"Ibu akan ke kamar mandi dulu, ya." Venia memegang kedua pundak Alea, disusul kaki jenjangnya yang mendorong kursi, lantas berdiri. Alea hanya mengangguk sekali sebagai jawaban dan memandang kepergian Venia. Masalahnya ia masih canggung dengan orang baru. Dia juga bingung apa yang ia akan tanyakan pada Ayah barunya. Sudahlah. Lebih baik ia melanjutkan makan saja.
"Apa Sarga bersikap baik di sekolah?"
Seketika makanan yang tengah ditelan oleh Alea, seolah tersangkut di kerongkongan. Gadis itu terbatuk-batuk sambil memukul pelan dadanya. Bram yang melihat itupun langsung maju, tangan kanan Bram terulur menepuk-nepuk pundak Alea, sementara lengan kirinya mendekatkan gelas berisi air putih yang masih penuh.
"Minum ini. Apa pertanyaanku tadi salah?"
Alea bergegas meminum air tersebut hingga tersisa setengah. Ia mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. Saat mendongakkan kepala, Alea tergemap melihat iris mata legam itu berjarak sangat dekat dengannya. Alea langsung menundukkan kepala, lengannya di bawah sana meremas kuat gaun yang ia gunakan. Rasa terkejutnya itu bertambah merasakan pundaknya dibelai pelan.
"Kamu sudah baik-baik saja?"
Alea mengangguk cepat. Barulah Bram menjauh dan kembali duduk di tempatnya.
"Ngapain Lo di sini? mau ngemis sama Bokap gue?" suara sarkastik itu mengalihkan atensi Mereka berdua terutama Bram yang langsung memberi tatapan tajam pada Putranya.
"Bicara ke siapa kamu?"
"Siapa lagi kalau bukan Cewek j*lang yang duduk di depan Papa," Sarga meletakkan kasar tasnya di kursi sebelah Bram, kemudian bergabung duduk di sana. Dia bersidekap dada, netra hitamnya itu terus memandangi Alea yang tengah balik melihatnya.
"Siapa yang mengajarkanmu berkata kasar seperti itu?"
"Berkata kasar? Aku bilang fakta. Dia emang Cewek murahan."
"Ayah pastikan kartu kreditmu tidak akan bisa digunakan lagi setelah ini," ancam Bram tanpa basa-basi. Dia tahu titik kelemahan Putranya itu di mana.
"Sarga? Wah, wajahmu mirip ayahmu, ya. Aku hampir beranggapan kalian adalah saudara kembar," Venia datang dengan senyum sumringahnya. "sebentar, aku akan panggil pramusaji untuk memesankan satu makanan lagi,"
"Tidak perlu, Sayang. Biar aku saja," sergah Bram.
"Baiklah kalau begitu," Venia kembali melihat ke arah Sarga. "selepas lulus kamu akan ke mana? Kuliah manajemen untuk meneruskan perusahaan Ayahmu, kan? Kamu tau? auramu itu sangat cocok untuk memimpin sebuah perusahaan. Ibu akan selalu mendukungmu,"
"Saya tidak perlu dukungan Tante."
"Sarga!"
"Sudah, biarkan, Mas. Sarga pasti butuh waktu sama seperti Alea untuk menerima kita," kata Venia, ia sudah tahu sebelumnya resiko yang akan dia hadapi. "Sarga, Tante beri waktu untuk kamu agar bisa menerima. Kapanpun, Tante akan selalu menganggap kamu sebagai putra kandung Tante sendiri,"
"Bodo." Sarga mengambil minuman milik Alea. Dengan entengnya dia habiskan air putih itu hingga habis tak tersisa dan mengabaikan tatapan horor dari Bram.
"Jangan harap kamu bisa pulang malam ini."
"Emang aku pernah pulang ke rumah minggu-minggu ini?" Sarga balas bertanya, bersamaan dengan kedua matanya yang masih menatap santai.
Menyadari bahwa interaksi Ayah dan anak itu semakin sengit, Venia berdeham lumayan keras. "Sepertinya hari akan larut malam. Aku dan Alea pamit pulang dulu,"
"Kenapa pulang secepat ini?"
"Besok Alea dan Sarga sekolah. Tidak baik begadang bagi mereka. Aku pergi dulu, Mas."
"Aku antarkan, ya," Bram bersiap untuk berdiri, namun gelagat Venia membuat dia mengurungkan niatnya itu.
