"Aku mau rusak wajah ini. Wajah ini sudah membuat hidup aku hancur," Alea tersenyum tipis. Dia ingat betul saat Bram mengatakan alasan menjebak dirinya karena wajahnya yang cantik.
"Terus setelah itu apa yang kamu dapat? Permintaan maaf dari dia? Atau nyawa dia? Enggak ada yang akan kamu dapat, kan?"
Hening. Hanya jangkrik malam yang menyahut perkataan Reynal.
"Berhenti bersikap bodoh." Reynal melemparkan gunting itu dengan asal sampai terpental entah ke sudut ruangan. "besok aku akan bantu kamu biar pernikahan itu batal. Sekarang kamu harus istirahat supaya pikiran kamu lebih dingin, okay?"
Reynal menuntun Alea untuk ke ranjang. Setelah Perempuan itu merebahkan diri, Reynal menarik selimut sampai sebatas leher. Dia mendudukkan diri di samping Alea. Tangannya mengelus surai hitam Cewek tersebut. Jarum jam yang berdetik terdengar. Perlahan kedua mata Alea terpejam. Ada perasaan nyaman saat bersama laki-laki itu.
Tidak tahu mengapa. Padahal ini kali kedua dia bertemu dengan Reynal.
Mereka berdua terbawa oleh suasana malam yang tenang. Alhasil Reynal juga ikut tertidur. Keduanya tidak sadar bahwa baru saja seorang laki-laki mengintip dari jendela dengan sorot mata benci.
"Sial. Gara-gara lo, rencana gue gagal!"
***
"Kamu bersikap normal aja seolah enggak ada yang terjadi. Aku akan bongkar semuanya di hadapan orang nanti saat pernikahan itu akan dimulai. Kamu enggak perlu khawatir, okay? Aku ada di sini. Semuanya akan baik-baik aja."
Alea percaya dengan perkataan Reynal. Tanpa sadar, dia menaruh harapan besar pada Laki-laki itu dan mengingkari pendirian hidupnya untuk tidak menaruh harapan kepada siapapun.
Seharusnya hari ini adalah hari yang membahagiakan untuknya. Dia berulang tahun dan Ibunya menikah setelah beberapa tahun pencarian.
Alea menatap kosong ke arah Venia yang kini mengenakan gaun pengantin berwarna putih bersih yang begitu indah tengah di make up oleh perias. Bibirnya tetap datar, tidak tersenyum manis layaknya seorang putri yang ikut bahagia.
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk berasal dari ponselnya yang ada di saku. Fokus Alea terbuyar. Dia merogoh saku, membuka rentetan pesan masuk.
[Ingat perkataan saya semalam. Jangan kasih tahu hal itu ke siapapun. Jika kamu ingin pernikahan ibumu berjalan lancar]
[Kalau kamu berani speak up, sudah pasti saya akan menghancurkan semuanya dengan mudah]
[Lusa kamu harus datang ke kantorku]
Alea berjalan masuk ke kamarnya. Langsung saja ia menelepon nomor Bram, tidak disangka. Pria tersebut langsung mengangkatnya.
"Ada apa?"
"Aku enggak akan ke kantor Om lusa nanti! Aku bukan wanita murahan. Semuanya akan berakhir. Kalau Om enggak mau melepaskan aku, aku bakal pergi sendiri ke luar negeri buat kuliah di sana!"
"Apa?" tawa hambar terdengar dari sembrang sana. Alea sungguh membenci ini. Seketika tangannya mengepal kuat.
"Saya yang akan menopang hidup kamu dan Ibumu. Memang saya bodoh akan membiarkan kamu pergi begitu saja ke luar negeri?"
"Aku enggak butuh uang Om. Aku bisa pergi sendiri!"
Telepon dimatikan sepihak, oleh Alea tentunya. Dia membanting telepon tersebut. Tidak cukup, tangannya mengacak semua barang yang ada di dekatnya.
"Kenapa harus aku?!"
***
"Lo pikir gue akan biarin lo bebas gitu aja setelah nabrak teman gue?"
Reynal terhenti. Tatapannya mengarah pada Sarga yang kini berhenti di sampingnya.
Reynal terdiam. Bagaimana bisa Sarga tahu bahwa semalam... dia menabrak seseorang?
Flashback
Berbekal lampu mobil yang menyorot jalanan, Reynal memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit lantaran mendapat kabar bahwa sang kakak mengalami kecelakaan.
Derasnya hujan dan petir bergemuruh menambah suasana semakin mencekam. Reynal membuang nafas perlahan, berusaha untuk menyingkirkan rasa dingin yang menusuk tulang.
Nada dering telepon mendadak berbunyi. Perhatian Reynal teralih pada jok di sampingnya. Tergeletak ponsel di sana. Reynal langsung meraih bersamaan dengan itu pandangannya kembali berpindah ke depan. Seketika matanya terbeliak mendapati seseorang mendadak sudah berdiri di depan mobilnya.
Suara decitan terdengar ketika Reynal menghentikan mobilnya tiba-tiba.
