Kinan Prameswari. Sebuah nama dari Pengasuh yang bernama Ibu Rita untuk bayi mungil yang ia temukan di depan pintu Panti Asuhan Kasih Bunda tempo dulu. Suara tangisannya nyaring terdengar ketika pagi tiba. Tidak ada jejak apapun dari sang Ibu kandung yang tega membuangnya. Hanya selimut bayi berwarna merah muda dan botol susu yang berada di tubuhnya.
Kinan tumbuh menjadi anak yang pendiam. Tidak mudah menjadi akrab dengannya. Bahkan, ia seperti patah semangat kala semakin besar, semakin Ia sadar bahwa Ia telah dibuang oleh Ibu kandungnya sendiri.
Bukan salahnya, jika ia menjadi anak yang membenci sosok Ibu kandung meski tak pernah tahu satu titik pun wajahnya. Di dalam hati kecilnya, Kinan terperosok ke dalam lubang kepedihan yang amat dalam.
Kini ... Sosok Felix datang menyambangi dirinya yang tengah putus asa. Felix mengaku sebagai kakak kandung Kinan. Tapi entah kenapa, Kinan merasa tidak aman ketika berada di dekat Felix.
Kinan Prameswari yang bertekad tidak mau lagi mencari siapa orang tua kandungnya, seketika buyar saat Felix menampakkan batang hidungnya di hadapan Kinan. Tekad itu seakan tak pernah berada dalam hatinya. Kinan sangat merindukan kasih yang sesungguhnya dari orang yang menganggapnya benar-benar sebagai keluarga.
Kinan menyambut kedatangan Felix hingga Felix berhasil membawanya ke rumah dan tinggal bersama dengan Martha sang istri. Walaupun, Felix tidak langsung membawa Kinan ke rumahnya, Ia tetap percaya bahwa Felix memang kakak kandungnya.
Tuhan memang tak pernah tidur, Ia selalu mengiringi langkahku. Mungkin, hari kemarin ku terpuruk. Bahkan tak tahu arah pulang. Tapi, kini Tuhan punya rencana lain dengan memberiku setitik cahaya yang akan ku gapai hingga menyinari hidupku.
Cahaya itu adalah Kinan Prameswari ...
Seorang gadis berusia 18 tahun yang masih bersekolah namun gencar mencari uang. Ia bekerja di salah satu Cafe untuk 3 kali dalam seminggu. Mungkin usianya memang tergolong sangat muda, tapi dengan penampilannya yang dewasa, tidak ada sosok anak remaja dalam dirinya.
Siapa sangka, dibalik sosoknya yang dewasa dengan usia dini, Kinan Prameswari menyimpan sebuah rahasia besar dalam dirinya. Dan, aku berhasil membuatnya menceritakan apa yang sudah terjadi secara rinci.
Setelah satu minggu tidak bertemu dengan Kinan, akhirnya ku putuskan untuk mengejar cahaya itu. Aku memberanikan diri untuk mendekati Kinan. Entah ini hanya sebagai pelarian atau memang rasa ini tulus untuknya. Bukan ku naif, tapi benih-benih cinta ini tumbuh seiring berjalannya waktu ketika melihat Kinan.
Ku datang kembali Cafe tempat Kinan bekerja. Tapi, tidak tampak dirinya di sana. Seperti biasa, Pelayan datang saat aku mulai duduk di meja pilihanku. Setelah ku pesan minuman favorite ku yaitu satu cup ice coffee, aku menanyakan tentang Kinan pada Pelayan yang mencatat pesananku.
"Maaf, Mas. Kinan hanya bekerja 3 kali dalam satu pekan. Dia bekerja hanya saat hari libur yaitu, Jumat, Satu, Minggu."
"Oh begitu, Mbak. Ya sudah terima kasih."
Hari ini mungkin bukan hari keberuntunganku, tapi tak apa, aku kan sudah punya nomor telepon Kinan di ponselku. Justru, ini bagus. Semoga saja, Kinan mau ku ajak untuk sekadar makan siang.
Aku menelepon Kinan, tidak lama kemudian Ia mengangkat telepon dariku. "Halo, Kinan. Kamu tidak kerja hari ini?" Aku sedikit gugup dengan pertanyaanku. Sudah lama sekali tidak merasakan hal semacam ini terjadi padaku. "Tidak, Mas." Suara Kinan tampak lusuh. "Kamu di mana? Mas susul kamu bolehkah?" Aku khawatir dengan Kinan. Karena sejak dulu, aku tahu Kinan adalah orang yang sangat ceroboh. "Aku ada di Rinjani Cafe, Mas."
