Martha. Dia adalah gadis yang ku kenal sejak usia menginjak 17 tahun. Di mana saat itu, aku dan Martha bersekolah di SMA yang sama. Martha, seorang murid baru yang cantik dan tak sedikit siswa laki-laki di sekolah mengincar dirinya.
Maka dari itu, aku katakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling ku rindukan. Aku masih bisa merasakan betapa indahnya mencintai Martha versi SMA. Rasa itu hadir ketika pagi hari di lorong sekolah delapan tahun yang lalu.
Bel sekolah berbunyi sangat nyaring. Seluruh siswa mulai rusuh. Mereka berjalan cepat menuju ruang kelas, tapi ada juga yang tampak santai karena guru pertama yang akan mengisi pelajaran, mungkin tidak terlalu galak atau mereka biasa menyebutnya dengan sebutan guru killer. Tik tok waktuku hampir habis, aku masih saja bergelut dengan tali sepatu yang sedang ku ikat di depan terbang sekolah. Sial ... Aku pasti telat.
"Pak ... Tunggu!"
Aku menahan gerbang yang akan ditutup oleh security sekolah. Pak Agus, security itu tampak tidak aneh bahkan sangat familiar dengan wajahku yang sudah langganan terlambat. Aku mengembangkan bibir dan tersipu malu ketika Pak Agus menghela napas. Ia pun mengizinkan aku masuk.
BRUG
Aku menabrak gadis di lorong sekolah hingga ia terjatuh. Buku-buku yang berada di tangannya seketika jatuh berserakan. Bukannya membantu, justru diriku malah asyik memandanginya.
Sempurna .... Hatiku berdesis. "Hei, kamu kenapa?" Martha menilik wajahku dan menatap mata ini yang seketika membeku melihat paras ayu yang dipancarkan oleh raut wajahnya. "Ah, tidak ... Tidak apa-apa."
Pertemuan pertama yang sangat berkesan. Bagaimana tidak, setelah pertemuan itu, aku adalah satu-satunya siswa laki-laki yang mendapat akses untuk dekat dengan Martha. Kenapa? Karena Martha sangat cuek dengan laki-laki. Ya walaupun banyak murid laki-laki yang mengantre untuk bisa dekat dengannya. Martha merasa, aku berbeda dari laki-laki lain. Dua minggu berlalu, aku dan Martha menjadi seorang sahabat.
Hubungan yang dimaknai persahabatan itu berubah menjadi rasa yang sangat menyejukkan hati. Perasaan yang mudah ditebak ke mana arahnya. Persahabatan antara aku dan Martha, berubah menjadi cinta. Entah apa yang ia lihat dariku. Tapi satu yang aku tahu, bahwa Martha suka laki-laki yang sederhana dan apa adanya.
Aku merindukan masa itu.
Kini, bak air yang enggan menyatu dengan api. Hati ini masih menyangkal bahwa Martha telah tega meninggalkanku dengan alasan harta dan tahta. Aku tidak seperti dirinya yang bergelimang harta dan juga mempunyai gelar.
Sarah adikku menceritakan semua tentang Falisha. Ternyata di balik wajah cantik itu, tersimpan sebuah topeng yang sewaktu-waktu bisa berubah. Bukan hanya satu atau dua bulan ia memakai topeng. Tapi sudah satu tahun Falisha berpura-pura setia. Selama ini, dia telah berselingkuh di belakangku dan aku tidak menyadarinya.
"Adrian, ku mohon. Kubur segala kenangan dengan Martha. Dia tidak pantas mendapatkan ketulusan dari dirimu," ujar Sarah.
Aku meminta Sarah memberiku privasi dan memintanya untuk keluar dari kamarku. Setelah Sarah ke luar, aku mengambil gunting kembali yang tergeletak di bawah lantai beralaskan karpet bulu yang halus. Aku menyayat nadi yang masih berdenyut di lengan kiri. Berharap semua kepedihan ini juga ikut mati. Namun, lagi-lagi semua rencana gagal.
"Adrian! ..." teriak ibu.