Nafas Reynal memburu. Dia harap orang itu baik-baik saja. Reynal langsung keluar dari mobilnya, ia melangkah maju. Reynal mengusap rambutnya kala melihat orang yang barusan ia tabrak tergeletak tidak sadarkan diri dengan kepala mengeluarkan darah.
Luka yang ada di kepala itu membuat Reynal yakin bahwa Perempuan yang barusan ia tabrak tidak baik-baik saja.
Reynal menggeleng pelan. "Enggak-enggak. Ini sepenuhnya bukan salah gue." Langkahnya perlahan mundur. Baru saja memegang pintu mobil, Reynal berhenti saat tidak sengaja menangkap sosok perempuan tengah berjalan di tepi jembatan sana.
Kedua matanya menyipit, seketika terhenyak melihat sosok yang dia kenal.
Alea.
Sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan perempuan tersebut. Tanpa membuang waktu lagi, Reynal masuk dan melajukan mobil.
Meninggalkan perempuan yang tergeletak dengan kondisi menyedihkan.
-off-
"Siapa? Gue enggak ngerti maksud Lo," jawab Reynal, berlagak tidak tahu apa-apa.
Emosi Sarga yang sedari tadi sudah di ubun-ubun pun langsung maju tiga langkah dan mencengkram baju Reynal. "Teman gue bisa aja laporin lo ke polisi karena kasus tabrak lari! Lebih baik lo berlutut minta maaf atau mendekam di penjara beberapa bulan."
"Gue akan tanggung jawab, tapi enggak sekarang." Reynal memegang tangan Sarga yang mencengkramnya. Dengan kasar, dia menghempaskan lengan itu.
"Oh, jadi lo enggak mau tanggung jawab? Oke, gue pastikan hubungan lo sama Alea enggak akan bertahan lama,"
Reynal tertawa hambar. "Kenapa lo menyimpulkan kalau gue ada hubungan sama dia?"
Tatapan Sarga semakin menajam. "Enggak usah menyangkal. Gue udah lihat bagaimana interaksi kalian semalam,"
"Semalam? Gue punya penjelasan tentang itu. Sekarang jangan ganggu gue lagi. Sore nanti baru gue akan jenguk teman lo." Reynal memalingkan muka, kembali memandang lurus.
"Jenguk? Dia udah meninggal tadi subuh!" Sarga mempercepat langkah, tanpa ba-bi-bu lagi dia menendang keras punggung Reynal dari belakang. Kontan Reynal terjatuh ke depan. Tidak cukup, Sarga memukul kepala Reynal secara brutal.
Perkelahian hebat terjadi. Tidak ada yang mengetahui lantaran posisi mereka di halaman belakang rumah yang jarang dilintasi orang-orang.
***
Tamu-tamu undangan sudah hadir nyaris 100 persen. Alea sesekali menatap ke arah pintu dan memperhatikan sekitar, berharap Reynal datang dan menepati janjinya untuk membongkar kelakuan buruk Bram.
Belasan menit berlalu, orang yang dia tunggu belum juga datang. Alea mengesah panjang. Dirinya sedari tadi bergerak gusar.
"Alea, selamat atas pernikahan Ibu kamu, ya." Kakak kelasnya datang. Alea langsung menanggapi perkataan barusan dengan senyum.
"Iya, terimakasih."
"Lo dengar kabar enggak?"
"Kabar apa, Kak?" tanya Alea balik sebab dirinya tidak tertarik dengan berita sekolah karena biasanya memberitahu hal yang tidak berguna. Contohnya teman sekelasnya berpacaran dengan kakak kelas. Alea sungguh tak menyukai berita semacam itu.
"Chika meninggal tadi subuh."
"Hah?" Alea tersentak kaget. "kenapa mendadak banget?" Perasaan kemarin dirinya lihat, Kakak kelasnya baik-baik saja.
"Dia korban tabrak lari. Semua anak-anak bakal melayat nanti siang jam dua. Lo ikut, kan?"
Belum sempat Alea mengangguk, perhatian lawan bicaranya itu terarah ke pintu. Alea mengikuti arah pandangnya, sampai tampaklah sang ibu dengan gaun putih yang begitu indah bak ratu kerajaan.
Sementara di dekat pendeta sana, sudah ada Bram tengah berdiri, menunggu Venia untuk menghampirinya.
Hati Alea berkecamuk. Reynal bohong. Laki-laki itu hanya berucap saja. Alea merasa seperti orang bodoh sekarang. Tubuhnya mematung diam di tempat. Orang-orang banyak yang hadir di sini membuat nyalinya menciut, menguap dan lenyap entah ke mana.
"Venia Uaine Callistana, aku mengambil engkau menjadi istriku untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus dan inilah janji setiaku yang tulus."
"Bram Adriano, aku mengambil engkau menjadi suamiku untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus dan inilah janji setiaku yang tulus."
Sampai janji suci itu disebutkan, Reynal masih saja belum menunjukkan tanda-tanda akan muncul. Tubuh Alea melemas seketika. Dia berdiri, dan keluar dari tempat ibadah itu. Tidak ada yang peduli ataupun bertanya. Mereka terlalu fokus pada sepasang pengantin.
"Al... Pernikahan itu... belum berlangsung, kan?"