Panzi terduduk diam di kursi ruang tamu rumahnya. Kedua bola matanya menatap kosong ke depan. Ia tak henti-hentinya memikirkan kejadian yang Panzi lakukan terhadap sahabatnya, Aboy.
Meski dirinya adalah seorang kriminal kelas tinggi, namun untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Panzi menyesali dan merasa bersalah atas perbuatan yang ia lakukan beberapa hari yang lalu. Panzi juga tidak menyangka kalau Aboy akan tewas dengan ke adaan yang tragis. Ia juga merasa kalau dirinya dibohongi oleh arwah penasaran bernama Ceki.
Alih-alih menjadikan hidupnya tenang, justru sebaliknya. Panzi merasa kalau kehidupannya semakin menderita, karena hampir setiap malam ia mendapatkan teror dari Aboy di setiap mimpinya. Bahkan, setiap saat, setiap ia beraktifitas, Panzi selalu teringat peristiwa kelam yang ia lakukan terhadap Aboy.
"Apakah seperti ini yang di namakan menderita?" tanya Panzi terhadap dirinya sendiri.
Sudah 2 hari ini, cuaca tidaklah bersahabat. Mentari terus bersembunyi di balik selimut awan, rintikan air hujan sesekali membasahi tanah, dan kegelapan terus menutupi kota. Seakan-akan dunia menyalahkan apa yang telah Panzi lakukan.
Tiba-tiba, Panzi merasa kalau ada seseorang berdiri di belakangnya. Panzi menolehkan kepalanya ke belakang, dan melihat siapa yabg muncul secara mendadak.
Kedua bola matanya terbelalak, jantungnya memompa dengan cepat, dan keringat dinginnya mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Panzi melihat sesosok Aboy berdiri dihadapannya dengan tatapan membunuh yang mengarah ke dirinya. Tubuhnya terselimuti cairan warna merah, sayatan di dada kirinya terlihat menganga lebar, dan kulitnya berwarna pucat pasi. Beberapa belatung terlihat menggeliat dilukanya.
"Panzi, kenapa kau tega melakukan hal ini kepadaku?" tanya Aboy kepada Panzi.
Panzi tidak menjawab, bibirnya bergetar ketakutan, dan kedua matanya tak lelah menatap ke arah Aboy.
"Apakah kamu lupa? Bahwa aku adalah sahabat karibmu? Apakah kamu juga lupa kalau aku pernah menyelamatkan hidupmu dari kejaran polisi?" tanya Aboy yang menekan.
Panzi turun dari kursinya, kemudian dia bersujud di depannya Aboy. Kedua matanya berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata. Kedua pipinya menjadi papan seluncurkan untuk air yang keluar dari kedua matanya.
"Maafkan aku Aboy, aku melakukan hal ini karena terpaksa," jawab Panzi dengan sesenggukan.
"Kau jangan bonhong Panzi, kalau memang ter-," perkataan Aboy terpotong karena mendengar ucapan dari Panzi.
"Percayalah kepadaku, aku disuruh oleh arwah penasaran bernama Ceki untuk melakukaan hal sekeji itu. Aku juga di ancam akan dibunuh jika menolak permintaannya," jelas Panzi dengan nada yang cukup tinggi.
"Apakah aku bisa mempercayaimu?" kata Aboy dengan tatapan dingin.
"Tolong percayalah kepadaku. Jika aku tidak diancam, pasti aku tidak melakukan hal semacan itu kepadamu. Bahkan dari lubuk hatiku terdalam, aku tidak mempunyai niat untuk membunuhmu," ucap Panzi yang masih meneteskan air mata.
"Akan aku berikan kamu pilihan," Aboy melemparkan pisau ke arah Panzi, dan mendarat tepat di depannya. "Kamu pilih bunuh diri dengan pisau itu, atau mendapatkan teror dariku selama sisa hidupmu," tawar Aboy.
Panzi tidak berkomentar, dan dia hanya menatap ke arah pisau yang berbaring di hadapannya. Panzi tidak tahu memilih yang mana, karena ia masih ingin terus melihat dunia selama sisa hidupnya. Namun, Panzi juga tidak akan kuat jika terus-terusan mendapatkan teror yang dilakukan oleh Aboy.
Dengan tangan yang bergetar, Panzi mengambil pisau tersebut, kemudian mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Dengan membulatkan tekat, Panzi mulai memotong urat nadinya. Permukaan pisau menembus kulitnya, dan berhasil memotong urat nadi, sehingga membuat darahnya keluar berkecucuran.
Panzi menjatuhkan pisau yang tergenggam di tangan kanannya. Ia kembali mendongak, dan menatap wajah Aboy. Akan tetapi, Panzi langsung terkejut, karena melihat sesosok Ceki berdiri dibelakang tubuh Aboy dengan senyuman kesenangan. Panzi akhirnya mengetahui, kalau dirinya hanya di bohongi dan diperalat oleh Ceki.
Pandangan Panzi mulai gelap, detak jantungnya semakin lama semakin melemah, dan sekujur tubuhnya terasa lemas. Panzi sudah tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, dan membuatnya tersungkur ke lantai rumahnya.
Dalam hitungan detik, Panzi tak sadarkan diri, dan darahnya terus keluar dari pergelangan tangannya.
*****
"Aku tidak menyangka, kalau kedua sahabatku tewas dengan ke adaan tragis dalam hitungan hari," kata Amosa kepada dirinya.
Saat ini, Amosa sedang duduk melamun di kursi rumahnya. Istrinya, Alsa sedang berada di dalam kamar menemani Aurellia yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau Aurellia akan sehat seperti dahulu.
Diluar terdengar suara rintikan air hujan yang cukup deras, sesekali juga terdengar suara guntur yang menggelegar. Kondisi ini seakan-akan menandakan dunia ikut bersedih atas kematian kedua sahabat Amosa, Aboy dan Panzi.
Meski sejak kecil Amosa sudah menjalani kehidupan yang keras. Namun, jika terus-terusan seperti ini, membuat Amosa muak atas kehidupan yang tuhan berikan. Belum lagi keluarganya yang saat ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kondisi ini membuat Amosa semakin yakin kalau dunia tidak menginginkan sebuah kebahagiaan berasarang dikehidupannya, meski hanya sebesar biji sawi.
Amosa mematikan batang rokok yang tersisa beberapa centi. "Apa kira-kira yang membuat Aboy dan Panzi tewas secara berdekatan," gumamnya.
"Aku yang membuat kedua sabatmu tewas dalam keadaan yang mengerikan," ucap seseorang yang sudah berdiri di belakang tempat duduknya Amosa.
*****