Suasana rumah di pagi ini sangat berbeda, tidak seperti biasa saat dulu masih tercipta kehangatan dari sepasang kakak beradik yang selalu berhasil membuat ayah dan ibu menggeleng-gelengkan kepala. Sarah yang selalu berceloteh tentang banyak hal, sukses membuat suasana menjadi nyaman dan riang.
Tapi kali ini sungguh berbeda. Sarah tidak lagi memancarkan gelak tawa saat jam meja makan tiba. Aku yang pertama datang dan duduk di kursi makan. Lalu Sarah datang dengan genggaman ponsel di tangannya. Benar, Sarah bahkan tidak menghiraukan keberadaanku yang berada tepat di depannya.
Tatapannya hanya berfokus pada layar ponsel yang ia lihat. Tangannya sangat lincah menggulirkan ke bawah dan ke atas layar ponsel. Entah apa yang sedang ia lihat. Yang jelas, Sarah berusaha memalingkan pandangannya dari pandanganku.
Diam tanpa kata, lirik dan lirik. Tidak ada suara lain selain bunyi desis dari dapur yang menandakan masakan yang ibu buat akan segera datang menghiasi kekosongan di atas meja makan ini.
Suara entak kaki dari dapur dan semilir aroma masakan yang hendak ibu bawa, menggugah selera makanku. Biasanya, Sarah selalu berceloteh ketika ibu datang membawakan masakan. Tapi kali ini Sarah hanya memerhatikan ibu menaruh masakan-masakannya.
Setelah semua siap, ibu memanggil ayah yang sedang membaca koran pagi di teras rumah. Tanpa menunggu ayah datang, Sarah sudah lebih dulu menaruh nasi dalam piring. Ia tampak terburu-buru.
"Aku tahu, kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku Sarah," imbuh dalam hati seraya menilik wajah Sarah yang menunduk.
Bukan hanya aku yang menyadari sikap Sarah yang berbeda. Tapi ibu dan ayahku juga. Lalu ayah dan ibuku datang. Seketika tatapan mereka tertuju padaku. Meski Sarah bersikap seperti itu, ayah dan ibu tidak berani menanyakan langsung padanya. Maka dari itu, lewat tatapan tajam mereka padaku bermaksud bahwa, aku harus mencari tahu tentang suasana hati Sarah.
Menit demi menit berlalu. Sarah telah menyelesaikan sarapannya. Ia langsung bergegas kembali ke kamar dan hanya berpamitan pada ibu. Tak lama kemudian, aku menyusul Sarah.
Tak biasanya Sarah mengunci diri dalam kamar. Ku ketuk pintu kamar Sarah dengan pelan. Tak lama kemudian Sarah pun datang dan membuka pintu. "Apa aku ganggu?" sejenak ku menahan langkah kakiku. "Tidak," sahut Sarah.
Aku berjalan masuk, sedang Sarah duduk di kursi meja rias yang tertata tapi. Aku duduk di atas kasur yang berdekatan dengan meja riasnya. "Kamu, ada masalah apa Sarah?" Sarah terdiam sejenak lalu Ia berdiri dan menjawab pertanyaanku. "Aku tidak apa-apa. Kenapa sih, kalian berlebihan sekali?"
Sontak perkataan Sarah membuatku emosi. "Bukan berlebihan. Tapi aku, ayah dan ibu khawatir dengan kamu!" Sarah duduk kembali dan bicara pelan padaku. "Oke ... Maaf. Tapi saat ini, aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Aku mohon mengertilah!"
Aku menatap tajam wajah adikku yang kini sudah beranjak dewasa. Mungkin ini saatnya aku melepaskan Sarah untuk mengatasi masalahnya sendiri. "Ya sudah, aku pergi." Sarah menganggukkan kepala dan kembali memainkan ponsel miliknya.
Aku ke luar tanpa menghasilkan jawaban apa pun dari Sarah. Aku tidak punya alasan untuk berterus terang pada ibu dan ayahku. Tapi, dengan sikap Sarah yang seperti ini, aku menjadi lebih leluasa mengatasi masalahku dengan Kinan tanpa rasa ingin tahu dari Sarah.
