Adakah kata yang pantas untuk membalas rangkaian pedih yang telah ia perbuat? Apakah rindu ini masih pantas meski ia yang ku rindukan telah mencampakkan hidupku?
Martha Danira, sempatkah kamu berpikir bahwa peranku sudah kau ambil? Apa aku yang bodoh, sehingga membiarkanmu menari di atas penderitaanku?
Lima bulan setelah menghilangnya Martha ...
Tong besar ini sebentar lagi tidak kosong. Akan ku isi dengan kenangan-kenanganku yang akan ku lebur bersama asap yang perlahan menghilang. Hari ini, tepat lima bulan kehamilan Martha. Lima bulan yang penuh dengan keresahan.
Ku sandarkan punggung ini di kursi taman belakang rumah. Suasana rumah yang sepi seperti ini, adalah saat-saat yang ku tunggu sejak dua minggu terakhir. Karena, ada semacam ritual yang terakhir ku lakukan saat duduk di bangku SMA kelas satu, sebelum bertemu Martha.
Ritual yang mungkin bukan aku saja yang melakukannya ketika hendak putus jalinan asmara. Aku mengamati tong kosong yang berada di depanku. Mulai ku masukkan satu per-satu foto, barang-barang hadiah hingga bunga yang sudah kering dan rapuh. Mulai hari ini, aku akan mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi antara aku dan Martha.
Setelah semua barang-barang dari Martha ku masukkan ke dalam tong, lalu ku sirami dengan satu plastik bensin. Kemudian ku gesek tumpu api sehingga api menyala membakar batang korek yang ku lempar masuk ke dalam tong.
BURN
Api menyala sangat besar sehingga kulit wajahku merasakan panasnya bara api yang juga membakar hatiku. Martha, sebentar lagi, cinta kita akan menjadi abu.
Setelah api yang membara berubah menjadi abu. Aku, masih di sini menyoroti api yang perlahan menepi. "Apa yang sedang kamu lakukan, Adrian? " Sarah berjalan cepat menghampiriku.
"Kenapa? Ini yang kamu mau! Mulai sekarang, aku akan melupakan Martha." Teriakkan yang nyaring terdengar pada Sarah yang berdiri di hadapanku. Sarah memang menganggukkan kepala, tapi raut wajahnya bertolak belakang dengan bahasa tubuh yang ia tunjukkan. "Akhirnya, kamu mengerti maksudku." Sarah berjalan meninggalkanku.
"Adrian, maaf! Aku tidak berani katakan bahwa saat ini Martha sedang dalam bahaya. Ia sedang ada dalam perangkap suaminya, pacarku." Lirih menjerit hati dan perasaan Sarah melihat keadaanku yang mulai menjauh dari wanita yang ku cintai.
Berjam-jam ku duduk di bangku taman ini. Lalu Ku singkirkan tong yang sudah berisi abu ini dari pandanganku. Lebih baik, kini mencari udara segar di luar sana.
Aku berjalan melewati Sarah yang sedang duduk di sofa. Ia tak menyapaku, begitu juga aku yang hanya meliriknya tanpa mengatakan apapun. Aku mengambil kunci motor yang berada di meja dekat Sarah. Lalu ke luar dan mulai menancap gas motor.
Kali ini tujuanku adalah Ester Cafe. Di saat hati gundah gulana, Cafe adalah tempat satu-satunya yang paling nyaman untuk ku datangi. Sesampainya di sana, suasana Kafe sedang ramai. Meja yang berada di pojok sepertinya nyaman untuk menjadi saksi bisu kegelisahanku saat ini.
Ku sandarkan setengah tubuhku di papan kursi. Satu pelayan wanita datang menghampiriku untuk menyodorkan sebuah buku menu. "Mau pesan apa, Mas?" Suara Pelayan Kafe itu terasa tidak asing di telingaku. Aku menoleh ke arahnya, dan aku sangat terkejut karena Pelayan itu adalah...
"Ki---Kinan?" Kinan pun sama terkejutnya ketika melihatku. Aku hampir tidak mengenali sosok Kinan yang jauh berbeda saat dulu rumah ku yang berada di samping Panti Asuhan tempat tinggal Kinan.
