Erin merasa dunianya telah hancur tak tersisa. Pikirannya sangat kalut. Keberlangsungan hidup adiknya kini ada di tangannya. Antara hidup dan matinya Rendi ada di tangan Erin sekarang. Dia bingung harus mengambil keputusan yang seperti apa. Bila dia menandatangani surat itu sama saja dia memasuki sebuah lubang besar yang tidak tahu kedalamannya. Tapi, bila dia tidak menandatangani surat itu, tamatlah sudah semuanya.
Hufttttt
"Erin …...Demi Rendi kamu harus bisa. Tanda tangan dan Rendi bisa ditangani." Ucap Ririn pada dirinya sendiri. Melangkah meninggalkan ruang rawat Rendi.
***
Ruangan khusus
"Dulu kau bisa menolakku dengan alasan pacarmu itu. Tapi, apakah sekarang kau bisa untuk sekedar melepas pergelangan tanganmu dariku? Berani kau melepas, adikmu tidak akan bisa selamat." Ucap seorang pemuda itu. Yang mana sudah bisa dipastikan bahwa pemuda itu adalah Alex.
"Sa-Sakit, Tuan!" Ucap gadis itu sembari memegang lengan nya yang dicengkram kuat oleh Pemuda itu. Yang mana, gadis itu adalah Erin. Air mata menetes dengan deras dari matanya.
"Rasa sakit di lenganmu saat ini, tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku selama ini!" Ucap pemuda itu. Melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar.
"A-apa yang bisa saya bisa berikan kepada Tuan, supaya Tuan mau meminjamkan uang Tuan kepada saya." Tanya Erin itu.
Ya, setelah berpikir dengan singkat dan jernih, akhirnya Erin membuat keputusan. Keputusan bahwa dia akan melakukan apapun yang dimau oleh Alex adalah Alex mau membantunya.
" Seperti pada surat perjanjian yang kau tolak mentah-mentah tadi. Menikah. Menikah denganku, dan aku akan membiayai semua biaya rumah sakit adikmu yang hampir mati itu." Kata pemuda itu dengan entengnya.
"Baik. Saya akan bersedia menikah dengan Anda, Tuan Alex!" Kata Erin.
Alex pun tersenyum senang. Dia menarik Erin yang duduk bersimpuh di atas lantai dengan kasar. Setelah bangun, Erin didorong agar duduk di atas kursi sofa yang didudukinya tadi. Haris dan Pengacara yang berada di sana hanya memandang Erin tanpa ekspresi. Seolah tidak kasihan sedikitpun atas perlakuan Alex terhadap Erin.
Erin menghela napasnya dengan kasar. Lalu beralih menatap manik mata hitam Alex. Ya, walau diselingi rasa takut pastinya.
"Boleh saya bertanya sebelum saya mengambil keputusan?" Tanya Erin.
"Khusus untukmu, silakan!" Jawab Alex datar.
"Apa yang membuat Tuan Alex tertarik untuk menikahi saya? Terlebih Tuan Alex itu orang yang sangat terpandang. Jadi tidak mungkin Tuan Alex mau menikahi seorang wanita biasa saja seperti saya ini." Tanya Erin dengan wajah yang serius.
"Balas dendam!" Kawan Alex masih dengan datar.
"Maksudnya?" Tanya Erin lagi.
"Kau ini pelupa atau pikun? Sudah lupa kau dulu berbuat apa padaku?" Balik tanya Alex pada Erin.
"Ma-maaf!" Jawab Erin cepat. Alex yang mendengar pun langsung mengalihkan pandangan matanya.
Karena balas dendam, Erin! Apakah kau bisa membina hubungan yang berdasar rasa ingin balas dendam? Apakah kau benar-benar ingin menandatangani surat ini? Batin Erin. Kembali bimbang akan pilihannya sendiri.
Dengan teganya Alex memberi pilihan sangat sulit dipilih bagi Erin. Pilihan yang bagaikan makan buah simalakama. Bila dia tanda tangan, bisa dipastikan hidupnya hancur. Tidak tanda tangan, adiknya tak selamat. Erin masih berpikir keras. Lalu bayangan adiknya yang pergi menggunakan baju berwarna putih dalam mimpinya seolah berkelebatan di otak Erin.
Kesembuhan Rendi lebih penting dari apapun. Semoga keputusanku ini tak menjadi beban hidupku nantinya nantinya. Batin Erina.
Dengan gerakan tangan cepat Erin mengambil surat yang ada di atas meja. Posisinya masih sama saat dia meletakkan surat itu tadi. Erin pun langsung menandatangani surat itu dengan tanda tangan aslinya.
Keputusan yang kau ambil sudah benar, Erina! Berkorban lah sekali lagi untuk Rendi adikmu. Hanya dia satu-satunya sanak saudara yang kau punya. Jadi, berjuang lah selagi kau masih bisa berjuang. Batin Erin. Terus mensugesti dirinya sendiri supaya tidak menyesali akan keputusan yang sudah dia buat.
"Sudah!" Menyerahkan surat yang sudah ditandatangani kepada Alex.
"Perempuan yang cerdas." Kata Alex sembari melihat tanda tangan Erin yang sudah tertera pada tempatnya di surat itu.
"Kau boleh pergi." Kata Alex pada Erin.
"Kapan Tuan akan melunasi biaya rumah sakit adik saya?" Tanya Erin sebelum keluar.
"Hari ini juga. Bahkan adikmu akan ku bawa keluar negeri untuk mendapatkan penanganan yang terbaik. Sekarang kau cepat keluar!" Perintah Alex lagi.
