Orang-orang berpakaian hitam itu berangsur meninggalkan gundukan tanah yang masih berwarna merah dengan bunga tertabur di atasnya. Berbeda dengan Gadis yang satu ini. Dia masih duduk di samping makam Sang Nenek. Entah sudah berapa kali air matanya menetes, yang jelas kedua matanya telah sembab dan memerah.
Bahkan di pemakaman Neneknya, Sang Ibu tidak datang. Dia ditinggal sendiri, di tengah banyaknya makam. Suasana hening dan senyap. Alea meratap, hanya semilir angin yang menjawab tangisannya.
"Kamu di sini juga?"
Alea menengok ke samping, dan mendongakkan wajahnya. Laki-laki itu Reynal, orang yang sudah menyelamatkannya tadi malam.
"Maaf, aku menganggu. Kalau begitu, aku--"
"Jangan." Pria itu berhenti, bersamaan dengan Alea yang terlihat akan bangkit berdiri. "kamu enggak menganggu kok,"
"Aku turut berduka atas kematian nenekmu," Reynal berjalan beberapa langkah, setelahnya dia berjongkok dan meletakkan buket bunga itu di depan nisan Nenek Alea.
"Kamu kenal Nenek?" dia tidak menduga sebelumnya sebab wajah Reynal asing di matanya. Sang Nenek juga tidak pernah terlihat bertemu dengan Laki-laki yang baru dikenalnya itu. Tidak mungkin juga, kan, Reynal memanfaatkan kematian neneknya. Mengingat Sang nenek berasal dari keluarga biasa saja. Bukan selebriti ataupun tokoh penting masyarakat.
"Kenal. Nenek kamu pernah mengurusku ketika aku berumur delapan tahun. Aku memiliki banyak hutang budi padanya," kata Reynal. Alea hanya mengangguk paham.
"Siapa kamu?" sudut bibir Alea tertarik senang melihat Sang Ibu datang. Namun yang membuat dia heran adalah... Ibunya tidak memakai pakaian hitam.
"Saya Reynal Abipraya, teman putri Tante." Reynal sedikit membungkuk, berniat menyalimi tangan Venia, namun wanita yang umurnya terpaut jauh darinya justru mundur beberapa langkah. Reynal terkejut, salah apa dirinya sampai dijauhi seperti ini.
"Alea sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Jauhi dia. Jangan buat dia tidak fokus." tegas Venia, memegang pergelangan lengan Alea, dan menggandeng paksa Alea untuk meninggalkan area pemakaman. Kedua mata Alea masih setia melihat Reynal yang masih saja mematung di tempat.
Reynal mengangguk sekali, mengisyaratkan Alea untuk memandang ke depan. Dia tentu tahu maksud dari tatapan Alea.
"Ibu, lepas. Tangan aku sakit,"
Venia baru melepaskan cengkeramannya kala sampai di samping mobil. "Dia pacar kamu?!"
"Bukan. Dia orang yang udah nolongin aku malam itu,"
"Jangan dekat-dekat dengan laki-laki lagi!"
"Enggak kok," Alea memegang lengannya yang memerah. Ia menunduk sedih, namun ada secercah rasa senang di hatinya sebab sang ibu masih peduli.
"Saya sudah mentransfer uang untuk biaya hidup kamu satu bulan ke depan. Kamu harus menggunakan uang itu untuk yang perlu saja. Permisi,"
Alea mendongak, disusul dengan gelengan kepalanya. Tangan kanannya itu secara refleks terulur untuk menahan lengan Venia. "Aku ikut! Aku enggak bisa tinggal sendirian, Bu."
"Tidak. Saya tidak mau orang asing tinggal di rumah saya," Venia berusaha melepaskan cekalan itu, namun Alea semakin kuat menggenggamnya membuat Venia menatapnya garang.
"Aku mohon, Bu. Ibu tega biarin aku tinggal sendirian di kosan? Kalau ada orang yang jahat, gimana? aku takut. Aku enggak bisa bertahan sendirian. Aku mohon, Ibu. Walaupun aku tidur di sofa, a--aku bersedia kok. Yang penting aku enggak sendiri," pinta Alea dengan sirat memohon.
Tatapan Venia meredup, berubah menjadi iba. "Tapi ada satu syarat. Kamu harus melakukan apa yang saya perintahkan di rumah nanti,"
Alea terenyuh. Jadi dirinya akan dijadikan pembantu? Air mata menitik. Ah, seharusnya dia tidak boleh menangis! "Iya! aku bakal melaksanakan semua perintah Ibu,"
"Satu syarat lagi. Jangan panggil saya Ibu!"
****
"JELAS-JELAS LO YANG KALAH, BEGO!"
