Aboy memaksa tubuhnya untuk terus berjalan menuju ke rumahnya. Kaki kanannya sudah berlumuran cairan merah pekat. Jika ia menggerakan kakinya akan terasanya begitu menyakitkan. Meski begitu Aboy terus melangkahkan kakinya. Jika ia berhenti, maka sama halnya menyerahkan nyawa kepada dunia.
Sesampainya di teras rumah, Aboy langsung membuka pintu, kemudian berjalan memasuki rumah dengan meringis kesakitan. Aboy menutup pintu rapat-rapat, mengatur nafasnya, dan merebahkan tubuhnya dibawah pintu. Kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menahan berat badannya.
"Sial, hampir saja aku tertangkap," gumam Aboy dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
Aboy menatap paha bagian kanannya, terlihat dengan jelas darah terus berkecucuran keluar. Kakinya juga mulai terasa kaku dan sulit untuk di gerakkan.
"Apakah kamu menyukai ini?" perkataan seseorang secara tiba-tiba dan entah dari siapa.
Aboy terkejut, dan langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara. "Siapa kamu? Apa kamu tidak melihat aku sedang kesakitan?" tanyanya kepada sesosok gadis kecil yang sudah berdiri di depannya.
Aboy tidak tahu sejak kapan gadis itu berada di dalam rumahnya, dan ia juga tidak mengenal siapa dirinya. Gadis itu memiliki ciri yang sama dengan gadis yang membunuh Clarissa beberapa waktu yang lalu. Namun, kali ini ia mengenggam sebuah pisau di tangan kanannya.
"Apakah kamu sudah lupa dengan siapa diriku?" gadis itu justru bertanya balik.
"Aku tidak mengenal siapa dirimu? Aku juga tidak pernah bertemu denganmu," jawab Aboy dengan menahan rasa sakit di pahanya.
Gadis itu tersenyum jahat. "Pasti ada masalah di pikiranmu. Kenalkan, aku Ceki, anak yang ibunya di bunuh oleh Amosa beberapa waktu yang lalu," jelas Ceki.
Aboy mengerutkan kedua alisnya. "Ibumu siapa? Dan apa hubunganya aku denganku?" Aboy semakin penasaran.
"Kau membantu dalam proses pembunuhan ibuku, dan aku akan membalas dendam atas perbuatanmu. Dengan begini, ibuku, Tatrix akan senang di sana," jawab Ceki.
Aboy terperangga, karena ia teringat bahwa ia membantu proses pembunuhan yang dilakukan oleh Amosa kepada Tatrux. Akan tetapi, seingat Aboy, bahwa Tatrix tidak memiliki siapa-siapa, bahkan seorang anak sekaligus.
"Bukankah Tatrix hidup sendiri? Dan tidak memiliki seorang anak?" Aboy kembali bertanya.
Gadis itu tertawa melengking, dan berhasil membuat bulu kudunya Aboy berdiri. Suasana yang semula terika berubah menjadi gelap, angin kencang mulai berhembus, dan suara guntur sudah terdengar.
"Itu yang kamu tahu. Padahal, akulah orang yang paling berharga buat dirinya. Meski aku selalu di dalam boneka yang telah Amosa curi," jawab Ceki sembari berjalan mendekati Aboy yang terduduk di depannya.
Kedua bola mata Aboy terbelalak, dan jantungnya serasa berhenti sepersekian detik. "Jadi kamu adalah arwah yang selama ini bersemanyam di dalam boneka itu?" tanya Aboy dengan tubuh yang bergemetar dan
Ceki kembali tertawa setelah berdiri di depannya Aboy. "Ternyata kamu tidak sebodoh yang amu kira, ya, Aboy," katanya. Ceki memegang dagu Aboy dan mendongakkan ke arahnya. Aboy sudah tidak melawan, karena ia sudah kehabisan tenaga, dan tubuhnya juga terasa sakit ketika digerakkan.
"Dan perlu kamu ketahui, ya, Aboy. Akulah yang membunuh Clarissa ketika berada di kereta itu," lanjut Ceki.
Aboy terperangga, dan langsung mendorong gadis itu. Aboy memaksa dirinya untuk bisa berdiri.
"Aku tidak akan memaafkan siapapun itu yang membunuh wanita yang aku cintai. Entah dia seorang laki-laki ataupun perempuan. Meski dia anak-anak sekalipun akan aku bunuh," kata Aboy dengan emosi yang membara.
Ceki terhuyung, akibat dorongan Aboy yang cukup kuat. Akan tetapi, kedua kakinya masih bisa menahan tubuhnya, dan membuat Ceki masih kokoh berdiri
"Mau membunuhku? Silahkan bunuhlah diriku. Tapi ingat, jika kau melakukan hal itu kepadaku, maka ibumu yang ada di kampung juga akan terkena imbasnya," tantang Ceki.
Mulut Aboy langsung membisu, ia sudah tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Kedua kakinya juga mulai lemas, dan membuat Aboy tersungkur ke depan.
"Apakah kamu lupa? Bahwa tujuanmu ke sini adalah untuk membahagiakan keluargamu yang ada di kampung? Lantas, bagaimana perasaan mereka setelah mengetahui kalau kamu menjadi pencopet dan pembunuh di sini?" tanya Ceki.
Kedua mata Aboy mengeluarkan air. Ia teringat bahwa tujuannya ke kota adalah memperbaiki ekonomi keluarganya. Akan tetapi, Aboy tersadar, bahwa apa yang dilakukannya justru memperburuk ekonomi dan merusak citra baik keluarganya. Aboy tak kuasa menahan air matanya karena teringat wajah ibunya dan kedua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah.
"Akan aku selamatkan dirimu dari kerasnya kehidupan ini. Kamu pilih mengakhiri hidupmu atau ibumu yang mati di tanganku?" tawar Ceki.
Aboy masih tidak berkomentar. Ia bangkit dan mendudukkan dirinya dengan posisi kaki ia duduki.
Ceki melemparkan pisau yang sejak tadi ia pegang. "Silahkan, kamu pilih sesuai dengan kata hatimu," ucapnya setelah melemparkan pisau ke arah Aboy.
Aboy mengambil pisau itu. Air matanya terus keluar deras, tangannya bergetar dengan sendiri. Aboy tidak tahu harus memilih yang mana, karena pilihan begitu sulit dan menyiksa pikiran Aboy.
Aboy dulunya bukanlah seorang yang jahat, ia disegani dikampungnya karena keilmuan yang tinggi mengenai agama. Namun, ia tak ingin orang-orang di kampungnya tahu bahwa dirinya sekarang adalah seorang pencopet, dan seorang yang membantu aksi pembunuhan. Akan tetapi, Aboy masih belum mau mengakhiri hidupnya, karena masih banyak belahan dunia yang belum ia ketahui.
"Aku tidak tahu harus memilih yang mana?" kata Aboy dengan tatapan ke arah pisau yang ia pegang.
*****