Hari ini Ibu mengajakku untuk ke rumah Om Bram. Sebenarnya ini adalah kesempatan untuk mengatakan hal itu. Aku memandang ke arah Ibu yang sedang menyetir. Tidak. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara hal itu. Aku juga takut Ibu marah dan kembali membenciku.
Setelah melewati perjalanan beberapa menit, aku dan Ibu akhirnya sampai di sebuah rumah besar bergaya Eropa klasik. Pandanganku tidak sedetikpun terlepas. Rumah itu mengingatkanku pada ayah.
"Jaga sikap. Ibu tidak akan menganggapmu lagi jika kamu bersikap seperti orang yang tidak pernah dididik. Silakan keluar,"
Aku keluar dari mobil usai Ibu membukakan pintunya dan berkata barusan.
"Apa kamu dan Sarga berteman baik di sekolah?"
"Iya, Bu," terpaksa aku berbohong karena aku tahu bagaimana reaksi Ibu ketika tahu aku tidaklah akur dengan Sarga. Jangankan akur, setiap kami bertemu, pasti berujung ribut ataupun pengancaman. Sama persis yang tengah aku alami kemarin.
Ibu memencet bel rumah. Aku lihat wajahnya sumringah sedari tadi.
"Nyonya Vania? Sama Nona Alea juga, ya?" wanita dengan rambut beruban itu menyapa kami. Mungkin pembantu di rumah ini.
"Bibi apa kabar?"
"Baik sekali. Ayo, silakan masuk. Pak Bram pasti akan senang dengan kehadiran Nyonya,"
Aku akan melangkah, tapi berhenti melihat Ibu seperti mencari sesuatu. Keningku mengernyit dibuatnya. "Aduh, sebentar. Saya baru ingat ada sesuatu yang tertinggal di mobil. Saya akan menyusul. Bibi, antarkan Alea masuk ke dalam, ya,"
"Tapi, Bu--"
Ibu justru membulatkan mata ke arahku. "Jangan membantah perkataan saya,"
Saat itu juga nyaliku menciut. Bibi yang belum aku ketahui namanya ini menuntunku masuk ke dalam dengan wajahnya yang ramah. "Pak Bram ada di ruang kerja. Sebentar, Bibi akan panggilkan."
"Eh, Bibi tunggu." aku memegang tangannya membuat langkahnya terhenti dan menengok kepadaku. "biar aku yang ke sana saja, Bi. Kebetulan ada sesuatu yang harus aku omongin ke Om Bram."
"Benar, nih, Non? Baiklah. Bibi ke dapur dulu untuk menyiapkan minuman, ya,"
"Iya, Bi." aku membalas senyuman ramahnya. Setelah Bibi benar-benar pergi, aku berjalan menelusuri setiap ruangan yang ada di sana. Sampai aku di depan sebuah ruangan. Entah kenapa, insting ku mengatakan Om Bram ada di dalam sana.
Ancaman yang Sarga ucapkan kemarin sore terngiang di otakku. Aku bingung mencari alasan yang akan ku gunakan untuk menghentikan pernikahan Ibu. Dari semalam aku sudah memikirkannya, namun masih belum menemukan alasan tepat.
Dengan nekat, tanganku mengetuk pintu. Jawaban yang ku tunggu belum terdengar juga. Alhasil aku hanya berani menunggu dengan kebimbangan yang mengombang-ambingkan perasaanku.
Aku menengok ke sekitar. Mungkin masuk terlebih dahulu ke ruangan itu tidak masalah. Aku memegang handle pintu dan mendorong pelan. Ternyata sama sekali tidak dikunci. Aku melihat ke dalam ruangan. Om Bram ada di dalam. Jari-jarinya mengetik di atas keyboard laptop. Aku memberanikan diri untuk masuk sembari memilin ujung baju.
"Permisi, Om," panggilku.
Om Bram menengok ke arahku. "Alea? Ada apa?" dia mendekat ke arahku. Aku menundukkan kepala dan sedikit tersentak ketika dia memegang pundakku.
"Aku mau bicara sama Om,"
"Ayo duduk di sana," Om Bram memegang kedua pundakku dan mengarahkannya untuk duduk di tepi ranjang. Aku menurut saja. Setelah duduk, aku bersiap untuk mengatakan hal itu. Apapun yang terjadi. Aku harus bisa.
"Ada apa?" Om Bram mengatakannya terlalu dekat denganku. Sampai-sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
Aku menengok dan benar saja kedua netra hitamnya terlihat jelas olehku.
"Hm? Bilang saja. Tidak perlu sungkan mengatakan keinginanmu,"
"Aku mohon jangan nikahi Ibu," jawabku akhirnya. Semua beban terasa hilang begitu saja.
"Apa?" dia terlihat terkejut. Aku harap Om Bram tidak marah.
"Hey, kenapa? Katakan sesuatu mengapa aku tidak boleh menikahi Ibumu," katanya. Itu alasan yang aku pikirkan sedari tadi.
"I--Ibu enggak memerlukan seorang suami. Aku juga tidak mau dia disakiti untuk kedua kalinya. Lagipula, kami berdua bisa hidup berkecukupan tanpa Om. Aku mohon agar Om menjauhi Ibu sekarang," Om Bram menatapku sebentar. Aku langsung memalingkan muka, tidak punya keberanian untuk memandang matanya.
