan wajah tidak suka.
"Saya ingin bertemu Cinta!" Fadil masih memasang senyum manisnya.
"A-pa??" Nindia makin kaget.
"Apa Cinta ada?" Cinta yang mendengar namanya di sebut langsung keluar mendekati bundanya.
"Bunda? Ada yang cari Cinta, ya?" tanya Cinta penasaran lantas menoleh ke arah Fadil.
"Iya sayang, om cari Cinta. Ikut om jalan-jalan yuk? Nanti om belikan coklat yang banyak!" Fadil merayu Cinta.
"Beneran, om?" Cinta tersenyum semringah.
"Tidak-tidak, Cinta tidak boleh kemana-mana, ini sudah malam!" Nindia dengan cepat melarang.
"Baru juga pukul tujuh, belum malam kok. Sebentar saja. Ayo Cinta!" Fadil ingin meraih tangan Cinta tapi cepat di tepiskan oleh Nindia. Justru itu membuat tangan Nindia yang di pegang Fadil.
"Biarkan Cinta ikut saya!"
"Tidak bisa! Saya tidak ijinkan putri saya pergi dengan orang asing!"
"Kalau begitu kamu juga ikut! Ayo cepat nanti kemalaman! Kalau tidak . . .!" Fadil pun menatap Cyndia tajam.
"Pasti mau mengancam lagi . . .!" Nindia memutar bola matanya jengah. Harus berdebat dengan Fadil membuat Nindia malas. Nindia lalu menoleh ke belakang, melihat nek Wati.
"Nek,aku keluar sebentar sama Cinta boleh?" Nindia meminta ijin pada nek Wati yang bingung melihat perdebatan mereka.
"Malam nek, saya ajak Cinta keluar sama Diah boleh, ya?" Fadil pun ikut meminta ijin sama mak.
"Maaf anda siapa?" nek Wati berdiri.
'Saya Fadil, teman kerja Diah di restauran," jawab Fadil dengan ramah sambil mengulurkan tangannya pada nek Wati yang langsung menerima uluran tangan Fadil.
"Ya sudah, mak ijinkan tapi jangan lama-lama!" mak lalu kembali masuk ke rumah.
Nindia pun ikut menemani Cinta pergi bersama Fadil. Di dalam mobil, Nindia sengaja duduk di belakang sementara Cinta di minta Fadil duduk di samping nya.
"Cinta sudah sekolah belum?" tanya Fadil seraya menoleh ke arah Cinta yang duduk di sebelahnya.
"Sudah, om. Cinta sekolah TK." jawab Cinta.
"Waah Cinta sudah besar, ya. Bagaimana di sekolah pasti Cinta banyak temannya, ya ?"
"Tidak banyak kok, om. Ada teman Cinta yang baik dan ada yang jahat."
Fadil mengernyitkan dahinya, "Jahat kenapa?"
"Ya jahat om. Suka ambil dan lempar pensil Cinta jadi Cinta hampir tiap hari kehilangan pensil. Terus suka ngatain Cinta tidak punya ayah. Iya kan, bunda?" Cinta menoleh ke arah bundanya dengan wajah sedih. Nindia hanya bisa mengelus lembut rambut Cinta dari belakang.
"Benarkah? Besok beritahu om siapa anak yang nakal itu, ya!" Fadil pun mengelus rambut Cinta. Cinta jadi tersenyum.
"Benar om, nek Wati juga tahu! Besok om mau ke sekolah Cinta, ya?" Cinta menatap ke arah Fadil.
"Tentu saja! Besok pagi om akan antar Cinta ke sekolah! Cinta tidak boleh sedih lagi, ya!"
"Asiiikk. . . Naik mobil ini kan, om?"
"Iya donk! Cinta suka naik mobil ini?"
"Suka sekali, om! Cinta belum pernah naik mobil sebagus ini. Kalau naik angkot sering. Iya kan, bunda?" Cinta kembali menoleh ke arah Nindia membuat dada Nindia menjadi sesak. Anakku,maafkan bunda. Batin Nindia.
"Ya sudah Cinta tidak boleh sedih lagi, ya! Kalau perlu apa-apa, Cinta bilang sama om, ya!"
"Oke om!"
Mobil Fadil pun membelah malam. Cinta terlihat sangat ceria. Dia belum pernah keluar malam-malam apalagi dengan mobil mewah. Setiap melihat gedung atau lampu-lampu jalan,ada saja yang dia tanyakan. Fadil pun dengan penuh perhatian menjelaskan. Sampai lah mereka di sebuah toko. Fadil pun memarkirkan mobilnya di toko itu.
"Ayo, Cinta ambil mana yang Cinta suka!" ucap Fadil ketika mereka sudah di dalam toko.
"Bunda? Cinta boleh ambil?" Cinta menoleh ke arah bundanya.
"Ambil satu saja, sayang!" jawab Nindia.
"Ambil semua yang Cinta suka! Kan Cinta sering kehilangan pensil!" titah Fadil sambil melirik ke arah Nindia. Nindia hanya diam.
"Benarkah, om?" Fadil pun mengangguk.
Kemudian Cinta mengambil 2 buah pensil dan penghapus lalu menyerahkan pada Fadil.
"Looh kok cuma ini?" tanya Fadil.
"Iya om. Cinta hanya butuh ini!" jawab Cinta polos. Fadil hanya menatap Cinta dengan kagum.
Anak ini masih kecil tapi sangat tahu diri, tidak suka memanfaatkan orang. Batin Fadil. Tanpa sepengetahuan Nindia dan Cinta, Fadil memborong perlengkapan sekolah Cinta sampai tas sekolah juga.
Mereka pun kembali ke mobil. Tak lama mobil kembali berhenti di toko lain dan mereka pun masuk ke sana.
"Ayo duduk!" Fadil menyilahkan Nindia dan Cinta duduk. Ternyata mereka masuk ke toko khusus coklat. Fadil pun memilih beberapa menu coklat beserta minuman nya.
"Hmm . . . Enak sekali om!" Cinta terlihat sangat senang dan lahap memakan kue coklatnya. Fadil pun tersenyum haru.
Selesai menyantap kue coklatnya, mereka pun pulang setelah sebelumnya Fadil membeli beberapa kue coklat.
"Ini buat Cinta dan ini buat kamu, bawa masuk semua!" Fadil menyerahkan pada Nindia dua kantong besar untuk Cinta dan satu kantong kecil untuknya saat sudah sampai di rumah.
"Loohh ini banyak sekali, tuan!" Nindia menatap bingung pemberian Fadil.
"Tidak masalah. Ayo bawa masuk, kasihan Cinta sudah mengantuk. Saya pulang dulu. Ingat besok pagi saya antar Cinta dan kamu!" Fadil pun segera pamit dan meninggalkan Nindia yang masih terpaku di tempatnya berdiri.