"GUE YANG MENANG!"
"WOY! BOLA ITU ENGGAK NGELEWATIN GARIS!"
"TAU NIH. SI FADLI MATANYA SIWER MULU!"
"MENDING LO MAIN BARBIE AJA SANA, ANJING!"
Suara riuh para murid Laki-laki menggema di seluruh kelas. Atensi murid Perempuan terganggu. Mereka tidak bisa melakukan apapun selain mendumel sebal.
"Kalian kalau main bola di lapangan dong! Jangan di sini!" tegur Alea sambil melempar sapu kelima laki-laki itu. Agus, murid yang terkena sapu itu langsung mengusap-usap sembari mengumpat tidak terima.
"Sialan Lo, Al! Gue enggak salah juga."
"Enggak salah gimana?! Kamu ikut main sama mereka!"
"Tapi gue pemain cadangan woy!"
"Ya, ta--tapi, kan, kamu gabung sama mereka!" balas Alea tidak mau kalah. Sungguh, dia sedang menutupi rasa malunya saat ini. Ia kira Agus ikut main tadi.
"Udah. Cewek mah kalau ribut, enggak mau kalah."
"Aleanjing!"
"Apa kamu bilang?! Jangan ngomong kotor begitu, bisa enggak, sih?! di kelas ini aku udah tulis enggak boleh ngomong kasar!" gertak Alea. Bukannya takut, Para murid lelaki itu justru tertawa kencang. Sudah biasa. Hal seperti ini telah Alea lalui puluhan kali.
"Kak Alea," kemunculan adik kelas di ambang pintu membuat semuanya hening kembali.
Alea menengok dengan tatapan bertanya-tanya ke Hanum. "Ada apa?" tanyanya setelah sampai di depan Gadis yang lebih pendek darinya.
"Di suruh Kak Sarga ke halaman belakang,"
"Bilang ke dia, aku enggak mau." jawab Alea terkesan peduli. Pasalnya pertemuannya dengan Sarga terbukti tidak ada gunanya selama ini. Hanya membuat dirinya naik darah saja. Menyebalkan.
"Please, Kak. Harus mau. Aku enggak mau dihukum Kak Sarga nanti,"
"Dia enggak bakal menghukum kamu,"
"Tinggal pergi apa susahnya? Kasihan adik gue udah capek-capek ke sini." desak Haris, mendorong tubuh Alea dari belakang.
Egois.
Kedua mata Alea berkaca-kaca sekarang. Bahkan dari sekian banyaknya teman-temannya yang ada di sini, tidak ada satupun yang peduli apa yang akan Sarga lakukan padanya, atau akan baik-baik sajakah dirinya nanti. Alea menyesal telah berekspektasi setinggi itu.
Sampai di tempat yang dibilang adik kelasnya tadi, Alea langsung disuguhi pandangan tidak senonoh. Bagaimana tidak?! beberapa botol alkohol terpampang di hadapannya bahkan... Sarga terlihat meminum minuman tersebut sekarang.
"Tumben Lo datang secepat ini? biasanya Lo selalu telat dan bikin drama dulu sebelum datang," Sarga membuang botol yang sudah ia pegang selama tiga puluh menit terakhir.
"Tujuan kamu apa panggil aku?" tanya Alea langsung. Berada di tempat ini membuat dia ingin sekali muntah. Bau alkohol membuat perutnya bergejolak mual.
"Santai dong. Duduk dulu," Sarga menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.
Alea mendelik jijik ke arah Kakak kelasnya itu. "Enggak. Aku nggak mau lama-lama di sini. Cukup berdiri di sini,"
"Berani Lo nolak permintaan gue? Hem, kayaknya gue harus tunjukkan video itu biar Lo punya rasa takut. Yon, siniin hp gue." tagih Sarga pada Ryon yang duduk di sebelahnya.
Kedua mata Alea menatap was-was ke arah mereka berdua. Dia yakin video itu bukan aneh-aneh. Dugaan negative mulai berkeliaran menguasai benaknya.
Sarga melangkah lebar, mendekati Alea yang masih setia di tempat. "Apa Lo masih berani melawan gue?" bersamaan dengan itu, Sarga melempar ponsel miliknya. Beruntung Alea berhasil menangkap. Cahaya biru menerpa wajahnya ketika dia berhadapan dengan ponsel itu. Ia langsung memutar video yang ditunjukkan oleh Sarga.
Detik demi detik berlalu...
Alea terbeliak lebar, tidak percaya apa yang dia lihat sekarang. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera menghapus video itu. Selang beberapa detik, gelak tawa Sarga terdengar.
