"Terima kasih, pak, atas bantuannya," ucap seorang pria sembari memberikan amplop kepada Panzi.
Pria ini memakai sebuah jaket kulit warna hitam mengkilap dengan dalaman kaos hitam. Kalung silver melingkar di lehernya, dan celana levis kekinian lengkap dengan sepatu coklat.
"Sama-sama, mas," jawab Panzi sembari memasukkan uang ke dalam saku celana.
"Kalau begitu, saya permisi dulu," kata pria itu.
Pria itu berbalik badan dan berjalan meninggalkan Panzi. Melihat pria itu sudah lumayan jauh dari posisinya berdiri, dengan segera Panzi berjalan memasuki rumahnya.
Panzi merebahkan tubuhnya di kursi ruang tamu.
"Kerja yang bagus, Panzi, akan aku kabulkan tawaran dariku," kata seorang gadis berpakaian serba hitam yang tiba-tiba muncul di belakang Panzi.
"Aku tidak percaya sudah melakukan hal sekeji ini kepada Aboy," jawab Panzi yang tidak nyambung.
*****
3 hari yang lalu....
Panzi mengambil penggoreng yang ia gantung di meja, kemudian menaruhnya di atas kompor. Malam ini terasa mencekam, suasana begitu sunyi, suara binatang malam tidak terdengar, dan hanya rintikan air hujan yang menghiasi malam ini.
"Panzi, apakah kamu mau membantuku?" suara yang tiba-tiba terdengar dan berasal dari belakang tubuhnya.
Panzi terkejut, dan langsung membalikkan badan untuk melihat siapa yang bertanya kepadanya.
Ternyata seorang gadis yang berpakaian serba hitam sedang berdiri di depannya. Wajahnya berlumuran darah, kuku jarinya begitu panjang, dan kulitnya terlihat pucat pasi.
"Siapa kamu?" tanya Panzi kepada gadis itu.
"Itu tidaklah penting. Yang paling terpenting, apakah kamu mau bekerja sama denganku?" tawar gadis itu.
"Kerja sama untuk apa?" tanya Panzi dengan cepat.
Gadis itu menatap Panzi. "Apakah kamu mau melaporkan Aboy kepada pihak kepolisian atas perbuatan mencopetnya?" jawab gadis itu.
"Apakah kamu sudah gila? Aboy adalah rekanku dalam mencari penghidupan. Dan jika aku melaporkannya, lantas aku bisa melanjutkan kehidupan darimana?" bentak Panzi terhadap gadis itu.
Gadis itu justru tersenyum menakutkan. "Kamu tidak usah memikirkan hal itu. Jika kamu menjalankan perintahku, maka kamu akan mendapatkan kehidupan yang layak. Bahkan, akan aku jamin bahwa kamu akan bisa menikah dalam waktu singkat. Bukankah menikah adalah impianmu selama ini?" katanya.
"Kalau aku menolak?" tanya Panzi.
"Kamu akan kehilangan semua kehidupanmu, bahkan nyawamu juga akan aku renggut darimu," ancam gadis itu.
Panzi tersenyum meremehkan. "Kamu bercanda? Kamu hanyalah seorang gadis kecil, sedangkan aku sudah menjalani kehidupan yang keras sebelum kamu lahir. Jadi, jangan berkata kalau kamu akan membunuhku jika aku menolak tawaranmu," ucap Panzi dengan menaruh kedua tangannya di pinggang.
"Kamu terlalu meremehkanku," kata gadis itu dengan tatapan dingin.
Tiba-tiba sebuah garpu mendarat tepat di leher Panzi. Tubuh Panzi langsung tersungkur ke lantai, kemudian ia kejang-kejang akibat kesulitan untuk bernafas. Cairan merah keluar melalui lobang yang dibuat garpu tersebut dan mulai membasahi lantai.
Akan tetapi, selang beberapa detik garpu tersebut menghilang, bahkan leher Panzi tidak terdapat sebuah luka setitikpun. Panzi langsung memastikan keadaaan lehernya baik-baik saja dengan meraba menggunakan kedua tangannya.
"Apakah kamu yakin ingin mati sekarang?" tanya gadis itu dengan tatapan membunuh.
Panzi menghentikan gerakkannya dan langsung menatap sesosok gadis yang sudah berdiri di hadapannya. Keringat dinginnya mulai keluar, tubuhnya bergetar ketakutan, dan bulu kudunya berdiri layaknya seekor landak yang terancam.
Selain teringat kejadian barusan, Panzi melihat tatapan gadis tersebut begitu menakutkan, ditambah lagi sebuah pisau tertodong ke arahnya membuat Panzi semakin tak berdaya.
"Jika kamu ingin tetap hidup, maka jalankan perintahku," suruh gadis itu dengan menodongkan pisau ke arah Panzi. "Kamu awasi Aboy. Kemudian berteriaklah ketika kamu melihat ia sedang melancarkan aksinya. Dengan begitu pihak kepolisian yang sedang patroli di sana akan mengejar Aboy. Setelah itu sisanya serahkan semuanya kepadaku," sambungnya.
Panzi tidak berkomentar apa-apa. Sekujur tubuhnya terasa mematung, karena ia sudah dikalahkan oleh rasa takut. Bahkan, untuk berteriak saja ia sudah tidak sanggup karena seluruh tenaganya tiba-tiba lenyap.
"Akan aku lakukan," kata Panzi dengan nada yang penuh tekanan.
*****