Belum sempat ku minum ice coffee yang ku pesan tadi, aku bergegas pergi dari Kafe Kenanga tempat di mana Kinan berada. Sepanjang perjalananku, ku berharap pertemuan ini akan menghasilkan jawaban atas perasaanku yang sebenarnya.
Mungkin terlalu dini, tapi ini lah rasa, tidak bisa ditebak dan tidak bisa ditawar kapan Ia akan datang dan dan pergi.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke Kafe Kenanga. Di sana, terlihat wajah cantik Kinan sedang meneguk segelas air yang berada di depannya. Hidangan yang telah di santap habis oleh Kinan pun sedang di angkat oleh Pelayan Kafe.
Aku melangkahkan kakiku menuju cahaya yang sedang meredup itu. Kinan pun melihat kedatanganku dan menyambutnya dengan sebuah senyuman manis yang Ia pancarkan di wajahnya.
"Ada apa? Kok terlihat kusut?" tanyaku.
"Tidak apa-apa, Mas. Oh ya, Sarah apa kabar?"
Kinan memang sedang bertanya soal Sarah. Tapi wajahnya yang seperti itu, memberi kesan bahwa Kinan hanya ingin memancing jawaban atas pertanyaannya. Aku menjawab sesuai keadaan Sarah yang baik-baik saja.
"Tampak nya, Adrian tidak tahu dengan apa yang sedang di lakukan Sarah bersama Felix."
"Kamu ... Suka denganku?"
DEG
Kenapa Kinan bertanya seolah-olah Ia adalah seorang cenayang yang dengan mudahnya menebak isi hati seseorang. Aku gugup dengan kalimat pertanyaan yang Kinan lontarkan. Kinan menatap dalam raut wajahku. Ia tersenyum lalu mengajakku pergi dari Kafe Kenanga.
"Mau ke mana?"
"Sudah, ikut saja," ajak Kinan.
Kinan memintaku untuk pergi ke Jl. Cempaka II yang berada tidak jauh dari Kafe Kenanga. Setelah Kinan menunjukkan rumah yang dituju, mulai ku rasakan resah dalam hati.
Tibalah kami di sebuah rumah kosong. Sebelum menginjakkan kaki di rumah itu, aku bertanya kembali. "Kinan, ini rumah siapa? Untuk apa kita datang ke sini?" Kinan hanya menjawabnya dengan senyuman. Lalu Kinan mempersilahkan aku masuk dan Ia menitahku duduk di atas sofa yang sudah sedikit berdebu.
"Adrian, aku akan menceritakan apa yang telah terjadi selama ini padaku. Tujuanku melakukan ini, agar kamu berpikir dua kali sebelum jatuh terlalu dalam mencintaiku," imbuh Kinan seraya memegang kedua tanganku.
"Adrian ... Kinan yang dulu kamu kenal, dia sudah mati." Matanya mulai bergenang air mata.
"Apa maksud kamu, Kinan?"
"Ya ... Kinan yang kamu lihat saat ini, adalah Kinan yang sudah jera. Dalam arti lain, aku sudah gagal menjaga kesucianku."
"Apa?" aku heran dengan Kinan yang tampak enteng menceritakan soal kesucian dirinya padaku. Dia, seperti sudah benar-benar pasrah dengan hidupnya.
"kenapa bisa begitu, Kinan? Siapa yang mengambil perawanmu?"
"Dia, Nicko. Mantan pacarku yang sudah tega mencampakkan aku setelah mengambil kesucian diriku."
"Kinan ...." Aku memeluk Kinan yang menumpahkan air matanya di depanku. Ia tak kuasa menahan emosi dalam dirinya ketika mengingat peristiwa yang pernah Ia alami saat Ia masih bersama lelaki yang bernama Nicko.
"Lantas, rumah siapa ini?"
"Jadi, rumah ini adalah saksi bisu di mana kesucianku direnggut. Ini adalah rumah Nicko yang Ia berikan kuncinya padaku saat sebelum ia meninggal. Ia bilang, rumah ini sudah tidak dipedulikan orang tuanya karena mereka sangat kaya raya. Nicko menyesali perbuatannya dan menitipkan rumah ini padaku. Ia tidak tahu, bahwa kini, aku yang kini menderita. Rasanya, masih tak rela meski Nicko sudah tiada."
Aku tidak tahu, apakah aku akan terima keadaan Kinan, atau justru meninggalkannya? Entah lah.