Terik matahari menyinari penjuru kota, angin tak mau berhembus, dan gumpalan awan putih menghindari surya. Meski cuaca tak mau berkerja sama, tidak membuat semangat Aboy luntur. Aboy terus mengangkat berbagai macam barang milik penumpang kereta api yang turun.
Demi membuat dirinya tetap bernafas, Aboy harus pandai dalam mencari uang dari berbagai sudut. Meski uang yang ia dapatkan dari cara mencopet sudah cukup untuk kehidupannya di sini. Namun, ia memiliki kewajiban untuk mengirimkan uang kepada seseorang di kampung. Aboy tidak bisa mengandalkan uang dari mencopet saja, karena ia harus berbagi terhadap seseorang.
Dulu, Amosa juga menjadi buruh angkat sama halnya dengan Aboy. Namun, semenjak peristiwa pembunuhan, Amosa menjadi sedikit ketakutan untuk berlama-lama di luar rumah. Sehingga, membuat Amosa berhenti menjadi buruh angkat, dan lebih sering berdiam di dalam rumah.
Sama halnya dengan Amosa, Aboy selalu menggunakan pola loncat dalam menjaga kehidupannya. Jika Aboy mencopet di stasiun, maka ia akan menjadi buruh angkat di terminal atau pasar. Jadi, apabila ia mencopet di tempat tersebut, maka butuh beberapa hari untuk kembali ke sana. Hal ini dilakukan Aboy guna membuat penduduk dan pedagang setempat tidak curiga mengenai dirinya sebagi sesosok pencopet.
"Aboy, di sini," panggil seseorang dari letak yang tidak terlalu jauh.
Aboy yang berdiri di pintu masuk stasiun guna menunggu penumpang yang membutuhkan ototnya, langsung menoleh ke sumber suara.
Ia melihat sesosok wanita yang berjalan ke arahnya, dengan tas slempang menggantung di tubuhnya.
"Clarissa," Aboy balas memanggil. "Kamu mau kemana?"
"Yah, hanya mau jalan-jalan saja. Sudah lama tidak liburan," jawabnya yang sudah berdiri di depan Aboy.
Aboy mengangguk. "Sekarang kamu kerja dimana?" tanyanya.
"Semenjak kejadian beberapa waktu yang lalu. Sekarang aku bekerja di rumah makan. Yah, meski gajinya pas-pasan saja, tapi masih bisa, kok, buat kehidupanku," Jawab Clarissa.
"Eh, kalau boleh tahu, kenapa kamu dulu mau bantu kami?" tanya Aboy yang sengaja mengalihkan perhantian.
Senyuman yang terpampang di mulut Clarissa perlahan menghilang. Wajahnya yang semula cerita dan bersemangat, berubah seketika menjadi dingin, dan menakutkan. Suasana yang semula terik dan ramai, berganti sepi dan menengangkan.
"Aku melakukan itu, demi adikku yang di bunuh oleh Tatrix jauh sebelum aku menjadi pembantu di sana. Alasanku rela menjadi pembantu di sana adalah untuk membalaskan dendamku terhadap apa yang dilakukan oleh Tatrix terhadap adikku," Clarissa menggenggam tanganya dengan kuat.
"Akan tetapi, aku tidak tahu harus melakukannya seperti apa. Aku terlalu takut untuk melakukan hal sekeji itu. Aku juga tidak bisa menanggung resiko atas perbuatan keji itu," jawab Clarissa yang panjang lebar. Kedua bola mata Clarissa mulai meneteskan air.
"Jadi, karena itu, kamu mau membantu kami?" tanya Aboy.
Clarissa mengangguk. "Setelah aku mendengarkan apa yang kamu inginkan. Hatiku yang semula terasa tak beraturan, berubah menjadi tertata. Karena ada seseorang yang mau membalaskan dendamku, dan rela menanggung resiko dari apa yang ia perbuat," jawab Clarissa.
Aboy tidak berkomentar, dan terus mendengarkan apa yang di sampaikan oleh Clarissa.
"Meski orang-orang memandang dirinya sebagai sesosok iblis karena membunuh manusia tanpa ada penyesalan. Namun sebagaian menganggap dia sebagai malaikat, karena mampu membalaskan dendam yang selama ini tersimpan di dalam hatinya," ucap Clarissa.
"Dia tahu, bahwa setelah ini tempatnya adalah neraka. Namun, aku akan tetap mengikutinya, bagiku dia adalah pahlawan buatku, Amosa," lanjut Clarissa.
*****
Aboy duduk di kursi teras rumahnya yang terbuat dari kayu. Keringatnya masih deras berkecucuran. Aboy melepas topinya, kemudian menjadikan kipas tangan. Cuaca hari ini begitu terik, sehingga membuat kulit terasa terbakar ketika berada di luar rumah.
Beberapa detik kemudian, ponsel yang bersarang dalam kantong celana Aboy bergetar dan berbunyi. Dengan cepat, Aboy mengeluarkan ponsel miliknya.
"Halo, mak. Ada apa, ya?" tanya Aboy.
"Kamu kapan pulang, nak?" jawab seseorang yang berada di sebrang.
"Bentar lagi Aboy pulang, mak. Mungkin 1 atau 2 minggu lagi aku akan pulang," kata Aboy.
"Ya, sudah kalau begitu. Kamu jaga diri baik-baik di sana. Jangan terlalu memaksakan diri," ingat ibu Aboy.
"Iya, iya, Aboy sudah perhitungkan, jadi emak jangan kawathir," jawab Aboy dengan santai.
"Emak cuma mau berpesan, kamu di sana tetap berhati-hati, jangan melakukan hal aneh-aneh, tetap jaga diri dan jaga kesopanan," ibu Aboy kembali mengingatkan.
"Sudah Aboy lakukan semua perintah emak," jawab Aboy dengan raut wajah masam. "Bawel banget," gumam Aboy, namun tidak terdengar hingga telinga ibunya.
"Aboy, emak ingin menyampaikan sesuatu kepada kamu," kata ibu Aboy.
Suasana yang begitu terik tiba-tiba terasa sejuk mencekam. Angin berhembus cukup kencang, membuat Aboy berhenti mengipaskan topinya.
"Semalam ibu bermimpi kamu tewas tergantung di sebuah ruangan. Tubuh kamu bersimpah darah, dengan pisau tertancap di dada kirimu. Kamu dibunuh oleh seorang-" perkataannya terhenti, karena Aboy menyela.
"Sudah, lah, mak. Sejak dulu hingga sekarang tetap saja percaya dengan tahayul. Sudah, hentikan omong kosong ini, Aboy sibuk mau melanjutkan kerja," kata Aboy dengan nada yang cukup tinggi.
Aboy mematikan ponselnya. Tak lama kemudian, rintikan air mulai turun dari langit. Secara perlahan, rintikan itu berubah menjadi hujan yang begitu lebat.
*****