Sarah sedang duduk seraya meneguk segelas alkohol di meja bar. Seakan ia kembali terperosok dalam kehidupan malam yang sudah ia tinggalkan selama bertahun-tahun. Tentu saja Klub yang ia sambangi adalah Shelter Club.
Peristiwa yang ia lihat tadi di Rumah Sakit, itu sangat membekas. Sarah melihat perut Martha yang semakin besar dan perhatian Felix juga begitu besar kepadanya. Meski Felix hanya berakting, tapi ia tidak bisa melihat di mana letak kebohongan Felix pada Martha. Semua itu, terasa terasa begitu nyata bagi Sarah.
Bukan hal mudah bagi seorang perempuan yang menjatuhkan perasaannya pada lelaki yang sudah beristri. Apa lagi Sarah harus menyembunyikan semua ini dariku.
Mengendarai motor seraya menghirup angin malam, aku mencari Sarah tanpa tahu arah dan tujuan. Hingga waktu berlalu begitu cepat. Ku lihat jarum jam yang mulai menunjukkan tengah malam dan aku masih di jalanan mencari Sarah.
Aku berhenti sejenak di persimpangan jalan untuk coba menghubungi lagi Sarah. Di saat akan menelepon Sarah, ternyata ia meneleponku. Tapi, ketika ku angkat, bukan Sarah yang bicara. "Halo ... Apa ini dengan Adrian? Apa anda bisa datang ke Shelter Club? Karena wanita pemilik ponsel ini mabuk berat."
Aku menutup teleponnya dan bergegas pergi ke Shelter Club untuk menjemput Sarah. Suara bising motorku mulai terdengar. Aku melaju kencang karena Sarah sedang tidak baik-baik saja.
Shelter Club tidak jauh dari tempatku berhenti. Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai di sana. Tibalah saat ini di Shelter Club. Aku siap masuk dan menjemput Sarah yang berada di dalam.
Entakkan kaki ku terasa kala menginjak anak tangga untuk masuk ke dalam Club. Setelah berada di dalam, aku tidak melihat Sarah. Lalu ku tilik sudut demi sudut ruangan yang banyak sekali orang-orang yang sedang mabuk.
Lampu kerlap-kerlip ini membuatku pusing. Kemudian samar terlihat seorang wanita yang sedang tidur tersungkur di atas meja bar. Dari penampilannya, itu adalah Sarah. Aku menghampirinya dan mencoba membangunkan Sarah.
Mata teler dan bergumam tidak jelas, itu lah kondisi Sarah saat ini. Lalu aku membawanya ke luar Club. Aku menopang tubuhnya hingga menemukan kursi yang berada dekat parkiran Club.
"Sarah ... Sarah ... Hei! Bangun!" Aku menepuk lembut pipi Sarah yang tampak memerah. Dengan mata telernya, Sarah mencoba membuka kedua matanya. "Adrian!" Sarah menangis kala melihatku. Ia memelukku dan kembali menjatuhkan derai air mata.
"Sarah bangun! Aku tidak mungkin bawa kamu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini!" Aku menepuk keras pipi Sarah.
Sarah berusaha bangun dan membuka matanya yang sangat berat. Kemudian Sarah menyeka pipinya yang basah, dan tertawa seraya bergumam.
"Sarah! Hal apa yang membuatmu menjadi seperti ini" Nada bicaraku sedikit tinggi. Lalu yang Sarah lakukan lagi-lagi membuatku jengkel. Dia kembali bergumam. Dia mengatakan, "Aku cinta dia ... Aku cinta dia"
Aku mengerutkan alis dan bertanya pada Sarah. "Dia siapa, Sarah?" Seketika sorot matanya begitu tajam. Sarah terus bergumam, aku terkejut karena kali ini Sarah bergumam tentang diriku. "Ini semua salahmu, Adrian!"
Aku terdiam dan mengerutkan alis. "Kenapa Sarah bergumam seperti itu? Sarah, apa salahku?" desisku dalam hati.
Satu jam berlalu. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 01 malam. Sudah satu jam ini aku menyandarkan kepala Sarah di pundakku. Ku biarkan ia tidur sejenak hingga sadar.
