"Apakah sekarang kamu sudah paham mengapa aku begitu marah kepadamu yang telah membunuh ibuku?" tanya Ceki dengan intonasi yang tinggi. Meski ia seorang perempuan, namun kelantangan suaranya tidak kalah dengan laki-laki.
"Ibuku rela kehilangan kehormatannya, rela menyerahkan aset-aset berharganya demi mengembalikan diriku ke dunia. Dan apakah aku salah membalaskan dendamnya?" lanjut Ceki.
"Menjadikan orang lain sebagai tumbal adalah sebuah ke-egoisan yang di miliki Tatrix. Apakah kamu tidak belajar, Ceki. Apa yang kamu rasakan sekarang, sesuai dengan apa yang dirasakan keluarga yang kamu jadikan tumbal," sanggah Amosa dengan santai.
Ceki langsung terdiam seribu bahasa, bibirnya seakan-akan membisu. Kedua tanganya masih mengemal, tatapannya begitu tajam menuju ke arah Amosa, dan urat-urat pembulu darah di kepalanya mulai bermunculan.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, sama seperti yang aku rasakan saat ini. Kamu tidak terima karena aku membunuh ibumu, aku tidak terima karena Aulia kamu jadikan sebagai tumbal," kata Amosa yang membuat perasaan Ceki semakin memanas.
"Akan aku ceritakan, bahwa ibuku tidak sanggup ketika memberikan tumbal untuk diriku. Dia adalah manusia, bukan iblis. Ibuku juga memiliki perasaan," jelas Ceki.
*****
Aulia duduk disebuah sofa berwarna hitam. Ia duduk tetap dihadapan sebuah boneka yang terkurung dalam etalase kaca. Di depannya terdapat 3 buah lilin yang menyala dan berdiri tegap di atas meja. Tidak ada cahaya lain yang menerangi ruangan ini selain dari lilin. Belum lagi bau kemenyan yang memenuhi ruangan, membuat suasana semakin menakutkan.
"Kenapa boneka sebagus itu tante taruh di sana?" tanya Aulia setelah mengetahui ada sebuah boneka di hadapannya.
Tatrix tidak berkomentar. Ia justru berjalan mendekati boneka tersebut. "Apakah kamu menginginkan boneka ini," tawar Tatrix.
"Apakah boleh, tante? Bukankah itu boneka mahal? Lihat, bajunya saja terlihat bagus, dan detail dari anggota tubuhnya begitu sempurna," jawab Aulia yang mencoba menolak.
Tatrix membuka etalase yang mengurung boneka tersebut, kemudian mengeluarkannya dan menggendongnya. "Tidak apa-apa, tante masih bisa, kok, beli yang lebih baik lagi," jawab Tatrix sembari berjalan mendekati Aulia.
"Ini hadiah yang ibu janjikan beberapa hari yang lalu," kata Tatrix setelah berdiri di depan Aulia.
Aulia menerima pemberian boneka dari Tatrix. "Terima kasih, tante Tatrix. Aulia sangat suka dengan boneka ini," ucapnya.
"SEKARANG CEKI," teriak Tatrix yang secara tiba-tiba, dan berhasil membuat Aulia terkejut.
Boneka yang Aulia pangku tiba-tiba berkedip, dan kepalanya menoleh ke wajah Aulia. Secara spontan, Aulia melemparkan boneka tersebut. Akan tetapi, tangan boneka itu berhasil memegang bahu Aulia, sehingga tidak terlempar. Dengan cepat, boneka dengan pakaian serba hitam itu bergerak mengigit leher Aulia dengan sangat kuat. Giginya begitu tajam, sehingga mampu merobek kulia leher Aulia.
Seketika Aulia menjerit, namun mulutnya langsung di sekap sama Tatrix. Aulia berusaha melawan, namun gigitan boneka tersebut semakin kuat. Belum lagi tenaga Tatrix yang menyekap dirinya, membuat Aulia semakin kesulitan. Gigi-gigi dari boneka itu terus menusuk ke dalam leher Aulia, sehingga menyebabkan darah keluar berkecucuran.
Beberapa saat kemudian, gerakan tubuh Aulia terhenti secara perlahan, tubuhnya sudah di penuhi cairah hitam, dan kelopak matanya mulai tertutup. Boneka tersebut berhenti mengigit, dan Tatrix juga melepaskan sekapannya. Aulia terbaring di atas sofa dengan darah segar mengalir dari lubang di lehernya.
Tiba-tiba, sesosok gadis keluar dari dalam boneka, dan berdiri tepat di hadapan Tatrix. Gadis ini memiliki ciri yang sama dengan boneka yang mengigit Aulia. Ia memakai baju terusan warna hitam, bibirnya merah merona, rambut terurai ke belakang, dan kulitnya berwarna pucat pasi.
"Maafkan aku Aulia, aku harus berbohong kepadamu," kata Tatrix dengan menatap tubuh Aulia yang tewas terbaring di sofa. Tatrix tidak bisa membendung air matanya, sehingga pipinya basah terkena air mata. "Kamu gadis yang baik, semoga kamu bahagia di sana. Aku juga siap jika menerima balasanmu nanti," sambungnya sembari mengelus kepala Aulia.
"Ibu," panggil sesosok gadis yang keluar dari boneka yang terbuat dari plastik.
"Apa Ceki? Apakah masih kurang?" jawab Tatrix tanpa menatap Ceki dan sibuk mengelus kepala Aulia.
Ceki berjalan mendekati Tatrix. "Ibu, apa yang membuatmu menyesal? Apakah ibu tidak senang akan kehadiranku?" tanyanya.
Tatrix berhenti mengelus kepala Aulia dan langsung menatap Ceki. "Bukan seperti itu, Ceki. Ibu bukanlah iblis yang bisa membunuh manusia tanpa penyesalan. Ibu adalah manusia, nak. Ibu selalu ketakutan, dan terus menyesali atas apa yang sudah aku perbuat," jelas Tatrix dengan mengelus pipi Ceki.
"Apakah ibu tidak belajar mengenai sifat egois?" tanya Ceki.
Tatrix tersenyum, kemudian memeluk tubuh Ceki yang lebih kecil. "Ibu sudah belajar, nak. Bahwa sebuah ke-egoisan itu diperluhkan dalam kehidupan. Jika ibu tidak egois, pasti ibu sudah tidak bisa bertemu lagi setelah kamu dikubur," katanya.
Tatrix melepas pelukannya. "Seiring berjalannya waktu, rasa penyesalan juga akan berkurang. Kondisi inilah yang menjadikan manusia memiliki sifat keras dan melakukannya lagi entah yang keberapa kalinya," ucap Tatrix sembari mengelus kepala Ceki.
"Ibu, Ceki mau bertanya. Kenapa gadis baik selalu ibu jadikan tumbal?" tanya Ceki.
"Hatinya orang baik tidak akan pernah berbohong. Namun, juga mudah untuk dipermainkan atau dibohongi," jelas Tatrix.
Ceki mengangguk paham. "Aku akan membawa gadis ini ke kamar tengah untuk aku ambil beberapa bagian tubuhnya. Setelah itu akan aku buang ke tempat yang tidak pernah di jamah manusia," kata Ceki dengan dingin.
"Ini adalah tumbal kedua yang sebelumnya adalah pembantuku," ucap Tatrix
*****