Chereads / Terjebak Cinta Karena Harta / Chapter 7 - Cinta Monyet

Chapter 7 - Cinta Monyet

8 tahun silam

Cinta monyet. Kata orang-orang, hubunganku dengan Martha hanyalah cinta bohong-bohongan alias cinta monyet. Banyak sekali murid laki-laki yang iri padaku. Terlalu cepat mungkin untuk membuat Martha tunduk terhadap cinta sederhana yang ku beri.

Mereka semua bertanya, rahasia apa yang ku punya sehingga Martha bisa jatuh cinta padaku. Tak ayal, aku pun menjawabnya dengan santai. "Tidak ada rahasia apa-apa, semua mengalir begitu saja." Setelah pertanyaan mereka ku jawab, Martha datang. "Adrian, ayo ikut aku!" Martha menarik tanganku dari kerumunan lelaki di meja kantin. Suasana di sana sangat ramai seperti ibu-ibu sedang mengadakan acara arisan.

Meski Martha ketus pada setiap laki-laki yang mendekati. Namun, sebenarnya ia adalah anak gadis yang peduli terhadap sesama. Dia juga sangat suka dengan anak-anak. Sifat keibuannya, membuat hatiku tentram dan damai. Tak apa, hubungan ini mereka sebut cinta monyet. Aku dan Martha akan buktikan bahwa pernikahan adalah tujuan utama terjalinnya hubungan ini.

Hari itu adalah hari yang sangat istimewa bagiku dan juga Martha. Genap satu tahun hubungan kami. Martha ku ajak berkunjung ke rumah untuk ku kenalkan pada ibu. Ia sangat kegirangan mendengarnya. "Nanti sore, aku jemput ya."

Martha tidak pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang sedang ku lakukan saat ini. Ia tidak pernah mengizinkanku untuk bertemu orang tuanya. Martha selalu bilang bahwa, nanti ada saatnya untukku mengenal orang tuanya. Ia juga selalu memintaku agar menjemputnya di taman komplek perumahan yang tidak jauh dari runahnya.

Aku selalu menunjukkan kesederhanaan ku padanya. Kendaraan yang ku punya pun hanyalah motor butut bekas ayah dulu. Satu hal yang selalu membuatku bersyukur adalah, Martha tidak pernah permasalahkan itu dariku. Yang ku tahu, Martha memang suka hidup sederhana.

Hujan rintik di sore hari, jalanan pun tampak sepi. Ku lihat dari jauh tubuh solek Martha sedang menunggu di taman. Lalu aku menghampirinya dengan sedikit gugup. Entah apa yang ada dipikiranku ketika melihat Martha mengenakan short dress berwarna abu-abu yang menurutku sangat anggun.

Tertegun kedua mataku melihatnya. Tanpa berlama-lama, Martha pun naik motor yang ku kendarai. Martha memelukku dari belakang. Sungguh, hatiku berdegup sangat kencang.

Sesampainya di rumah, ibuku sedang menyiapkan makan malam di dapur. Martha menemui ibu dan mencium tangan ibu. Sikap ramah yang ditunjukkan ibuku pada Martha, membuat pacarku itu nyaman walaupun baru bertemu.

Martha membantu ibuku memasak. Ternyata, ia juga jago dalam hal memasak. "Wah, ternyata Martha jago masak loh Adrian." Ibu memuji Marthha di depanku yang sedang duduk di meja makan seraya menyaksikan dua wanita yang ku cintai sedang menjalin hubungan yang harmonis.

Aku senang melihat mereka. Martha pintar menempatkan dirinya dan mengerti apa yang ibuku inginkan.

BRUG~~~

Sarah datang dari arah belakang dan menepak pundakku. "Bengong aja! Kesambet tau rasa lo." Sarah tidak tahu bahwa ibu sedang memasak bersama Martha pacarku. "Lihat, tuh!" Aku menunjuk ke arah ibu dan Martha.

"Siapa tuh?" tanya Sarah yang berjalan memasuki area dapur. "Eh ... Eh ... Eh!" Aku menarik pundak Sarah dan memintanya untuk tidak mengganggu momen antara ibu dengan Matrha. Aku menahan Sarah karena sifatnya yang kadang suka ngomong seenaknya tanpa melihat siapa lawan bicaranya.

Lalu, ibu mendengar ocehan ku dengan Sarah. Ibu melihat ke arah meja makan dan sontak memanggil Sarah untuk ikut bergabung dengan mereka. "Wleee!" Sarah mengejekku ketika berjalan ke dapur.