Penampilan Kinan saat ini jauh lebih cantik. Bahkan, Ia sangat dewasa. Seperti orang lain pada umumnya ketika melihat seseorang yang sudah lama tidak bertemu, aku menanyakan kabar dan hal lainnya. Begitu juga denganku juga Kinan.
Jujur, aku sangat terpukau dengan kecantikan Kinan yang semakin ku tilik, wajahnya sangat mirip dengan kecantikan yang dimiliki oleh Martha. "Kenapa, Mas?" tanya Kinan. "Ah ... Tidak, hanya saja wajahmu mengingatkanku pada seseorang."
Setelah perbincangan selesai, Kinan pun permisi untuk pergi membuatkan pesanan minuman yang telah ku pesan. Tidak lama kemudian, Kinan datang membawakan segelas ice coffee untukku. "Ya sudah Mas, aku kembali kerja lagi," ujar Kinan.
"Tunggu!" Aku meraih tangan Kinan dan sejenak menahan langkahnya untuk pergi menjauh dariku. Tujuanku menahan Kinan adalah meminta nomor teleponnya. Saat Kinan memberikan nomornya, hati yang semula gundah, menjadi girang tak karuan.
Ucapan terima kasihku terlontar dari bibir yang seketika bergetar. Ku minum sedikit demi sedikit ice coffee yang berada di depanku ini seraya melihat Kinan yang sedang bekerja.
Waktu cepat berlalu, tak terasa ice coffee ku sudah mulai surut. Aku pulang tanpa berpamitan dengan Kinan yang sedang berada di belakang.
~~~
Suasana dingin semilir angin yang memasuki kamarku, tak bisa membuat dingin hatiku yang sedang hangat seperti api unggun di tengah gurun ketika malam datang.
Aku membaringkan tubuhku dan membuat lipatan kedua kaki yang ku goyangkan ke kanan dan ke kiri. Sejak pulang dari Cafe, tanganku selalu ingin menggenggam ponsel yang kini berisi nomor Kinan.
Aku beranikan diri untuk menghubungi Kinan. Saat ini waktu menunjukkan pukul 10 malam. Mungkin shift kerja Kinan akan berakhir. Kinan pun mengangkat teleponku. Tanpa basa-basi, aku menawarkan jemputan untuk Kinan. Karena Kinan sudah mengenalku sejak lama, ia tidak menolak tawaranku dan menunggu di Ester Cafe.
Aku bergegas menancap gas motor dan melaju kencang karena tidak ingin membuat Kinan menunggu terlalu lama. Sesampainya di Sana, ku lihat Kinan hampir beku karena cuaca malam ini sangat dingin. "Hai ...," sapa Kinan seraya mengembangkan bibir kecilnya membentuk sebuah senyuman manis.
"Ayo, naik! Ku antar kamu ke mana pun kamu pergi." Kinan mengerutkan alisnya dan merasa aneh dengan sikapku yang tiba-tiba menggombalinya. Karena yang Kinan tahu, aku adalah lelaki pendiam.
Sebelum Kinan naik, tak lupa ku pakaikan helm padanya. Lalu, aku siap mengantar Kinan pulang.
"Oh ya, apa kamu masih tinggal di Panti Asuha Kasih Bunda?" tanyaku.
"Tidak, Mas. Saat ini, aku sudah bertemu dengan keluarga kandungku."
"Wah ... Syukurlah. Berarti, aku boleh dong kapan-kapan main ke rumah barumu."
"B---boleh, kok!" suara Kinan terbata-bata. Seketika nada bicaranya seperti orang ketakutan.
Kinan takut, karena Felix pernah berkata bahwa, jangan sampai ada yang tahu tentang Felix dan juga istrinya, Martha.
Suasana jalanan yang sepi, serasa dunia milik berdua itu mendadak terasa nyata ketika berduaan dengan seseorang yang bisa membuatku nyaman. Aku tidak tahu, apakah Kinan juga merasakan hal yang sama atau tidak.
Tibalah aku dan Kinan di Jl. Gajah Mada nomor 25. Tampak perlahan terlihat jelas rumah sederhana yang berada paling pojok. "Dengan siapa kamu tinggal, Kinan? Kenapa keadaan rumah ini sangat sepi?"
"Aku, tinggal dengan kakak dan juga istrinya. Mungkin mereka sudah tidur nyenyak di kamar," ujar Kinan.
Siapa Kakak yang dimaksud oleh Kinan?