"Tidak perlu. Aku bawa mobil sendiri." Venia memegang lengan Alea, menggandeng putrinya itu untuk segera pergi. Sedangkan kedua tangan Bram mengepal kuat. Kuku-kuku bukunya memutih. Rahangnya itu semakin menegas. Ia mengalihkan tinjauan kembali pada putranya.
"Semua ini gara-gara kamu."
"Waktu itu Ayah janji akan setia sama Bunda, tapi nyatanya Ayah malah menikah sama wanita itu!"
"Diam. Jangan ungkit masa lalu!"
"Jadi Ayah berjanji hanya untuk formalitas saja?" Sarga berdecih. "aku enggak akan kasih restu!" Dia berdiri dan menggendongkan kembali tas di pundaknya. Sarga memang tidak memakai kemeja atau pakaian formal semacamnya. Ia hanya memakai seragam SMA. Lagian menurut dia, pertemuan ini adalah pertemuan sampah.
"Anak sialan!"
****
Terik matahari sudah terasa menyengat panas walaupun baru jam 08:30 pagi. Suara keluhan para murid perempuan terdengar saling bersahutan. Namun semua itu berakhir percuma karena jam olahraga masih tersisa tiga puluh menit lagi. Sementara mereka yang berteduh di bawah pohon besar sana, bersorak kagum melihat pemandangan para murid cowok yang berkeringat. Teriakan mereka semakin menggila ketika Sarga, salah satu idola di sekolah ini menunjukkan perut sixpacknya.
Sedangkan Alea disibukkan dengan tumpukan buku yang ia bawa. Hatinya bergerutu risih mendengar teriakan lebay teman-teman sekelasnya. Namun mau tidak mau ia harus tetap mengantar buku ini ke tempatnya.
Alea masuk ke dalam perpustakaan yang senyap dan sepi. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, menyadari tidak ada satu orang pun selain dirinya, dia menelan berat salivanya.
Namun tunggu.
Telinganya itu menangkap suara aneh meskipun samar-samar, ia masih bisa mendengarnya. Alea berjalan pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Begitu sampai di bagian buku yang ia bawa ini, Alea meletakkan buku paket bahasa Indonesia itu di tempatnya. Dia lanjut berjalan mendekati sumber suara hingga... sosok laki-laki tampak di sana bersama seorang perempuan. Alea membekap mulutnya sendiri. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit dahinya. Badannya mendadak bergemetar. Saat dia akan berbalik, Alea berteriak kecil kala merasakan dirinya menabrak sesuatu.
"Woy! keluar kalian!" teriak Sarga. Ya, Sarga yang telah ditabrak oleh Alea. Tidak tahu sejak kapan. Tapi kehadiran Cowok itu membuat Alea terbelalak lebar dan semakin gelagapan.
"Siapa Lo berani--eh, Sarga. Ada apa ke sini, Bos?" Laki-laki itu mengusap lehernya dengan tatapan malu. Sedangkan perempuan yang tadi bersamanya terus bersembunyi di belakang Sang Cowok. Terlalu memalukan untuk menatap wajah Alea apalagi Sarga.
"Jangan cemarkan perpustakaan ini. Cepat kalian pergi sebelum gue lapor kelakuan kalian,"
"Wah, jangan dong. Maafin kita, yak. Gue khilaf,"
"Sana pergi sebelum gue berubah pikiran!" sentak Sarga. Kedua murid itupun pergi melewati Mereka dengan terburu-buru. Alea yang melihatnya pun bersiap untuk pergi juga, namun cekalan di tangannya membuat dia berhenti.
"Siapa yang suruh Lo pergi?"
"A--aku harus kembali ke kelas,"
"Mau gue sebar video itu?"
Alea mendongak dan menggeleng cepat.
"Dengar. Suruh Ibu Lo buat jauhin Ayah gue karena gue ogah punya adik tiri kayak Lo dan Ibu gue cuma satu. Posisinya enggak akan ada yang bisa menggantikan." kata Sarga, tatapannya menajam. Aura menyeramkan dari laki-laki itu semakin pekat, membuat nyali Alea semakin menciut untuk menatap.
"Ta--tapi, pernikahan Ibu sama Om Bram satu Minggu lagi. Undangan juga udah disebar, aku enggak bis--"
"Gue enggak mau tau! pokoknya Lo harus batalin pernikahan itu atau video Lo bakal gue sebar ke ibu Lo dan seluruh sekolah ini! atau bahkan gue bisa nyebarin video Lo di seluruh kota ini biar Lo enggak punya muka lagi buat muncul di depan orang."