Amosa dan Aboy berjalan mendekati seseorang mengenakan kaos lusuh warna merah yang terduduk di trotoar. Sebuah air mineral berjenis gelas berada di tangan kanan pria itu. Amosa dan Aboy duduk di sampingnya, sehingga membuat orang tersebut terapit.
"Bagaimana Panzi, sudah dapat banyak?" tanya Aboy setelah ia duduk di sampinya.
"Untuk hari ini aku rasa sudah cukup, sih," Panzi mengangkat karung warna putih yang dari tadi tergeletak di samping tubuhnya. "Meski tidak seberapa, namun cukuplah untuk memperpanjang kehidupan," jawab Panzi sembari menaruh karung yang terisi berbagai macam plastik.
Aboy tidak berkomentar, ia hanya menganggukkan kepala. Aboy mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Panzi. "Panzi, apakah kamu sudah siap?" tanya Aboy.
Raut muka Panzi tiba-tiba berubah, membuat siapapun yang melihatnya akan begidik ketakutan. "Baik akan aku laksanakan," jawabnya tanpa keraguan. Panzi beranjak dari duduknya, dan berjalan meninggalkan Amosa dan Aboy.
Panzi adalah salah satu pemulung yang sering mencari rongsokan di stasiun. Usianya sudah tidak muda lagi, rambutnya sudah banyak yang putih, hampir seluruh permukaan kulitnya berkerut, dan beberapa giginya sudah hilang. Panzi tidak memiliki siapa-siapa, karena tidak ada satupun wanita mau menikah dengan dirinya.
Ketika ia masih muda, Panzi bukanlah pria yang baik. Panzi telah membunuh ayahnya sendiri ketika usia 25 tahun, dan membuat ibunya syok hingga membuatnya meninggal karena sakit-sakitan. Selain itu, Panzi juga mantan kriminal, ia sering keluar masuk bui karena berbagai macam tindak kejahatan. Mungkin karena faktor itulah yang membuat Panzi kesulitan mendapatkan wanita.
Amosa, Aboy, dan Panzi merupakan satu dari sekian banyak kelompok pencopet yang berkeliaran di tempat umum. Modus yang mereka gunakan adalah, Amosa bertugas membuat korbannya lengah dengan cara bertanya sesuatu kepada korban. Aboy bertugas mengawasi situasi dan mengeksekusi barang dari korban. Sementara itu, Panzi bertugas mengambil barang copetan yang dibuang Aboy ke tempat sampah. Modus seperti ini masih cocok digunakan untuk mencopet, meski waktu terus berjalan.
Panzi berjalan menuju ke arah tong sampah berwarna biru dengan tinggi 70 cm. Panzi melihat sebuah tas kecil tergeletak di atas tumpukan sampah. Dilihat dari luar saja, tas tersebut pasti memiliki harga yang mahal. Tanpa merasa canggung ataupun takut, Panzi langsung memasukkan tas tersebut ke dalam karung miliknya.
Setelah memasukkan barang copetan, Panzi tidak segera meninggalkan lokasi. Ia justru menggorek-ngorek sampah yang berada di dalam tong. Hal ini dilakukan guna menghilangkan rasa curiga terhadap orang sekitar, sekaligus mencari sampahan tambahan.
5 menit berlalu, Panzi meninggalkan tong sampah dan berjalan ke arah Amosa dan Aboy. Melihat Panzi yang sudah selesai menjalankan tugasnya Amosa dan Aboy langsung berdiri.
"Bagaimana? Sukses?" tanya Aboy secara langsung setelah Panzi berada di depannya.
"Aman, ada di dalam sini," tunjuk Panzi dengan senyuman manis di bibirnya.
"Panzi, kenapa kamu rela melakukan ini?" tanya Amosa secara spontan.
Panzi tersenyum. "Gimana, ya, aku menjelasin. Gini, setiap manusia terlahir dengan kehidupan masing-masing. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk merubah kehidupannya. Oleh karena itulah, aku tidak lari dari kehidupanku, karena seperti ini ketetatapan yang dibuat," jawab Panzi panjang lebar.
*****
Amosa mengelus kepala Aurellia yang terbaring tak berdaya di atas kasur. Kulitnya terasa panas ketika di sentuh, kedua kelopak matanya terus tertutup, dan hanya gerakan nafas yang bisa di lihat. Melihat kondisi anaknya yang sedang bertarung melawan penyakit, membuat Amosa khwatir dan berharap Aurellia segera pulih.
