Chereads / Belenggu Ayah Tiri / Chapter 6 - Kebusukan yang Terbongkar

Chapter 6 - Kebusukan yang Terbongkar

Sarga mendekatiku. Aku refleks mundur. Tatapannya begitu menakutkan. Langkahnya lama kelamaan semakin cepat menghampiriku. "Ka—kamu mau ngapain ke sini?" tanyaku gugup. Aku menelan saliva susah payah. Tubuhku spontan tersentak usai menabrak tembok. Aku tidak bisa lepas darinya lagi! Bagaimana ini?

"Kamu—" lagi-lagi Sarga membuat ucapan ku terpotong. Kedua tangannya mengunci pergerakan ku, membuat aku bingung sendiri akan melarikan diri dari mana.

Wajahnya mendekat padaku. Aku langsung memejamkan mata rapat-rapat, tidak kuat melihat wajah Sarga sedekat ini.

"Berani-beraninya lo ngadu hal itu ke Bokap gue. Kalau lo bukan perempuan, udah pasti gue bikin wajah lo lebam di mana-mana. Gue benci lo, Al. Gue benci. Kenapa lo menghancurkan semuanya?" bisikan nya membuat bulu di tanganku berdiri. Aku merinding mendengar nada bicaranya yang begitu marah. Aku tau aku memang salah, tetapi bukankah dia yang lebih salah? Sungguh menyebalkan. Aku tidak tahu mengapa sifat Ayah dan Anak sangat berbeda bagaikan bumi dan langit.

Aku perlahan membuka mata. Kedua iris mataku langsung bertemu dengan matanya. Dari sini aku bisa melihat jelas kedua netra Sarga yang begitu cokelat. Tanganku diam-diam akan bergerak mendorong, namun sialnya dia berhasil mencekal. Cengkraman tangannya menguat. Aku langsung berusaha untuk melepaskan.

"Lo harus menanggung hukumannya sekarang." Sarga tiba-tiba menarik tanganku ke luar rumah. Refleks saja aku berusaha menahannya dengan tetap diam di tempat, namun sialnya aku tidak bisa. Tenaga dia lebih besar dariku.

"Kalian sedang apa?"

Kedua mataku terbelalak lebar melihat Ibu ada di ambang pintu sana. Sejak kapan? Tapi berkat kedatangannya, aku menjadi sedikit lega dan akhirnya bisa lepas dari cengkraman Sarga.

"Bilangin ke anak lo. Jangan memengaruhi Ayah gue." Kata-kata Sarga begitu kasar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ibu nanti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti.

"Kamu berbuat ulah apa lagi? Kenapa Sarga berkata seperti itu?!" nada bicara Ibu naik satu oktaf. Aku sudah terbiasa mendengarnya.

"Aku enggak bilang apa-apa, kok, Bu. Ibu tenang aja. Walaupun Sarga berkata seperti itu, pernikahan Ibu dan Pak Lorenzo akan tetap berjalan,"

"Awas saja kalau kamu bilang sesuatu yang kurang ajar. Ibu tidak akan pernah memaafkan kamu dan menganggap kamu sebagai anak lagi. Kamu mau Ibu bahagia, kan? Maka biarkan Ibu menikah lagi." Pundak Ibu menyenggol kasar bahuku ketika dia berjalan melewatiku. Tidak tahu kenapa mataku terasa perih. Sikap Ibu sudah berubah. Tidak sama seperti dulu.

Setelah keributan itu, aku dan Ibu tidak berbicara lagi. Aku mengurung diriku sendiri di kamar. Tidak ada kegiatan apa pun mengingat besok adalah hari libur dan juga hari... pernikahan Ibu. Kedua mataku mendadak terasa berat. Pandanganku berubah samar-samar. Aku menguap. Perlahan semuanya menjadi gelap.

Nada dering yang berbunyi keras itu membuat aku mengerjap. Tanganku terulur, mencari-cari di mana letak ponselku. Karena tidak ketemu juga, terpaksa aku duduk dan melihat ke sekitar. Tepatnya ke arah jendela. Langit sudah berubah menjadi gelap. Aku tidak menyangka telah tertidur selama empat jam. Pandanganku juga menangkap ponsel di nakas. Langsung saja aku mengambilnya. Tertera nama Sarga di sana. Antara akan mengangkat atau tidak, jujur aku sangat enggan mengingat tingkah menyebalkan Laki-laki itu, tapi daripada dia marah nanti lebih baik aku mengangkatnya saja.

"Lagi di mana lo sekarang?"

"Aku lagi di rumah. Kenapa?"

"Datang ke tempat gue sekarang,"

"Ke rumah kamu?"

"Bukan, Bego. Ke klub malam,"

"Ngapain? Enggak mau!" Gila saja, jelas aku tidak mau ke tempat itu. Malam beberapa hari lalu sudah membuat aku kapok untuk ke sana lagi.

"Kenapa enggak mau? Gue serius dan gue enggak butuh penolakan dari Lo. Kalau lo enggak ke sini, gue bisa melakukan sesuatu biar pernikahan mereka batal. Culik Ibu lo contohnya,"

"Apa? Culik? Kamu benar-benar jahat, ya."