"Tolong, lihat saya." tidak aku sangka, dia memegang pundakku kembali. Aku bergeser duduk dengan gugup hingga menghadapnya. "saya tidak akan menyakiti hati Ibu kamu. Saya mencintainya. Seorang wanita pasti memerlukan pasangan hidup untuk bersamanya hingga tua, begitupun Ibu kamu. Berhenti mengkhawatirkan hal yang tidak akan terjadi. Saya berjanji tidak akan membuat Ibumu kecewa," Om Bram memandang kedua mataku. Untuk sesaat aku hampir saja akan hanyut ke dalam tatapannya. Tubuhku seperti tersengat listrik ketika kedua pipiku dipegang. "jika kamu menginginkan apapun, bilang saja ke saya. Saya akan menuruti semuanya," kata Om Bram lagi. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
"Siapa yang menyuruhmu untuk mengatakan ini?"
Aku tergemap, bagaimana Om Bram tahu kalau aku diperintah? Apakah dia semacam cenayang?
"Eng--enggak ada, Om."
"Kamu tau? Wajahmu tidak pantas untuk berbohong. Siapa yang mengancam mu? biarkan aku yang menanganinya," bagaimana ini. Dia terus mendesak ku. Apakah aku harus jujur bahwa putranya sendiri yang mengancam ku?
"Jawab saja, Al. Tidak akan ada yang berani macam-macam padamu jika kamu jujur. Saya akan melindungi kamu," perkataannya terdengar meyakinkan. Aku terus memilin ujung kaus bersamaan dengan pikiranku yang berjalan.
"Ayo siapa?"
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Bersamaan dengan kedua mataku yang terpejam, aku mengatakan, "Sa--sarga,"
"Sarga putra saya?"
Aku mengangguk pelan.
"Anak itu memang..." Om Bram berhenti. Aku bisa lihat dari Sirat matanya ada kemarahan. Secara spontan aku kembali melihat ke arah lain ketika Om Bram memandangku lagi. "saya akan menangani Anak itu. Kamu jangan takut. Katakan dengan jujur, apa yang dia gunakan untuk mengancam mu?"
"Video,"
"Video?"
Aku mulai menceritakan semua kejadian pada malam itu dengan jujur tanpa dilebih-lebihkan. Semoga saja Sarga tidak mendengar perkataanku ini.
"Saya akan berusaha untuk menghapus videonya. Kamu tidak perlu ketakutan lagi, okay?"
Aku lagi-lagi melenggut.
"Boleh saya meminta nomor telepon kamu?"
"Boleh,"
"Tulis di sini. Siapa tahu di waktu lain, kamu membutuhkan kehadiran saya. Jadi lebih gampang untuk menghubunginya," Om Bram menyerahkan ponselnya kepadaku.
"Iya, Om." aku langsung mengetik nomor teleponku di atas benda pipih itu.
"Bagus. Kalau ada orang yang mengganggu kamu, jangan segan untuk memberitahunya pada saya," dia menerima ponsel yang aku serahkan barusan.
Lagi, aku hanya mengiyakan perkataannya.
"Kalian berdua sedang berbicara apa? Terlihat serius sekali,"
Aku menengok ke ambang pintu. Ternyata Ibu. Siap-siap saja aku akan dimarahi setelah ini.
"Tidak serius. Ini hanya pembicaraan antara ayah dan anak,"
"Wah, aku tidak menyangka kalian cepat akur seperti ini. Aku suka itu,"
Beban ku sedikit berkurang setelah menceritakan semuanya pada Om Bram. Aku menikmati semua makanan yang tersedia. Sesekali aku ikut tersenyum melihat Ibu sebahagia itu ketika mengobrol dengan Om Bram. Pertemuan itu tidak berlangsung lama sebab rekan kerja Ibu menelepon dan mengatakan ada acara bisnis dadakan yang harus dihadiri.
Dan pada akhirnya aku mengurung diriku di rumah Ibu. Tidak ada yang aku kenal di sekitar komplek ini. Sedangkan di sekolah, aku juga tidak mempunyai teman. Mereka tidak jarang mengataiku 'anak pembunuh' karena kesalahan yang Ayah lakukan di masa lalu. Andai saja mereka tahu yang sebenarnya bahwa saat itu, Ayah dijebak oleh rekan kerjanya dan bukan pembunuh sesungguhnya, mungkin mulut Mereka akan membungkam. Aku sudah menjelaskan itu, tetapi yang aku dapat hanyalah cacian. Mereka tidak percaya.
Ting.
Notifikasi pesan membuyarkan semua pikiranku. Aku segera merogoh saku, dan terkejut melihat nomor tidak dikenal. Langsung saja aku pencet pesan itu.
[Selamat sore. Saya Bram. Simpan nomornya, ya,]
[Baik, Om]
Balasku singkat, namun tidak lama, pesan kembali masuk.
[Panggil saya 'Bram' saja. Jangan Om. Saya tidak setua itu,]
Aku menatap lama dengan balasan pesanku itu. Heran dengan maksudnya.
[Tapi itu enggak sopan, Om. Hehe]
[Panggilan itu tidak berlaku ketika kita sedang berdua. Jangan merasa tidak enak.]
Baru saja aku akan mengetik balasan, notifikasi pesan lain muncul. Aku melihat, ternyata dari Sarga. Aku harap dia tidak mengeluarkan ancaman lain.
[Ke kostan gue sekarang.]
Sudah ku duga dia pasti akan memanggilku. Aku beranjak dari ranjang, dan mengambil tas selempangku yang tergantung di dinding kamar. Aku keluar dari rumah Ibu yang sepi. Bagaimana tidak, satu pembantu pun tidak ada di sini.
Aku menarik pintu, bersamaan dengan itu pandanganku lurus. Tubuhku refleks mundur ketika melihat seseorang tepat di hadapanku. Kedua mataku dengan matanya bertemu. Mengapa orang itu tiba-tiba sudah ada di sini?