"Saya boleh ikut?" Kata Erin. Menatap dengan tatapan mata memohon.
"Tidak!" Jawab Alex cepat.
"Kenapa tidak?" Erin.
"Karena ini perintah. Jadi, kau harus menurut." Jawab Alex. Tersenyum devil.
"Ada poin perjanjian yang akan kau langgar bila kau ikut ke luar negeri. Setelah kau menandatangani surat itu, berarti kau harus menuruti semua perintah dariku. Dan, aku memerintahmu untuk tidak ikut. Jadi harus menurut." Kata Alex dengan nada bicara dingin dan datar.
"Berarti secara tidak langsung Tuan melarang saya ikut? Bila memang begitu tolong jaga adik saya. Rendi saya titipkan kepada anda." Pinta Erin.
"Adikmu bukanlah barang. Jadi tidak bisa dititipkan" Jawab Alex datar.
"Cepat kelu-" Ucap Alex terpotong oleh Erin.
"Saya keluar Tuan!" Erin keluar dari ruangan khusus itu.
Kini di ruangan itu hanya ada Alex, Haris, dan juga Pengacara pribadi Alex yang sedang terlibat pembicaraan yang sangat serius.
"Ris, siapkan penerbangan siang ini juga ke negara A. Kita akan merawat Erin di rumah sakit yang disarankan oleh dokter Lexo." Kata Alex menatap Haris dengan wajah datar.
"Baik tuan." Jawab singkat Sekretaris Haris.
Alex dan Pengacara pribadi Alex keluar dari ruangan itu, lalu melanjutkan aktivitas masing-masing.
Sedangkan Haris mengurus semua surat-surat yang diperlukan untuk kepindahan rumah sakit Erin. Dia harus bekerja ekstra. Karena siang ini juga Erin harus diberangkatkan ke luar negeri.
***
Erin duduk di kursi sebelah ranjang pasien dimana ada Rendi yang terbaring lemah disana. Erin meneteskan air mata. Berulang kali dia menghapus air matanya, tapi air mata itu terus saja menetes di pipi tirus Erin.
Dia bahagia akhirnya adiknya itu bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik lagi di luar negeri sana. Namun hati kecilnya terus menjerit, dia tak mau adiknya pergi. Dia tak mampu menahan air matanya dalam kondisi yang sangat sulit seperti ini.
Erin ingin ikut bersama adiknya ke luar negeri. Dia takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada adiknya itu. Dan, Erin sangat takut saat itu terjadi dia tidak ada di sisi adiknya. Bila itu semua terjadi hanya akan penyesalan seumur hidup yang akan tersisa di kehidupan Erin.
Erin meraih tangan kanan adiknya. Diciumnya tangan itu dengan penuh kasih sayang. Lalu Erin berdiri dari duduknya, mencium kening Rendi dengan sangat lama, hingga ada tetesan air mata Erin di sana.
Erin kembali duduk, ditatapnya wajah pucat Rendi.
"Ren, Rendi harus kuat. Rendi tidak boleh lemah. Rendi satu-satunya alasan kakak untuk terus berjuang. Rendi jangan buat kakak merasa sendiri. Jangan buat kakak menyesal karena mengambil keputusan yang sangat berat ini. Jangan buat kakak berjuang sendiri. Bila Rendi saja tidak usaha untuk berjuang hidup, semua perjuangan kakak selama ini hanya akan sia-sia tak berbuahkan hasil. Kakak mau, setelah beberapa hari Rendi di sana nanti, harus ada kabar perkembangan Rendi yang membaik. Kakak mendoakan Rendi dari sini. Ingat Ren, ada kakak di sini yang masih menunggu Rendi datang dengan kondisi sehat." Ucap Erin di sela-sela tangisannya.
Erin masih melanjutkan tangisnya hingga dia tertidur dalam kondisi duduk. Hari menjelang siang, dan tak terasa jam keberangkatan Rendi ke luar negeri sudah ada di depan mata.
***
Sore hari
"Nona, Nona!" Seorang suster mengguncang pundak Erin.
Erin menggeliat, mengendurkan otot-otot yang terasa kaku karena baru bangun tidur dalam kondisi duduk.
"Iya Sus, ada apa?" Jawab Erin dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Ada anak buah Tuan Muda Alex ingin menjemput anda, Nona." Kata Suster yang umurnya masih sekitar 23 tahunan itu.
"Anak buah Tuan Alex?" Tanya Erin bingung. Dia masih belum sadar tentang apa yang terjadi.
"Iya Tuan Muda Alex." Kata Suster itu lagi.
Detik berlalu barulah Erin menyadari bahwa adiknya Rendi sudah tidak ada di ranjang tempat biasanya berbaring.
"Adik saya, atas nama pasien Rendi Krisnanda di mana, Sus? Kenapa tidak ada di sini? Seharusnya kan ada di sini!" Menunjuk ranjang Rendi. Panik. Itulah yang dirasakan oleh Erin saat tidak mendapati adiknya itu pada tempatnya.
"Pasien atas nama Rendi Krisnanda sudah dijemput oleh Tuan Alex. Karena kata Tuan Alex sudah atas persetujuan Nona Erin, jadi pihak rumah sakit mengizinkannya untuk membawa pasien atas nama Rendi itu. Dan kini Tuan Alex, pasien atas nama Rendi dan beberapa tenaga medis sudah terbang ke negara Singapore." Jelas Suster itu pada Erin.
Deg
Jantung Erin berdenyut mendengar penuturan Suster itu.
Bersambung