Awal Mula
Rumah Sakit
Di salah satu ranjang rumah sakit yang berada di kota Jakarta, ada seorang anak muda yang sedang terbaring koma. Anak muda itu adalah Rendi. Rendi mengalami kecelakaan motor, akibat dari ulahnya sendiri yang mengikuti aksi balapan motor liar. Kecelakaan itu terjadi tiga bulan yang lalu, dan sampai kini Rendi belum juga sadar dari masa komanya itu.
Erin selaku kakak dari Rendi selalu setia menemani Rendi di Rumah sakit. Erin cuti dari kerjanya dalam bidang catering itu. Karena biaya anggaran untuk modal catering dipakainya untuk biaya perawatan Rendi selama tiga bulan ini.
Tindakan itu diambil, karena semua aset peninggalan orang tuanya sudah habis terjual, termasuk rumah juga dijualnya untuk biaya rumah sakit tempat Rendi dirawat. Dan kini, untuk tempat tinggal Rendi menyewa sebuah kamar kost, untuk tempatnya pulang bila dari rumah sakit.
Bahkan, hampir setiap hari hidup Erin tidak tenang karena selalu dikejar-kejar oleh para Rentenir. Ya. Demi bisa membayar biaya rumah sakit, Erin meminjam uang ke para rentenir. Dari bunga yang paling rendah sampai bunga tertinggi semuanya dipinjam oleh Erin. Dan juga, dari yang jaminan berlandaskan kepercayaan sampai pinjaman yang berjaminan Erin yang bersedia dinikahi bila tidak bisa membayar hutang pun disetujui oleh Erin.
Semuanya itu Erin lakukan demi Rendi adik semata wayangnya.
"Ren, Rendi cepat sadar ya! Rendi nggak kasihan sama Kak Erin yang harus berpikir keras untuk mencari uang untuk biaya perawatan kamu?" Kata Erin. Duduk di kursi sebelah ranjang Rendi berbaring dan menggenggam jemari Rendi.
"Erina, ini bagaimana? Kalau kita tidak bisa membayar tunggakan biaya perawatan adikmu Rendi, alat bantu pernapasan Rendi akan dilepas. Dan, sudah tidak perlu Bibi jelaskan pada kamu, akan apa yang terjadi bila alat pernapasan itu dilepas. Kamu pasti tahu apa yang akan terjadi pada adikmu Rendi." Ucap Bibi Meri. Bibi dari Erin dan Rendi yang sedang menjenguk Rendi untuk kesekian kalinya itu.
"Bi, Erin nggak tahu Erin harus ngapain dan berbuat apa. Semua aset Ayah dan Ibu sudah Erin jual. Tapi kondisi kesehatan Rendi sampai sekarang tidak ada perkembangan." Erin berkata dengan meneteskan air mata. Air mata kekecewaan pada dirinya sendiri, yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi mendesak seperti ini.
"Sebelumnya Bibi juga mau minta maaf, Er. Bibi juga tidak bisa membantu apa-apa. Kamu tahu sendiri kondisi perekonomian Bibi bagaimana. Ditambah biaya sekolah adik sepupu kamu, yang semakin lama semakin besar. " Ucap Bibi Meri pada Erin. Sembari mengelus punggung keponakannya yang sedang menangis itu.
"Iya, Bi. Tidak apa-apa." Kata Erin. Mengusap air matanya dengan kasar. Lalu langsung berdiri dari posisi duduknya. Sontak pergerakan Erin yang berdiri mendadak membuat bibinya itu terkejut.
"Mau kemana, Er?" Tanya Bibi Meri.
"Erin mau usaha cari uang, Bi. Untuk biaya perawatan Rendi." Ucap Erin. Langsung berjalan keluar dari ruangan rawat Rendi. Bibi Meri hanya menatap kepergian Erin dengan tatapan mata sendu. Lalu Bibi Meri mendekati ranjang tempat Rendi terbaring koma.
"Rendi Krisnanda, kamu harus segera sadar. Kasihan kakak kamu Erin. Dia semakin kurus sekarang, karena berpikir keras semenjak kamu koma." Bibi Meri menjeda ucapannya karena melihat Rendi meneteskan air mata dengan kondisi mata yang masih tertutup rapat.
"Bibi tahu Rendi pasti dengar ucapan Bibi. Maka dari itu Bibi selalu mengajak Rendi bicara walaupun Rendi tidak pernah menjawab ucapan Bibi. Pesan Bibi, kamu harus kuat ya! Jangan buat kakakmu itu merasa bersalah dan gagal menjadi seorang kakak untukmu." Sambung Bibi Meri mengelus rambut hitam Rendi.
"Bibi tinggal dulu ya, Ren? Besok Bibi ke sini lagi. Dan semoga besok di saat Bibi menjenguk kamu, kamu sudah sadar." Ucap bibi. Masih mengelus rambut Rendi penuh sayang, lalu melangkahkan kaki keluar dari ruangan rawat itu.