"Ipi? Cilik? Kimi binir-binir jihit, yi."

Sial. Dia malah meniru gaya bicaraku. Belum sempat aku membalasnya, dia malah mematikan telepon. Benar-benar menyebalkan. Awas saja kalau aku sudah sampai di tempat itu. Sudah pasti aku akan memakinya habis-habisan.

Aku pergi dari rumah dengan mengendap-endap. Lampu sudah dimatikan semua. Itu artinya Ibu sudah tertidur. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, aku akhirnya sampai di tempat itu. Ada banyak laki-laki mabuk dan perempuan berpakaian minim keluar dari sana. Aku dengan ragu masuk ke dalam sana sambil menundukkan kepala karena takut. Bau alkohol ini membuat aku ingin muntah.

Aku memperhatikan sekeliling, ternyata tidak mendapati wajah Sarga sama sekali. Aku mengambil ponsel, berniat untuk menelepon Sarga, namun belum sempat aku mencari kontaknya, ada seseorang yang tiba-tiba merebut ponselku.

"Lo yang namanya Alea?" tanya seorang Laki-laki asing. Aku tidak tahu siapa dia. Wajahnya tampak asing.

"Kamu siapa?" tanyaku bingung.

"Gue Leon. Tempatnya di sana, yuk ikutin gue."

Kebingunganku semakin bertambah. Aku masih diam di tempat, enggan beranjak sedikit pun, tapi Laki-laki yang bernama Leon itu malah memegang pergelangan tanganku.

"Apaan, sih. Dibilang enggak mau!" aku berusaha memberontak, namun sial. Cengkeramnya terlalu kuat.

"Gue udah bayar mahal buat lo."

Aku sudah menduga. Laki-laki itu bukanlah orang baik-baik. Lagian aku juga kesal pada Sarga. Berani-beraninya dia menjebakku seperti ini.

"Bayar apaan, sih?! Aku enggak kenal sama kamu!" dia terus menarikku entah ke mana. Aku sudah berusaha melepaskan, namun tenaganya lebih besar dariku.

"Lepas!"

"Lepasin enggak?!"

"Tolong!"

"Berisik. Percuma lo teriak begitu. Enggak akan ada yang peduli! Diam dan nurut atau gue bermain kasar!"

Teriakanku seakan tidak didengar oleh mereka. Kedua mataku bahkan kini sudah basah, Laki-laki bernama Leon itu membawa aku ke lantai atas. Ada banyak deretan kamar di sana dan juga... wanita berpakaian minim. Perasaanku semakin tidak enak. Aku melirik ke arah Leon yang tampaknya sedang tidak fokus. Langsung saja aku menggigit lengannya. Geramannya terdengar mengerikan. Aku bergegas lari ke dalam kamar yang terbuka begitu cengkeramannya terlepas.

Semoga saja kamar ini tidak digunakan. Aku langsung menyusup ke kolong ranjang. Tanganku bergetar, oksigen mulai sulit untuk diambil. Nafasku menjadi sesak. Bahkan aku merasakan keringat mengalir di pelipisku. Debu-debu yang bertebaran membuat aku ingin bersin, langsung saja kedua telapak tanganku bergerak menutup mulut dan hidung untuk menahan.

Derap langkah mulai terdengar. Sepasang sepatu mulai terlihat berjalan ke arahku. Oh, tidak. Aku harap dia tidak membungkuk dan menengok ke kolong ini. Kalau bisa ketahuan, fatal akibatnya! Aku tidak ingin menjadi salah satu wanita murahan seperti di tempat ini.

"Sial!"

"Balikin duit gue! Dia berhasil kabur. Lo gimana, sih? Kasih Cewek ke gue kok yang memberontak. Tau akhirnya begini, mending gue enggak usah sewa dia sekalian. Bangsat!"

Aku tersentak ketika melihat dia membanting ponselnya sendiri. Desahan panjang terdengar setelahnya. Nyaliku semakin menciut. Aku melafalkan doa di dalam hati, berharap Laki-laki berengsek itu segera pergi.

"Kau juga memesan kamar ini?"

Suara itu... aku jelas mengenalnya. Itu suara Ayah Bram. Aku yakin tidak salah dengar. Keyakinanku bertambah saat melihat sepasang sepatu hitam masuk ke dalam.

"Tuan Ayahnya Sarga?"

"Kamu mengenal saya?"

Aku semakin mengintip mereka berdua. Ayah Bram tampak mengeluarkan beberapa lembar uang dan Laki-laki bernama Leon itu langsung menerima.

"Bawalah uang itu. Jangan bilang ke siapapun kalau saya pernah ke tempat ini."

Leon akhirnya pergi setelah menerima uang itu, sementara Ayah Bram tetap di kamar ini dan duduk di tepi ranjang. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah menyuap seperti itu.

"Maaf, agak telat." Seseorang wanita datang. Perempuan itu menggunakan gaun merah minim, menunjukkan pundaknya yang putih bersih serta bagian bawahnya seatas lutut.

"Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai di sini,"

Perempuan itu berbalik badan, kemudian menutup pintu. Aku bingung, sebenarnya ada apa ini? Siapa wanita itu? Dan apa yang akan mereka lakukan?