Meski di pastikan Aurellia berada dalam kondisi tidak sehat. Namun, ketika sang dokter memeriksanya, tidak ada keanehan dalam tubuh Aurellia. Suhu tubuhnya masih normal, organ dalam tidak ada kecacatan, dan semua anggota tubuhnya dalam keadaan baik. Hal inilah yang membuat dokter sekaligus orang tua Aurellia kebinggungan akan penyakit yang ia derita.
"Segera sembuh, ya nak. Biar ayah dan ibumu tidak khawatir," kata Amosa sembari mengelus Aurellia.
Tiba-tiba buku kudu Amosa berdiri dengan sendirinya, jantungnya berdetak kencang, karena ia merasa ada seseorang di belakangnya. Amosa juga merasa kalau orang yang berada di belakang tubuhnya sedang menatap tajam ke arah dirinya.
Dengan cepat, Amosa memutar kepala ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya terlihat dinding kamar dengan cat yang mulai memudar. Sayup-sayup suara burung hantu membuat suasana menjadi mencekam. Suara dedaunan yang terkena hembusan tak luput terdengar.
Amosa kembali mengarahkan kepalanya ke hadapan Aurellia. Namun, secara tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengalir di kening bagian kanan. Amosa langsung mengusap cairan tersebut, dan melihat sesuatu apa yang ada di keningnya.
Betapa terkejutnya Amosa melihat ada darah mengalir di keningnya. Dengan segera ia berlari meninggalkan Aurellia dan mencari cermin. Akan tetapi, setibanya ia di depan cermin. Tak ada setetes darahpun berada di keningnya.
"Kok, aneh?" gumam Amosa yang terus memperhatikan keningnya. Tanganya yang tadinya terdapat darahpun juga bersih mengkilap.
Tiba-tiba Amosa melihat sesosok bayangan anak kecil dari balik cermin. Gerakannya langsung terhenti, jantungnya berdetak kencang, dan beberapa tetes keringan mulai bermunculan. Amosa terus memperlihatikan anak kecil yang sedang berdiri di belakangnya dari cermin.
Anak kecil itu memakai baju hitam, ramput terurai kedepan, sehingga tak cukup jelas wajah dari anak tersebut. Kedua matanya juga tertutup kain merah, sehingga menambah kesan misterius.
Amosa langsung membalikkan badan untuk memastikan keberadaan anak misterius tersebut. Tidak ada siapa-siapa di sini selain Amosa. Sejauh mata memandang, Amosa tidak melihat tanda-tanda kemunculan sesosok anak kecil berbaju hitam. Kondisi ini membuat jantung Amosa semakin berdetak kencang, tetesan keringat dingin tak terhentikan, dan tubuhnya gemetar dengan sendiri lantaran tidak kuat menahan rasa takut yang sangat kuat.
Amosa berusaha menenangkan dirinya, kemudian mengembalikan posisinya semua. Akan tetapi, baru saja Amosa membalikkan badan, ia melihat gadis tersebut di dalam cermin. Rambutnya masih terurai ke depan, akan tetapi tak menghalangi permukaan wajahnya. Kain merah yang tertutup di kedua bola matanya terlepas, sehingga Amosa bisa melihat tatapan dari gadis ini.
Kulitnya pucat pasi, bibirnya terbuka lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya dan aliran darah segar mengalir keluar dari dalam bibirnya. Beberapa bagian wajahnya terlihat mengalami keretakan, sehingga membuat siapapun yang melihatnya akan lari terbirit-birit.
Amosa terjatuh kebelakang, karena terkejut melihat sesosok gadis berbaju hitam berada di dalam cermin. Detak jantungnya semakin tak terkendali, dan membuat dadanya terasa sakit. Saking cepatnya berdetak, Amosa bisa mendengar detak jantungnya dengan jelas. Nafasnya juga sudah tidak beraturan, tubuhnya di tubuhnya di selimuti keringat dingin yang terus keluar dari pori-pori kulit. Bulu kudunya berdiri begitu tegap, layaknya seekor landak yang mempertahankan dirinya.
Akan tetapi, Amosa terus berusaha mengendalikan dirinya dan mencoba melawan rasa takut yang sudah menguasi hampir seluruh tubuhnya. Amosa memaksa tubuhnya untuk bangkit, dan memastikan kembali siapa yang mengkagetkan dirinya. Namun, ketika Amosa kembali menatap ke cermin, ia melihatkan sebuah pesan berada di permukaan cermin.
"AKAN AKU KIRIM KAMU KE NERAKA" isi tulisan yang berada di permukaan cermin dengan tinta warna merah.
*****