Sepeninggalan Bibi Meri, Rendi kembali meneteskan air matanya. Air mata yang tidak tahu jelas apa artinya.
***
Erin keluar dari ruang rawat Rendi dengan perasaan kacau. Dia bingung harus berbuat apa dan hendak kemana untuk mencari uang. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit tanpa arah dan tujuan. Memainkan bagian ujung jaket hodie yang dipakai dengan perasaan yang tidak menentu dan karu-karuan. Hingga tanpa sengaja Erina menabrak seseorang karena berjalan sambil menunduk.
Bugh
Karena terjatuh, penampilan Erin yang memang sudah kacau bertambah lagi kekacauannya. Rambut panjang yang ditutup dengan topi jaket hoodie itu pun menutupi sebagian wajahnya.
"Ma-maaf, Tuan." Ucap Erin dengan sedikit tergagap.
Orang yang ditabrak Erin terus berjalan tanpa menghiraukan ucapan Erin. Namun, bila orang yang ditabrak Erin biasa saja, lain halnya dengan orang yang berjalan di belakang orang yang ditabraknya tadi.
"Sebaiknya bila sedang berjalan itu jangan menunduk! Untung saja suasana hati Tuan Muda kami sedang baik. Bila suasana hati Tuan Muda kami sedang tidak baik, bisa-bisa habis anda, Nona!" Ucap orang yang berjalan di belakang tadi.
"Tuan Muda?" Kata Erin. Erin mengulang kata 'Tuan Muda' untuk mengingat siapakah orang yang ditabraknya tadi. Sedangkan orang yang memperingati Erin tadi sudah berjalan menyusul orang yang disebut Tuan Muda itu.
"Tuan Muda? Ha! Ya, aku ingat sekarang. Tadi itu kan Tuan Muda Alex. Aku tahu sekarang harus meminta tolong kepada siapa." Tanpa pikir panjang Erin langsung berbalik arah menyusuri lorong rumah sakit yang dilewatinya tadi, untuk mengejar seseorang yang bernama Alex atau orang biasa memanggilnya Tuan Alex itu.
Erin terus mengedarkan pandangan, mencari sosok tuan Alex yang dicarinya. Sekilas mata Erin menangkap ada seseorang memakai jas yang sama persis seperti yang Alex pakai saat ditabrak Erin tadi. Dan ternyata orang itu benar Alex. Dia adalah Tuan Alexandra Raditya Sanjaya.
Alex sedang berbicara dengan seorang dokter. Dan di belakang Alex terdapat pria yang menegur Erin tadi. Yang ternyata orang yang menegur Erin tadi adalah sekretaris dari Alex, yang memiliki nama Haris. Bukan hanya sekertaris Haris yang ada di belakang Alex, melainkan ada beberapa anak buah lainnya yang memakai baju serba hitam.
Erin mendekat ke arah Alex berada. Dalam kondisi yang seperti ini Erin harus serba bisa dan berani. Berani yang di maksud di sini adalah berani berhadapan dengan seseorang, baik kita kenal atau tidak mengenal.
Tidak ada kata tidak bisa, bila sedang di waktu dan kondisi mendesak di kamus penulis cerita ini.
"Tuan Alex!" Panggil Erin dengan sedikit berteriak. Sontak semua orang yang ada di sana menengok ke arah Erin. Erin yang menjadi pusat perhatian berusaha mengatur napas, supaya tidak gugup saat berbicara. Walau kenyataan kini hati Erin sedang bergemuruh. Takut tindakan yang dia ambil ini tindakan yang salah.
Alex yang dipanggil hanya menengok sebentar, memberikan tatapan menyeringai. Lalu dengan cepat Alex mengembalikan fokusnya berbicara pada dokter yang diajaknya bicara tadi.
"Tuan, bisa minta waktunya sebentar?" Tanya Erin dengan sopan. Lama menunggu jawaban, namun tidak ada yang menjawab pertanyaan yang dilontarkan Erin itu.
"Tuan Alex, bisakah saya meminta waktunya sebentar?" Erin mengulangi kalimat tanyanya. Masih tidak ada yang menjawab.
Semua tidak ada yang menjawab. Dikarenakan, Alex saja selaku orang yang ditanya hanya diam tidak menjawab. Jadi mana mungkin ada orang lain yang berani menjawab, selain Haris lah orangnya.
"Tuan, saya ada perlu sebentar dengan Tuan." Teriak Erin. Karena tiba-tiba anak buah Alex yang memakai baju serba hitam itu mencekal tangannya.
"Tuan Muda Alex tidak mempunyai waktu untuk mengurus masalah sepele seperti ini. Apalagi bila harus berurusan dengan perempuan lemah dan tidak tahu malu seperti Nona. Lebih baik Nona pergi jauh-jauh dari sini." Tegas sekretaris Haris. Menarik tangan Erin dengan sangat kasar.
Bersambung