~~~
"Minggu malam yang kelabu. Tetapi kegelapan yang telah bersemayam lama di hati ini, telah berubah menjadi cahaya yang semakin bersinar walau belum tentu arah." Renungan Kinan malam setelah bertemu denganku, menuai pro dan kontra.
Satu sisi, ia merasakan getaran cinta padaku. Tapi satu sisi, Kinan merasa tidak pantas atau layak untukku. Kehidupannya yang kelam membuatnya kalang kabut. Dosa-dosa manis yang Kinan perbuat, menguatkan bahwa ia merasa tak diinginkan berada di dunia ini.
Kinan membiarkan jendela kamarnya terbuka lebar. Saat ia duduk di sela jendela yang terbuka, ia mendengar suara Felix yang sedang bicara di telepon. Kinan masuk ke dalam dan mengintip Felix. Suara Felix terdengar begitu jelas. Sepertinya, ia berada tepat dekat kamar Kinan.
Terdengar suara dengan nada tinggi yang di lontarkan Felix pada orang yang sedang ia ajak bicara.
"Sudah lah, tidak usah berbelit. Mau apapun penjelasan kalian, aku tetap pada pendirianku bahwa aku tidak akan pergi meninggalkan Jakarta.
Kinan terdiam mendengar Felix berkata seperti itu. Tidak ada hal lain yang membuat dirinya merasa aneh selain ingin tahu apa maksud dari Felix berbicara seperti itu. Felix pun kembali masuk rumah lalu terdengar ia mengunci pintu. Tidak mungkin bagi Kinan menyelidiki apa yang terjadi pada sang kakak. Lebih baik bagi Kinan adalah istirahat dan melanjutkan misi dalam hidupnya pada esok hari.
ARGH~~~
Felix berdiri menatap cermin besar yang berada di kamar mandi. Teriakannya membuat sang istri Martha terkejut hingga terbangun dari tidurnya. "Kenapa, Felix? " teriak Martha. Seketika Felix pun terkejut mendengar Martha meneriakinya. "Aku tidak apa-apa, kamu tenang saja!"
Martha pun kembali tertidur dan tak menghiraukan apa yang sedang terjadi pada suaminya. Sementara Adrian di dalam sangat terlihat kacau. Ternyata yang meneleponnya tadi ketika di luar adalah ajudan sang ayah yang berada di Bangkok. Ajudan itu memberitahukan bahwa Felix hendak di suruh pulang oleh Joseph Sang Ayah karena ia sedang sakit keras. Keadaan sakitnya Joseph, lantas tidak membuat hati dan perasaan Felix luluh. Perasaannya masih sama saja, dendam!
Sesungguhnya, Felix tidak ingin hidup seperti ini. Tapi keadaan lah yang memaksa dirinya harus menjadi jahat. Felix merasa terluka mendengar bahwa ayahnya sedang sakit keras. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Felix sangat menyayangi ayahnya.
Felix menangis, melipat tangannya dan berkata dalam hatinya seraya menatap tajam pantulan wajahnya dari cermin. "Jangan menyerah, Felix! Sedikit lagi. Ingatlah air mata ibumu kala meneteskan air mata karena perselingkuhan ayahnya. Dan, lihatlah Kinan yang hidup tak karuan saat Renata, ibu dari istrimu yang tega membuangnya!"
Felix terpukul. Ia hanya ingin keadilan bagi ibu dan adik tirinya, Kinan. Meski Kinan adalah anak dari hasil perselingkuhan, Felix sangat menyayanginya. Karena baginya, Kinan sama sekali tidak pantas menderita.
Felix pun ke luar dari kamar mandi. Ia mendapati Martha sedang tertidur lelap. Kemudian Ia duduk di samping Martha dan menatap wajah sang istri yang terlihat menggemuk karena kehamilannya.
"Ini memang bukan salahmu, Martha tapi, ibumu tega membuang Kinan demi memilihmu juga ayahmu. Ia menutupi aibnya dengan membuang Kinan."
"Bagaimanapun juga, aku akan mencari tahu, apa yang terjadi sehingga ibumu tega melakukan semua itu!" lirih Felix dalam hati.