Chereads / THE CEKI [END] / Chapter 14 - Selamat Jalan

Chapter 14 - Selamat Jalan

Amosa berjalan keluar dari dalam rumah. Sang fajar masih bersembunyi di balik tebalnya kabut. Kicauan burung tak terdengar, dan udara terasa menusuk kulit.

"Kamu tidak kerja hari ini?" tanya Amosa setelah melihat Alsa sedang merapikan tanaman di teras rumah. Amosa duduk di kursi kayu yang berada di samping pintu masuk rumah.

"Hari ini aku izin kerja, karena aku tidak tega meninggalkan Aurellia dengan kondisi seperti itu," jawab Alsa tanpa menatap Amosa dan masih sibuk dengan kegiatannya.

Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja kayu berdering. Dengan tanggap, Amosa mengambilnya dan melihat siapa yang berusaha memanggilnya. Amosa memencet tombol gagang telfon warna hijau.

"Halo Aboy, ada apa?" tanya Amosa kepada seseorang yang menelfonnya.

"Amosa, aku mau meminta maaf mengenai kejadian beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku sudah dikalahkan oleh perasaan marah bercampur sedih, sehingga aku tidak sengaja melontarkan perkataan kasar kepadamu," suara Aboy yang terdengar dari dalam ponsel Amosa.

"Tidak apa-apa, Aboy. Aku mengerti kondisimu waktu itu, jadi aku juga sengaja meninggalkan agar kamu punya waktu untuk sendiri," hibur Amosa.

"Syukurlah kamu memaafkan perbuatannku. Aku takut kamu akan membenciku akibat kata-kataku kemarin," jawab Aboy.

"Kamu harus berlajar menerima, Aboy. Setiap orang pasti akan menemui yang namanya kematian. Karena kehidupan ini sudah ada yang mengatur," perintah Amosa.

"Aku akan berusaha mengatur emosiku," kata Aboy. "Oh, iya, sekarang temui aku di rumah, Amosa. Dan ambil sepucuk surat yang aku taruh di jendela," suruhnya.

"Memangnya ada ap-" perkataan Amosa yang terpotong karena telfon tiba-tiba terputus.

"Telfon dari siapa?" tanya Alsa sembari duduk di samping Amosa.

Amosa mematikkan ponselnya, kemudian menaruhnya di atas meja. "Dari Aboy, dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya," jawab Amosa.

"Lantas, kenapa kamu tidak segera ke sana?" Alsa kembali bertanya.

"Aku masih binggung, kenapa Aboy tiba-tiba menyuruhku menemuinya. Padahal selama ini ia jarang sekali mengundang orang luar ke rumahnya," jelas Amosa.

"Kamu akan mendapatkan jawaban setelah kamu menemuinya. Segeralah berangkat, jangan buat Aboy menunggu," kata Alsa.

Amosa berfikir sejenak. "Baiklah, aku akan kesana," putusnya.

Amosa beranjak dari tempat duduknya, berjalan memasuki rumah, kemudian mengeluarkan kendaraan bermotor. Mesin motor Amosa nyalakan.

"Aku berangkat dulu," pamit Amosa.

Gas motor Amosa putar secara perlahan dan membuat motor berjalan meninggalkan rumahnya.

"Iya, hati-hati," jawab Alsa yang masih terduduk di kursi teras.

Rumah Amosa tidaklah terlalu jauh dari rumah Aboy. Namun, jika ditempuh dengan jalan kaki akan memakan cukup waktu. Mentari yang tadinya samar-samar terlihat, tiba-tiba menghilang terselimuti awan tebal. Kabut semakin lama semakin tebal, dan udara pagi terus terasa menusuk kulit.

Belum sampai di depab rumah Aboy, Amosa dikejutkan dengan kerumunan orang yang memadati rumah Aboy. Hal ini membuat Amosa tidak bisa mendekati rumah Aboy karena tertutupi puluhan manusia di sana. Sehingga ia memutuskan untuk memarkirkan motornya di teras rumah warga sekitar.

Amosa mematikan mesin motor, dan langsung berjalan menuju ke arah rumah Aboy. Tubuhnya yang kecil membuat Amosa mudah menyelinap di tengah kerumunan. Amosa terus berjalan, hingga akhir ia sampai dibarisan paling depan. Namun, ketika Amosa sudah berhasil berdiri di barisan terdepan ia dikejutkan dengan kejadian tragis.

Ia melihat sahabat karibnya tergantung di gawang pintu rumah dengan leher terlilit tali. Lidahnya menjulur keluar, ada sayatan di dada bagian kiri, dan kedua matanya masih terbuka, seakan-akan menatap tajam ke arah Amosa.

Jika dilihat dari kondisi tubuhnya, Aboy sudah tergantung beberapa hari disana. Karena tubuhnya sudah berwarna pucat pasi, darah yang bercecer di tubuhnya sudah mengering, dan luka sayatan di dadanya tidak mengeluarkan darah. Beberapa ekor belatung juga terlihat menggeliat di luka sayatan.

Amosa langsung menutup hidungnya, karena bau busuk yang dikelurkan tubuh Aboy terasa menyengat. Kedua kakinya terasa lemas, dan kepalanya mulai pusing, karena Amosa tidak menyangka kalau sahabat karibnya harus tewas dalam kondisi mengenaskan.

Hubungan Amosa dengan Aboy bukan sekedar ikatan pertemanan, melainkan layaknya saudara yang punya hubungan darah. Karena mereka saling membantu dan memberi support satu sama lain. Bahkan, meski Aboy tahu bahwa Amosa ingin merenggut nyawa seseorang. Aboy justru membantu Amosa dari awal hingga akhir.

Amosa berusaha menahan tubuhnya agar tidak pingsan. Namun, tiba-tiba ia teringat, bahwa sebelum kesini, Aboy memberikan pesan untuk mengambil sepucuk surat yang ia tinggalkan. Dengan segera, Amosa berjalan menuju ke arah jendela rumah Aboy. Benar saja, di sana terdapat selembar kertas yang terselip di pinggir jendela.

Amosa mengambil lembaran tersebut, dan mulai membaca tulisan yang terpajang di dalamnya.

"KAMU TIDAK USAH BERSEDIH AKAN KEPERGIANKU, KARENA AKU SUDAH TENANG DI SINI. AKU CUMA MAU BERPESAN, KAMU BERHATI-HATILAH, KARENA ADA SESOSOK ARWAH YANG MENGINCAR KELUARGAMU. DAN JANGAN BERITAHU KELUARGAKU DIKAMPUNG ATAS KEMATIANKU INI. SURAT INI AKU TULIS 1 JAM SEBELUM KEMATIKANKU PADA TANGGAL 12," isi tulisan di dalam kertas yang Amosa temui.

"Surat ini ditulis 2 hari yang lalu. Lantas, tadi pagi siapa yang menelfonku kalau Aboy sudah meninggal 2 hari yang lalu?" tanya Amosa setelah membaca surat tersebut.

*****