Ibu menggagalkan aksi brutalku yang ia pergoki ketika masuk kamar. Ketika aku berbincang dengan ibu, Sarah kembali dan memberikan ponselku yang sempat ia simpan. Sarah adikku, menitahku untuk pergi ke luar sekadar mencari angin segar ditemani Clarissa, teman sekampus Sarah. Aku tahu maksud Sarah mengenalkanku pada Clarissa.
Aku sempat menolak, tapi apa boleh buat. Akhirnya menuruti semua saran dari adikku.
Cafe Rinjani
Hari itu juga, aku menemui Clarissa yang sudah lama menunggu di Cafe tersebut. Aku tahu Clarissa memang menyukaiku sejak ia pertama kali mengunjungi rumah bersama Sarah. Terasa canggung ketika bertemu dengannya. Belum lama kami duduk bersama di satu meja, tiba-tiba telepon berdering.
Satu panggilan masuk dari nomor tidak di kenal
"Halo ...." Aku menyapa orang yang sedang meneleponku ini. Tapi ia enggan merespon. Lalu, telepon itu mati. Aneh! Aku menggerutu dalam hati. Tidak lama kemudian, satu pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal itu.
(Tolong temui aku di Shelter Club, Martha)
DEG~~~
Jantung berdegup kencang ketika membaca pesan masuk dari Martha. Perasaan yang sama ketika satu bulan lalu, saat Martha menghubungiku. Tanpa memikirkan perasaan Clarissa, aku meninggalkannya sendiri di Cafe. Aku langsung bergegas menemui Martha.
Saat sampai di Shelter Club, aku melihat Martha sedang meneguk segelas minuman beralkohol. Ini kali pertamaku melihat Martha mabuk. Ada apa dengannya?
"Hei ...." Aku merebut gelas wine dari tangan Martha.
"Adrian!" Marthamemelukku dan menangis kencang di atas pundakku. Martha tidak sadar bahwa ia telah menjadi seorang istri. Aku menjauhkan tubuh Martha dari tubuhku. "Ada apa?"
Ia tertegun memandangi wajahku yang tampak pucat. Aku menangkis tangan Martha saat akan menyentuh wajahku.
"Martha! Sadar!"
Martha mabuk berat sehingga ia menjatuhkan kepalanya di pundakku. Martha berbisik agar aku membawanya ke sebuah hotel yang berada tidak jauh dari club. Martha sudah memesan kamar sejak sore tadi di Amandari Hotel. Aku langsung membawanya pergi dengan naik taksi.
Martha setengah sadar, ia tak henti bergumam. Air matanya jatuh berderai sesekali ia pun tertawa terbahak-bahak. Hal itu menjadi pusat perhatian pak sopir taksi yang melihat tingkah laku Martha lewat kaca spion.
Lima belas menit kemudian, aku dan Martha sampai di Amandari Hotel. Martha menunggu di lobi, sementara aku mendatangi receptionist untuk meminta kunci. Kamar nomor 205 adalah kamar yang kami tuju.
Martha ku gendong sampai kamar. Ia memelukku dengan erat. Martha benar-benar mabuk.
"Martha, dengar! Aku akan pergi sekarang. Jaga diri kamu baik-baik."
Aku membaringkan tubuh Martha di atas kasur. Ku buka sepatu dan tas nya. Melihat wajah Martha yang sedang tidur, membuatku ingin sekali memeluknya. Seketika nafsu birahi ku merentang saat melihat kancing baju Martha yang lepas.
Aku mengedipkan mata dan bergegas pergi. Aku tidak mau merebut hak orang lain. Aku tidak ada keberanian untuk membuat hancur hidup Martha.
"Tunggu!" Martha menarik tanganku. Ia bangun dari tidurnya dan menghempaskan tubuhku di atas kasur.
"Martha! Lepaskan aku!"
Aku tahu Martha berani berbuat seperti ini karena di bawah pengaruh alkohol. Aku mendorong Martha hingga ia terjatuh.
"Martha, maaf! Aku terpaksa melakukan ini."
Wanita yang sangat ku cintai itu menangis dan berlutut di bawah kaki ku.
"Ku mohon, jangan begini! Aku akan pergi sekarang. Pergi selamanya dari kehidupan kamu. Simpan masalahmu sendiri, jangan lagi menghubungiku. Sungguh, aku sangat terluka. Aku mencintaimu, Martha."