"Gue punya salinan video itu di hp Ryon. Mau Lo hapus pun enggak akan berpengaruh." kata Sarga. Ia berjalan lebih dekat dan menempatkan bibirnya di telinga Alea. "video Lo mabuk akan tersebar di seluruh sekolah ini. Ibu Lo bakal menanggung malu dan Lo bakal lebih dijauhi oleh teman-teman lo. tapi semua itu enggak akan gue biarin terjadi asalkan Lo menurut apa perkataan gue,"
****
Alea masuk ke dalam rumah besar bergaya Eropa itu. Tidak ada Sirat mata berbinar-binar ataupun semacamnya. Dia mendaratkan dirinya di sofa, kemudian membungkuk dan mulai melepas sepatu. Jika membunuh dibolehkan di dunia ini, sudah pasti ia akan melenyapkan pria bernama Sarga itu. Sebelum video itu ada, Sarga sudah bersikap seenaknya pada dirinya, apalagi saat video itu ada sekarang ini. Bisa-bisa masa-masa terakhir SMA-nya tercap sebagai masa terburuk di riwayatnya.
Alea tergemap merasakan sesuatu menimpa wajahnya. Ia memegang yang ternyata gaun berwarna peach dengan glitter yang ada di beberapa titik. Pandangan Alea teralih pada Ibunya yang tengah berdiri dengan tatapan sinis. "Pakai gaun itu. Dandan yang cantik. Jaga sikapmu ketika di depan ayah barumu saat makan malam nanti,"
"H--hah? Ibu... mau nikah lagi?" Alea berdiri, dan melingkarkan gaun itu di lengannya.
"Ya,"
"Serius?" Alea tersenyum sumringah. "serius ibu mau nikah lagi? aku punya ayah lagi?! berarti kita ke pantai bertiga lagi dong?! aku udah bosen dikatain anak tanpa ayah, Bu. Tapi sekarang aku senang Ibu nemuin laki-laki baik. Ibu senyum lagi, ya? jangan datar mulu," kata Alea, dia langsung memeluk erat Ibunya dengan sayang.
Venia tidak membalas pelukan itu. Sudut bibirnya tetap datar sampai Putrinya melepaskan pelukan, barulah Venia lanjut beranjak ke kamarnya tanpa mengucapkan satu katapun.
"IBU! JANGAN LUPA SENYUM!"
***
Di setiap sudut restoran yang ia pijak saat ini, Alea bisa melihat orang-orang berkelas tengah makan dengan makanan yang mungkin bisa untuk membeli rumah. Jas-jas rapih mereka serta gaun yang dipakai para wanita itu membuat Alea sedikit inscure melihatnya. Untung saja Ibunya ini sudah pengertian memberinya gaun elegan yang tengah ia pakai saat ini.
"Putrimu cantik," suara berat itu mengalihkan atensi Alea. Tampaklah seorang pria yang kelihatan seumuran dengan ayahnya. Hanya saja yang membuat Alea seketika tidak nyaman, tatapan Pria itu membuat dia risih.
"Maaf, aku baru membawanya ke hadapanmu sekarang. Akhir-akhir ini dia sibuk." ujar Venia pada Sang calon suami. Diam-diam dia mendorong pelan punggung Alea, mengisyaratkan sang putri untuk segera duduk. "Alea sayang, ayo sapa Ayah Bram."
"Hai, Om..." Alea melambaikan tangan sambil tersenyum kikuk.
"Om? Kamu harus memanggilnya ayah, sayang."
"Jangan dipaksakan. Mungkin dia belum siap. Santai saja. Kehadirannya di sini sudah cukup buatku," ujar Bram. Alea membuang nafas lega. Ternyata ayah barunya itu tidak kaku yang ia kira.
"Putramu belum datang?" Venia menilik ke belakang calon suaminya. Hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Sarga.
"Dia memang suka mengulur waktu. Jangan berharap lebih dengan menunggunya." sahut Bram. Ia menggeser kursi ke depan, agar lebih dekat pada Alea. "kamu satu kelas dengan Sarga?"
Alea tergegau, mengapa Om Bram menyebut nama Laki-laki menyebalkan itu?
"Sar...ga? Aku enggak sekelas sama dia, Om. Dia beda jurusan sama aku,"
"Oh. Berapa umurmu?"
"Sembilan belas tahun, Om." suara Alea melirih. Ia menundukkan kepala ketika Bram memandangnya dengan tatapan serius. Jujur saja. Alea tidak nyaman jika dipandangi seperti itu.
"Hey, bukankah sebelumnya aku sudah memberitahu umurnya?" sergah Venia. Di bawah sana, dia memegang kuat lengan Alea. Venia memperpendek jarak dan berbisik, "bersikap santai saja. Sebentar lagi dia akan menjadi ayahmu."