Seperti biasa, sifat Sarah selalu memberi kehangatan di keluargaku. Ia mudah berbaur dengan siapapun yang baru ia kenal.

Setelah kurang lebih satu jam mereka memasak, akhirnya makanan pun siap dihidangkan. Ayah juga sudah pulang. Tentu, ia bertanya tentang siapa Martha. Ketika aku menjawab, ayah berkata..

"Jangan pernah menyakiti hati wanita. Karena tidak ada ampun jika ternyata wanita yang kau sakiti menaruh rasa tulus padamu. Yang pada akhirnya, kamu yang akan menderita."

Aku menganggukkan kepala saat ayah menasehatiku. "Terima kasih, Yah. Aku janji akan menjaga wanita yang ku cintai."

Ibu memanggil kami berdua yang sedang asyik mengobrol di ruang tamu. Martha, Sarah, dan ibu sudah menunggu di meja makan.

Makan malam yang sempurna bagiku ketika melihat wanita yang ku cintai, duduk bersama keluarga kecilku. Kami bersenda gurau dan kehangatan pun sangat terasa.

Meja makan yang menjadi saksi bisu kehangatan yang terjadi pada malam ini, sangat berkesan bagiku. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ayah menitahku untuk mengantarkan Martha pulang.

Martha berpamitan pada ayah, ibu dan juga Sarah. "Jangan kapok main ke sini ya, Mar?" Sarah memeluk Martha. Sarah dan Martha seumuran, jadi mereka tampak satu frekuensi ketika bertemu.

"Terima kasih," ujar Martha.

Bibirku mengembangkan senyuman ketika Martha kembali memelukku saat berada dalam perjalanan.

Hubungan yang terjalin selama 8 tahun itu terkalahkan oleh hubungan yang baru terjalin selama satu tahun.

Aku duduk kembali di atas meja makan yang masih sama seperti 8 tahun lalu. Tidak ada yang berbeda, hanya suasananya saja yang terasa sendu.

Malam ini, aku sengaja duduk di kursi meja makan sama persis 8 tahun lalu. Hari ini ku putuskan untuk meninggalkan Martha dengan segala kenangan-kenangan yang telah terukir indah dalam pikiranku.

Meski berat, aku mencoba ikhlas dan memberanikan diri mengambil tindakan saat sedang mengantar Martha ke kamar hotel. Tidak tega sebenarnya dengan keadaan Martha yang terlihat hancur, tapi aku tetap meninggalkannya sendiri di sana. Rasanya berbeda ketika tadi ku lihat lagi Martha yang sudah menjadi istri orang lain. Hampa.

Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Martha. Tapi, aku tidak mungkin ikut hanyut dalam masalah Martha. Aku tidak mau di cap sebagai perusak rumah tangga orang lain.

"Sarah" gumamku dalam hati mengisyaratkan bahwa aku butuh bantuan Sarah. Aku berjalan menuju kamar Sarah, lalu ku lihat Sarah sedang tertidur lelap di atas kasur kesayangannya yang dipenuhi dengan boneka-boneka masa kecilnya.

Aku mengendap-ngendap berjalan mendekati Sarah. Dia sadar bahwa aku sedang duduk di sampingnya. "Ada apa?" Sarah mengucek kedua matanya lalu perlahan duduk. Sarah menghempaskan tubuhnya di bantal yang ia sandarkan ke headboard kasur.

"Sar, aku butuh bantuanmu! Aku mau kamu menyelidiki suami Martha."

"Apa?" Sarah terkejut dengan perkataanku. Tanpa basa-basi, iya menolak mentah-mentah permintaanku. "Aku mohon, Sar! Kali ini saja."

Seketika air mataku jatuh berderai, aku memegang kedua tangan Sarah dan memohon padanya agar mau membantuku. "Bangun Adrian, bangun ...." Sebelum Sarah mengiyakan permintaanku, aku terus memohon padanya. "Oke!" Akhirnya, Sarah mau membantuku dengan satu syarat.

"Aku tahu kamu peduli pada Martha. Aku juga tahu tadi kamu meninggalkan Clarissa untuk menemui Martha."

"Soal itu ...."

"Sudah! Clarissa memakluminya. Tapi, aku minta setelah ini kamu harus janji untuk melupakan Martha!"

Aku dan Sarah menyusun sebuah rencana.