Aku pun kembali ke kamar dan merenungkan permasalahanku yang masih menggantung dengan Kinan. Sekilas terbayang wajah cantik Kinan yang sangat mirip dengan Martha.
Dulu, ketika melihat Martha pertama kali, aku teringat akan Kinan. Sekarang, ketika melihat Kinan, aku teringat akan Martha. Tuhan, siapa sebenarnya wanita yang ku cintai? Kenapa wajah mereka begitu serupa?
Cukup sudah renunganku tentang Kinan. Bisa gila jika memikirkan wajah mereka yang sangat mirip. Lebih baik, aku menemui Kinan di tempat kerjanya. Aku beranjak dari tempat tidurku, dan mengenakan jaket juga mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja.
Aku pergi untuk memantapkan hatiku pada Kinan. Bukan masalah jika aku harus berjodoh dengan wanita yang sudah tidak perawan. Aku lelaki, sudah tugasku memberi arahan pada wanitaku yang sempat tersesat. Kinan, aku datang.
Aku ke luar kamar dan pergi ke dapur untuk berpamitan pada ibu. Lalu, Sarah datang. Sepertinya Ia juga akan pergi. Sarah berjalan melewatiku yang sedang meneguk segelas air putih di dapur. "Bu, aku berangkat dulu, ya." Sarah mencium tangan ibu tanpa menegur sapa padaku.
Sarah pun pergi, kemudian aku menanyakan ke mana Sarah akan pergi pada ibu. Ibu bilang, Sarah hendak pergi ke Rumah Sakit untuk cek up. Aku pamit pada ibu dan pergi ke luar rumah.
Saat ku tutup pintu rumah, aku melihat Sarah masih berdiri menunggu taksi onlinenya datang. "Mau ku antar?" Sudah pasti, tawaranku Sarah tolak. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan masih bungkam.
"Ya, sudah aku pergi dulu."
~~~
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Suasana hati Felix sangat tidak bersemangat karena hari ini adalah jadwal Martha memeriksakan kandungannya. Hari ini juga kali pertama Felix mengantar sang istri sejak pertama kehamilan Martha.
Martha sudah siap pergi dan menunggu Felix di halaman rumahnya. Martha pun memanggil Felix agar cepat ke luar karena tidak ingin terlambat bertemu Dokter.
"Ayo, kita pergi." Arian ke luar dan mengajakku untuk naik ke dalam mobil. Senyuman lebar yang terpancar di wajah Martha, mengisyaratkan bahwa suasana hatinya sangat bahagia kala melihat sikap Felix yang kian hari kian baik padanya.
30 menit kemudian, Martha dan Felix tiba di Rumah Sakit Mutiara Kasih. Hal pertama yang mereka lakukan adalah melakukan pendaftaran. Setelah pendaftaran selesai, Arian izin untuk pergi ke toilet. Sementara Martha duduk di kursi koridor Rumah Sakit yang sedikit ramai.
Felix pun memasuki koridor yang menuju ke toilet.
BRUG~~~
Felix menabrak seseorang di depannya.
AWW
Teriak wanita yang terjatuh. Wanita itu pun bangun dengan dibantu oleh Arian. "Maaf, Mbak!"
DEG
Ternyata wanita yang Felix tabrak adalah Sarah. "Felix ... Sedang apa di sini?" Felix menggiring tubuh Sarah ke area pojok toilet. "Shhh~ Aku ke sini untuk mengantar istriku mengecek kandungannya."
"Martha ...," getir Sarah. Ia pun takut jika Martha melihatnya di depan Felix. Bisa-bisa Felix tahu bahwa Sarah mengenal Martha. Pasti Sarah juga dalam bahaya jika Felix tahu.
Kemudian Sarah ke luar. Tak lupa mengenakan masker dan juga sweater bertopi. Ia jalan menunduk melewati Martha. Setelah jauh dari jangkauan Martha, Sarah mengintip gerak-gerik Martha. Datang lah Felix yang kembali dari toilet. Mereka tampak harmonis, Sarah cemburu melihatnya. Walaupun, Ia tahu bahwa semua yang Felix lakukan terhadap Martha hanyalah sebuah kepura-puraan.
Sanggupkah Sarah menahan cemburunya terhadap Martha?